Jumat, 24 Juni 2011

Sebuah dialog selepas malam...




“AKHI, dulu ana merasa semangat saat aktif dalam dakwah. Tapi belakangan rasanya semakin hambar. Ukhuwah makin kering. Bahkan ana melihat temyata ikhwah banyak pula yang aneh-aneh." Begitu keluh kesah seorang mad'u kepada murabbinya di suatu malam.

Sang murabbi hanya terdiam, mencoba terus menggali semua kecamuk dalam diri mad'unya. "Lalu, apa yang ingin antum lakukan setelah merasakan semua itu?" sahut sang murabbi setelah sesaat termenung.

“Ana ingin berhenti saja, keluar dari tarbiyah ini. Ana kecewa dengan perilaku beberapa ikhwah yang justru tidak islami. Juga dengan organisasi dakwah yang ana geluti; kaku dan sering mematikan potensi anggota-anggotanya. Bila begini terus, ana mendingan sendiri saja..." jawab mad'u itu.

Sang murabbi termenung kembali. Tidak tampak raut terkejut dari roman wajahnya. Sorot matanya tetap terlihat tenang, seakan jawaban itu memang sudah diketahuinya sejak awal.

"Akhi, bila suatu kali antum naik sebuah kapal mengarungi lautan luas. Kapal itu ternyata sudah amat bobrok. Layarnya banyak berlubang, kayunya banyak yang keropos bahkan kabinnya bau kotoran manusia. Lalu, apa yang akan antum lakukan untuk tetap sampai pada tujuan?", tanya sang murabbi dengan kiasan bermakna dalam.

Sang mad'u terdiam berpikir. Tak kuasa hatinya mendapat umpan balik sedemikian tajam melalui kiasan yang amat tepat.

"Apakah antum memilih untuk terjun ke laut dan berenang sampai tujuan?", sang murabbi mencoba memberi opsi.

"Bila antum terjun ke laut, sesaat antum akan merasa senang. Bebas dari bau kotoran manusia, merasakan kesegaran air laut, atau bebas bermain dengan ikan lumba-lumba. Tapi itu hanya sesaat. Berapa kekuatan antum untuk berenang hingga tujuan? Bagaimana bila ikan hiu datang? Darimana antum mendapat makan dan minum? Bila malam datang, bagaimana antum mengatasi hawa dingin?" serentetan pertanyaan dihamparkan di hadapan sang mad'u.

Tak ayal, sang mad'u menangis tersedu. Tak kuasa rasa hatinya menahan kegundahan sedemikian. Kekecewaannya kadung memuncak, namun sang murabbi yang dihormatinya justru tidak memberi jalan keluar yang sesuai dengan keinginannya.

“Akhi, apakah antum masih merasa bahwa jalan dakwah adalah jalan yang paling utama menuju ridho Allah?" Pertanyaan menohok ini menghujam jiwa sang mad'u. Ia hanya mengangguk.

"Bagaimana bila temyata mobil yang antum kendarai dalam menempuh jalan itu temyata mogok? Antum akan berjalan kaki meninggalkan mobil itu tergeletak di jalan, atau mencoba memperbaikinya?" tanya sang murabbi lagi.

Sang mad'u tetap terdiam dalam sesenggukan tangis perlahannya.

Tiba-tiba ia mengangkat tangannya, "Cukup akhi, cukup. Ana sadar. Maafkan ana. Ana akan tetap istiqamah. Ana berdakwah bukan untuk mendapat medali kehormatan. Atau agar setiap kata-kata ana diperhatikan..."

"Biarlah yang lain dengan urusan pribadi masing-masing. Biarlah ana tetap berjalan dalam dakwah. Dan hanya Allah saja yang akan membahagiakan ana kelak dengan janji-janji-Nya. Biarlah segala kepedihan yang ana rasakan jadi pelebur dosa-dosa ana", sang mad'u berazzam di hadapan murabbi yang semakin dihormatinya.

Sang murabbi tersenyum. "Akhi, jama'ah ini adalah jama'ah manusia. Mereka adalah kumpulan insan yang punya banyak kelemahan. Tapi dibalik kelemahan itu, masih amat banyak kebaikan yang mereka miliki. Mereka adalah pribadi-pribadi yang menyambut seruan Allah untuk berdakwah. Dengan begitu, mereka sedang berproses menjadi manusia terbaik pilihan Allah."

"Bila ada satu dua kelemahan dan kesalahan mereka, janganlah hal itu mendominasi perasaan antum. Sebagaimana Allah ta'ala menghapus dosa manusia dengan amal baik mereka, hapuslah kesalahan mereka di mata antum dengan kebaikan-kebaikan mereka terhadap dakwah selama ini. Karena di mata Allah, belum tentu antum lebih baik dari mereka."

"Futur, mundur, kecewa atau bahkan berpaling menjadi lawan bukanlah jalan yang masuk akal. Apabila setiap ketidak-sepakatan selalu disikapi dengan jalan itu; maka kapankah dakwah ini dapat berjalan dengan baik?" sambungnya panjang lebar.

"Kita bukan sekedar pengamat yang hanya bisa berkomentar. Atau hanya pandai menuding-nuding sebuah kesalahan. Kalau hanya itu, orang kafirpun bisa melakukannya. Tapi kita adalah da'i. Kita adalah khalifah. Kitalah yang diserahi amanat oleh Allah untuk membenahi masalah-masalah di muka bumi. Bukan hanya mengeksposnya, yang bisa jadi justru semakin memperuncing masalah."

"Jangan sampai, kita seperti menyiram bensin ke sebuah bara api. Bara yang tadinya kecil tak bernilai, bisa menjelma menjadi nyala api yang membakar apa saja. Termasuk kita sendiri!"

Sang mad'u termenung merenungi setiap kalimat murabbinya. Azzamnya memang kembali menguat. Namun ada satu hal tetap bergelayut dihatinya.

"Tapi bagaimana ana bisa memperbaiki organisasi dakwah dengan kapasitas ana yang lemah ini?" sebuah pertanyaan konstruktif akhirnya muncul juga.

"Siapa bilang kapasitas antum lemah? Apakah Allah mewahyukan begitu kepada antum? Semua manusia punya kapasitas yang berbeda. Namun tidak ada yang bisa menilai, bahwa yang satu lebih baik dari yang lain!", sahut sang murabbi.

"Bekerjalah dengan ikhlas. Berilah taushiah dalam kebenaran, kesabaran dan kasih sayang kepada semua ikhwah yang terlibat dalam organisasi itu. Karena peringatan selalu berguna bagi orang beriman. Bila ada sebuah isyu atau gosip, tutuplah telinga antum dan bertaubatlah. Singkirkan segala ghil antum terhadap saudara antum sendiri. Dengan itulah, Bilal yang mantan budak hina menemui kemuliaannya."

Suasana dialog itu mulai mencair. Semakin lama, pembicaraan melebar dengan akrabnya. Tak terasa, kokok ayam jantan memecah suasana. Sang mad'u bergegas mengambil wudhu untuk qiyamullail malam itu. Sang murabbi sibuk membangunkan beberapa mad'unya yang lain dari asyik tidurnya.

Malam itu, sang mad'u menyadari kekhilafannya. Ia bertekad untuk tetap berputar bersama jama'ah dalam mengarungi jalan dakwah. Pencerahan diperolehnya. Demikian juga yang kami harapkan dari Anda, pembaca...

Wallahu a'lam.


-----------
sumber: Majalah Al-Izzah, No. 07/Th.4
pkspiyungan.blogspot.com

PLAY BOY DAN INDUSTRI SEKS BEBAS


            Diawal tahun 2006 setidaknya ada dua fenomena besar tentang kebebasan pers yang meresahkan komunitas terbesar penghuni Jamrut khatulistiwa ini pada khususnya dan Dunia Islam pada umumnya. Kebebasan pers yang kebablasan pertama adalah dibuatnya karikatur Nabi Muhammad SAW oleh harian Jylland Posten Denmark yang kemudian diikuti oleh pers di Australia. Inggris, spanyol, perancis dan bangsa kapitalis lain yang sangat mengagungkan kebebasan HAM dengan dukungan penuh amerika serikat. Diindonesia sebuah tabloid GLORIYA di Surabaya ikut memuat karikatur tersebut. Spontan saja dengan panggilan keimanan dan eksistensi ketaqwaan sebuah agama yang sah dimuka bumi merasa terusik hampir diseluruh penjuru dunia umat islam meakukan protes keras dengan berbagai bentuk mulai demonstrasi damai, pelemparan kedutaan negara yang memuat karikatur, pemutusan hubungan diplomatik, boikot produk dan pembakaran tempat tempat yang menjadi simbol-simbol kapitalisme global.Singa yang berkekuatn lebih dari 1 miliyar, yang sedang tertidur itu pun menunjukkan taring perlawanannya.
            Ditanah air yang lebih dari 80 % tananhya di pijaki oleh umat muslim terbesar dimuka bumi ini tersebtak dengan sebuah bertia tentang akan diterbitkannya majala Porni terbesar didunia PLAYBOY versi indonesia dan pemegang tampuk pimpinan tertinggi negeri ini ikut ”merestui” dengan jaminan akan mengontrol dengan ketat. Dengan kons\disi yang tidak dilegalkan saja pornografi diindonesia sudah begitu semarak sampai negeri yang beradab ini menduduki urutan kedua setelah rusia negara yang terbanyak produk pornigrafinya dan tidak sulit untuk di dapati tersebabar bagai kacang goreng dan menembus batas usia hingga anak-anak apalagi jika ada salah satu media yang sudah mendapat stempel legalitas maka industri pornografi di bumi indonsia ini semakin takterbendung.

Dalih Kebebasan Pers
            Kadang nilai kebabasan jika tidak ditempatkan bukan pada posisi dan proporsi yang tepat akan melukai Hak azasi manusia itu sendiri. Hal ini terbukti ketika Kebebasan pers diatas namakan untuk melegalna pornografi. Diawal januari 2006 lalu 20 an orang seniman, sastrwan, budayawan, wartawan dan fotografer di taman ismail marzuki mengadakan diskusi penolakan terhadap RUU pornografi dan porno aksi yang sedang digodok oleh DPR karena tiga rezim presiden sebelumnya ”enggan” mengesahkan RUU ini.
            Kebablasan lain adalah para pelaku pornogafi dan porno aksi mengats namalan seni dan keindahan padahal seni itu adalah sesuata yang membuat orang yang melihatnya menjadi damai, tenang, sejuk dan tidak merugikan, merusak bahkan mengorbankan orang lain apalagi dalam jumlah yang takterhingga, sampai-sampai budayawan senior WS. Rendra mengatakan ” ini bukan seni tapi air seni”.
            Majalah Playboy bukan media pemamer aurta pertama yang ada di indonesia tapi kalau disahkan ini adalah majalah porno pertama yang dilegalkan dan sah dinegeri ini. Saat ini akibat kebebasan pers diperkirakan ada 200-an situs porno lokal buatan indonesia, baik isi tampilan maupun pengelolanya. Dari sekitar 829 media cetak diseluruh Indonesia 10 % atau 82  diantaranya termasuk media cetak (koran, tabloid, majalah) dewasa syur yang menampilkan foto syur perempuan, model lelaki panggilan, konsultasi seks vulgar, iklan layanan seks via telepon ditambah operator dengan gambar mesum, artikel liputan tempat maksiat dan wawancara artis yang sangat permisif.
            Jika memang Indonesia resmi melegalkan majlah porno playboy maka bumi pertiwi menjadi negara kedua setelah jepang, padahal negara seperti taiwan dan hongkong menutup kembali setelah majlah syaitan itu beredar beberapa saat.
            Dewan Pers melapas tangan terhadap media porno yang sedang menjamur saat ini dengan dalinh ii bukan produksi industri pers tapi produk industri pornografi yang menjadi tanggung jawab departemen perindustrian dan perdagangan

UU Pornografi dan porno Aksi
            Sebenarnya akil rakyat kita sudah menyiapkan perangkat untuk membatasan dan membuat aturan main tentang pornografi dan porno aksi ini dengan mengajukan RUU tentang hal tersebut. Namun RUU tersebut terkatung-katung sejak 1999 melewati tiga rezim penguasa bangsa ini yang puncaknya pada tahu 2004 setelah diajukan ke eksekutif. Namun, kandas persiden megawati yang seorang wanita menolak padahal ada saat yang sama banyak RUU yang disahkan. Sosok keibuan pempimpin negari saat itu mengkandaskan dan memupuskan harapankaum hawa yang sebagian besag menjadi obyek dan korban dari pornografi dan porno aksi.


Indonesia Menuju degradasi Moral
            Beberapa waktu yang lalu BKKBN merencanakan memperbanyak ddirikannnya ATM kondom disejumlah kota besar di indonesia dengan dalih untk mencecah HIV/AIDS. Kemudian Sekrang bangsa ini tidak khawatir dan tegas untuk memberantas pornografi dan porno aksi padahal awal petaka dari sekbebas dan HIV/AIDS dipicu oleh tayangan, bacaan, dan tulisan yang membangkitkan nafsu syahwat. Apakah ini bagian keci dari bukti bahwa pemimpin negeri ini sudah mengalami degradasi moral? Mendahulukan kepentingan ekonomi  dari pana kemanusiaan dan hak-hak manusia.
            Fakta membuktikan bahwa negeri ini sedang dilanda degradasi morang yang bertubi-tubi : 140.000-200.000 anak menjadi PSK, 75% dari jumlah PSK berusia 13-24 tahun, lebih dari  2 juta aborsi pertahun terjadi di indonesia, dijakarta 6 hingga 20% siswa SLTA dan mahasiswa melakukan hubungan seks bebas pra nikah, pada tahun 2002 menteri negara urusan perempuan mengatakan bahwa 6 dari 10 wanita yang belum menikah tidak virgin lagi belum lagi kasus pemerkosaan yang terdata setiap hari sangta besar dan ini sebenarnya gunung salju karena banyak korban pemerkosaan yang tidak melaporkan diri karena malu.
            Kata kunci dari degradasi moral yang terjadi pada anak bangsa yang akan menmegang kepemimpinan esok adalah adalah pronografi. Pornigrafi bagi bangsa ini sana ganasnya dengan narkoba dan korupsi kerena yang memporakporandakan tatanan kenidupan bangsa ini baik tatanan kebangsaan maupun tatanan pergaulan dan tingkan laku.
            Bencana besar telah ada dihadapan bangsa ini namun sebagiannya merindukan dan menikmati bencana itu dan merharap agar dipercepat kedatagannya kerena merekan mengambil keuntungan dari penderitaan bangsa ini dan mesa depan bangsa ini yang akan tergadaikan. Haruskah bangsa ini poranda dan lenyap dari peta peradaban dan kebudayaan dunia kerena Pornografi dan porno aksi?. Yang harus dilakukan saat ini adalah menggalang sebanyak-banyaknya masyarakat yang masih memiliki komitmen moral terhadap negeri ini -karena permasalahan pornografi adalah permasalhan kemanusiaan yang terusik oleh manusia itu sendiri- untuk enolak kehadiran majalah play boy yang akan mengusik kedamaian, perdaban, budaya dan kehidupan ibu ertiwi serta segera sahkan secepatnya RUU pornografi dan porno aksi sebagai payung hukum untuk menata kembak\li kebebasan pers dan berekspresi yang kebablasan .
           

            Mataram, medio 2008
Iwan Wahyudi

Menyublimkan Kepedihan


Mari bekerja di ladang-ladang amal kita yang sangat luas tanpa batas. Silakan mencela bagi yang hobi mencela. Silakan melaknat bagi yang gemar melakukannya. Silakan berhenti dan menepi bagi yang sudah tidak memiliki kepercayaan lagi. Sekecil apapun langkah kebaikan kita lakukan, pasti tetap menjadi kontribusi yang berarti bagi negeri.
...

Oleh Cahyadi Takariawan*
Sesungguhnyalah epos setiap pahlawan dan pejuang selalu menyimpan kisah-kisah kepedihan. Karena semua pahlawan, semua orang besar, tidak bisa menghindarkan diri dari keterbatasan dirinya yang tidak dimengerti publik. Kebesaran nama dirinya telah menyihir opini masyarakat, seakan dia adalah manusia tanpa cela, serba sempurna dan serba tidak ada kekurangannya. Di titik ini, setiap pejuang ditempatkan secara terasing, di posisi yang tidak dia kehendaki.

Ada pejuang yang memilih menjaga citra diri dengan mencoba menjadikan dirinya sesuai harapan publik. Tentu ini tidak mudah. Dia adalah magnet bagi kamera media. Omongannya, responnya, perbuatannya, tindakannya, adalah sebuah berita. Semua mata memandang kepadanya, dimanapun ia berada. Tak ada ruang privat lagi bagi orang seperti dirinya. Media bisa masuk ke semua ruang-ruang pribadinya.

Dengan pilihan ini, ia harus menjadi seseorang seperti yang diharapkan publik. Bukan menjadi dirinya sendiri yang memiliki banyak keterbatasan. Namun ia harus menjadi hero, menjadi superman, menjadi seseorang yang selalu diidolakan semua kalangan masyarakat. Tak ada kesempatan bagi dirinya untuk menjadi dirinya sendiri, menjadi manusia biasa yang bisa menangis, bisa salah, bisa lupa, bisa khilaf, bisa berbuat dosa. Dia dipaksa menjadi seseorang seperti harapan masyarakat terhadap sosok pahlawan dan pejuang. Bahwa para pahlawan selalu tampil elegan, tanpa cela, tanpa cacat. Sedikitpun.

Celakanya, para pemuja sosok pahlawan ini hampir tidak bisa membedakan mana sosok manusia biasa yang tengah berusaha menjadi pejuang atau pahlawan, dengan manusia pilihan yang Tuhan takdirkan menjadi Nabi. Bagi seorang Nabi utusan Tuhan, dirinya mendapatkan dukungan Ketuhanan secara penuh. Karena semua perkataan dan perbuatannya adalah hukum untuk diikuti oleh pemeluk agama sang Nabi. Berbeda dengan manusia yang lainnya, kendati dia adalah seseorang yang berusaha menempatkan diri dalam barisan para pejuang dan para pahlawan, namun tetap saja dia adalah manusia biasa.

Sebuah harapan yang berlebihan bahkan absurd. Saat dunia telah sangat lama ditinggalkan oleh Nabi terakhir, akhirnya menjadi defisit keteladanan dan contoh kebaikan. Dunia muak dengan kemunafikan dan kepura-puraan yang sering ditampakkan banyak aktor politik dan banyak pejabat publik. Masyarakat menghendaki dan mencoba mengidentifikasi tokoh-tokoh yang bisa menjadi sumber inspirasi dan keteladanan dalam kehidupan. Sangat langka. Begitu menemukan beberapa gelintir orang yang dianggap masih memiliki harapan untuk menjadi panutan, maka harapan mereka menjadi berlebihan dan tidak masuk akal.

Para pejuang ini telah dipajang dalam bingkai harapan yang sangat ideal. Tak boleh berdebu, mereka bersihkan setiap hari dengan puji-pujian dan sejuta doa. Para pejuang ini yang akan menjadi penyelamat bangsa, akan menjadi harapan perubahan bagi Indonesia. Sebuah obsesi yang lahir dari dahaga berkepanjangan akan munculnya sosok keteladanan dari para pahlawan. Sangat lama masyarakat menunggu para pahlawan yang akan mensejahterakan rakyat Indonesia dan membebaskan masyarakat dari kebodohan, kemiskinan, kelaparan, ketertinggalan dan keterbelakangan.

Para pejuang telah ditempatkan pada posisi yang mustahil melakukan kesalahan. Mereka tidak ditolerir memiliki kelemahan, bukan hanya untuk diri pribadinya. Namun juga bagi isteri, anak-anak dan semua keluarganya. Masyarakat mudah mengalami kekecewaan fatal bahkan keputusasaan apabila melihat ada kekurangan pada diri sang hero, atau pada isteri dan anak-anaknya. Keteladanan dituntut untuk selalu dipenuhi, bahkan oleh anak-anak yang tidak banyak mengerti beban orang tua mereka yang terlanjurkan diidolakan sebagai sosok pahlawan super. Isterinya harus super, anak-anaknya harus super, keluarga besarnya harus super. Betapa berlebihan tuntutan ini.

Namun ada pula para pejuang yang memilih menikmati menjadi dirinya sendiri apa adanya. Seorang manusia yang penuh kelemahan dan keterbatasan. Di tengah kelemahan dan keterbatasan diri, ia mencoba menjadi seseorang yang memberikan kemanfaatan bagi orang lain. Memberikan kontribusi kebaikan sekuat kemampuan yang dia miliki. Waktu, tenaga, pikiran, harta benda dia curahkan untuk melakukan hal terbaik yang bisa dia sumbangkan bagi perbaikan bangsa dan negara. Mungkin tidak terlalu memuaskan masyarakat, mungkin tidak heroik, mungkin tidak dielu-elukan oleh para pemuja kepahlawanan. Namun ia selalu berusaha memberikan yang terbaik.

Dia melihat dunia dengan dua kacamata pada saat bersamaan. Satu kacamata idealis, dia memiliki visi yang sangat jelas tentang hal-hal ideal yang harus dilakukan dan harus terjadi bagi bangsa dan negara. Satu lagi kacamata realis, bahwa dia melihat Indonesia tidak cukup diubah oleh keteladanan beberapa sosok pahlawan. Indonesia hanya memerlukan kebersamaan untuk melakukan perubahan, memerlukan konsistensi untuk menegakkan aturan, memerlukan kedisiplinan untuk menjalankan agenda kebangsaan dan kenegaraan. Indonesia memerlukan harmoni dari pagelaran orkestra berbangsa dan bernegara.

Dia tidak mau terkurung ke dalam sosok pahlawan ideal seperti yang digambarkan masyarakat. Benarkah perubahan Indonesia harus dimulai dari sosok-sosok profan yang tak memiliki sedikitpun kekurangan, cacat, kelemahan dan kesalahan? Bukankah itu hanya layak dinisbatkan kepada para Nabi dan Rasul yang dimuliakan Tuhan dengan tugas-tugas Ketuhanan? Dia merasa hanyalah manusia biasa yang berusaha melakukan perubahan ke arah kebaikan, semaksimal kemampuan yang dia miliki. Namun dia mengetahui ada sejumlah sisi-sisi kemanusiaan dalam dirinya yang akan sulit dipahami oleh publik.

Sering terbersit dalam kesendiriannya, apakah hanya ada dua pilihan menjalani kehidupan bagi bangsa Indonesia? Pilihan menjadi pahlawan super hero yang dipuja-puja seluruh masyarakat, dan pilihan menjadi pecundang yang dicela oleh semua media, tanpa sisa? Tidak adakah pilihan menjadi diri sendiri yang jujur apa adanya, menjadi seseorang yang penuh keteterbatasan dan kelemahan, namun selalu berusaha menyumbangkan kontribusi terbaik bagi bangsa dan negara? Dimanakah tempat orang-orang seperti ini? Apa nama dan nilai mereka ini? Menjadi pahlawan ataukah pecundang?

Menjadi super hero tanpa cela betapa sangat sulitnya. Siapa yang akan sanggup menempati posisi seperti ini, siapa yang akan merelakan dirinya berada dalam sebuah suasana pencitraan, untuk memenuhi harapan dahaga masyarakat akan sosok-sosok keteladanan? Menjadi pejuang tanpa kelemahan dan kekurangan, betapa beratnya. Menjadi pahlawan tanpa sedikitpun tercemar oleh cela yang dilakukan oleh dirinya, isteri, anak-anak dan keluarga besarnya, siapa sanggup menempuhnya? Inilah episode kepedihan setiap pahlawan dan pejuang.

Saya berusaha memilih sesuatu yang masuk akal dan sesuai hati nurani. Saya bukan seorang pahlawan, bukan seorang super hero, bukan seorang superman, atau semacam itu. Saya hanyalah seorang anak bangsa yang memiliki teramat sangat banyak kekurangan, kelemahan, keterbatasan dan hal-hal tidak ideal. Dari sudut pandang apapun. Namun saya sangat meyakini bahwa kebaikan besar bermula dari kebaikan-kebaikan kecil. Saya sangat meyakini hal-hal luar biasa bisa bermula dari konsistensi melakukan hal-hal yang biasa.

Terserah orang menyebut apa terhadap hal yang saya lakukan. Saya berjalan pada sebuah keyakinan, pada sebuah arah tujuan. Saya berjalan pada sebuah bingkai cita-cita perubahan, namun saya hanyalah seorang manusia yang penuh keterbatasan. Isteri saya hanyalah seorang perempuan biasa, sangat biasa, yang memiliki sangat banyak kekurangan. Anak-anak saya hanyalah anak-anak yang terlahir dari sejarah pernikahan, dan mereka menjadi dirinya yang tidak bisa dibebani dengan harapan orang atas ayah mereka. Namun dengan segala titik kelemahan dan kekurangan kemanusiaan tersebut, saya selalu berusaha melakukan hal-hal baik yang mampu saya lakukan. Memproduksi kebajikan semaksimal kesanggupan yang ada pada saya.

Tidak bolehkah memiliki pilihan sederhana seperti ini? Haruskah kita memilih menjadi pahlawan tanpa cela, atau sekalian memilih menjadi pecundang yang dicela serta dilaknat seluruh media? Sedih sekali hidup kita, jika terbelenggu oleh “apa kata orang kepada kita”. Sedih sekali, jika hidup kita harus menyesuaikan dengan selera media. Sempit sekali dunia, jika kita harus menjadi sosok-sosok utopis yang diimpikan para pemuja epos kepahlawanan dunia. Hingga orang tidak berani berbuat dan berkata apa-apa, karena takut dilaknat media. Hingga orang takut melakukan upaya perbaikan semampu yang dia bisa, karena takut dicela massa.

Setiap hari berseliweran sms, mengkonfirmasi berita ini dan itu di media massa. Mencela, melaknat, mencaci maki, menghakimi semau sendiri, memastikan keburukan orang, mengimani berita media massa tentang perilaku seseorang. Sms berseliweran tanpa tuan, menghakimi tanpa persidangan, memutuskan tanpa penjelasan, memastikan tanpa pertanyaan, menuduh tanpa kelengkapan persyaratan, membunuh karakter tanpa alasan. Semua orang ketakutan, semua orang gelisah, tiarap, takut dirinya tengah dirilis media. Takut dirinya tengah dibicarakan koran. Takut dirinya menjadi berita utama di sms yang berseliweran setiap detik, setiap kesempatan.

Seakan dunia telah kiamat, saat seseorang pejuang dituduh melakukan kesalahan. Seakan kebaikan telah hilang, saat sosok pahlawan yang diidamkan teropinikan melakukan pelanggaran. Hancur sudah dunia kepahlawanan, habis sudah sejarah para pejuang, tamat sudah riwayat para pembela kebenaran. Hari ini juga semua jiwa telah binasa. Kita menjadi orang yang berlebih-lebihan melihat, menanggapi, mengomentari segala sesuatu. Baru running text, baru rilis koran, baru kilas berita televisi dan cybermedia. Tiba-tiba sms sudah menyebar kemana-mana. Tiba-tiba kepercayaan sudah sirna. Tiba-tiba kehangatan sudah tiada. Berpuluh tahun kita merajutnya. Hilang sesaat begitu saja?

Inilah sisi kepedihan dalam setiap epos kepahlawanan dan kepejuangan. Setiap pahlawan, setiap pejuang selalu dihadapkan kepada kondisi-kondisi kemanusiaan yang sulit dimengerti para pemuja mereka. Media telah menghukum tanpa ampunan. Headline setiap hari. Heboh, bombastis, sinistis. Mematikan hati yang terlalu ciut menerima kritik dan lontaran tajam. Mematikan semangat yang terlampau dingin untuk melakukan berbagai kebajikan. Cita-cita dan tujuan seakan sudah terlupakan oleh opini koran dan berita harian.

Silakan tidur dan berhenti dari kebaikan, maka para setan akan pesta pora merayakan kemenangan. Silakan menyesal menempuh jalan panjang bernama kebajikan, tempuh jalan lain yang lebih menyenangkan pemberitaan. Hanya itukah tujuan kita? Mendapat pujian, mendapat pengakuan, mendapat ucapan selamat dan penghargaan atas kesantunan, kesalehan, kebaikan, kejujuran, dan kebersihan yang ditampilkan? Tidak siap mendengar kritik tajam, caci maki, cemoohan masyarakat dan media massa? Tidak kuat mendengar ledekan, tertawaan, gunjingan, dan kekesalan orang?

Adakah anda rasakan kesedihan yang saya tuliskan? Kesedihan di setiap epos kepahlawanan dan kepejuangan. Kesedihan yang tidak bisa dibagi dengan para pemuja pahlawan. Kesedihan yang harus dikunyah dan dinikmati sendiri oleh setiap orang yang berjuang dalam kebaikan. Jika anda merasakan, saya ajak anda menyublimkan kesedihan itu menjadi sebuah karya nyata, sekecil apapun yang kita bisa.

Menyublimkan kepedihan menjadi amal kebaikan berkelanjutan yang kita lakukan dalam setiap tarikan nafas. Jangan menguapkannya, karena jika diuapkan kesedihan hanya akan hilang namun tidak menghasilkan karya. Ya, anda harus menyublimkan kepedihan ini menjadi sesuatu yang sangat berarti. Menjadi sesuatu yang menyemangati diri. Menjadi sesuatu yang menasihati. Menjadi sesuatu yang bernilai abadi. Menjadi sesuatu yang bernama KONTRIBUSI.

Setiap cemoohan dan ejekan akan menambah kesedihan di hati para pejuang. Setiap ketidakberhasilan akan menggoreskan kegetiran pada dada setiap pejuang. Kesedihan itu harus disublimasi menjadi karya yang berarti. Setiap hari kita telah terbiasa menumpuk kelelahan, kesedihan, kegetiran, kepedihan, dari yang terkecil hingga yang paling dalam. Menyublimkan kegetiran akan mengubahnya menjadi kerja nyata bagi bangsa dan negara. Apa artinya dipuji-puji jika tidak memiliki kontribusi yang berkelanjutan? Apa salahnya dicaci maki jika itu memacu kontribusi yang lebih berarti bagi perbaikan?

Mari bekerja di ladang-ladang amal kita yang sangat luas tanpa batas. Silakan mencela bagi yang hobi mencela. Silakan melaknat bagi yang gemar melakukannya. Silakan berhenti dan menepi bagi yang sudah tidak memiliki kepercayaan lagi. Sekecil apapun langkah kebaikan kita lakukan, pasti tetap menjadi kontribusi yang berarti bagi negeri. Keyakinan ini tak bisa ditawar lagi. Tuhan telah mengumandangkan, hal jaza-ul ihsan illal ihsan. Apakah kita tetap juga tidak memahami?

Kita serahkan semuanya kepada Tuhan Yang Maha Mengerti.

Malili, Luwu Timur, Sulawesi Selatan 9 April 2011


[Terimakasih kepada ustadz Abdussalam yang telah meminjamkan laptop dan koneksi internetnya di Masamba, Luwu Utara, Sulawesi Selatan]

*sumber: http://cahyadi-takariawan.web.id/

Kamis, 23 Juni 2011

Nama, Jargon dan Cita-cita


Oleh Cahyadi Takariawan

Siapa nama anda, dan apa cita-cita anda? Apakah anda memiliki jargon atau kredo atau moto –atau apapun namanya—kata-kata untuk menyemangati dan mengarahkan kehidupan anda? Coba perhatikan nama saya. Cahyadi Takariawan, ini nama asli pemberian orang tua. Adakah makna atau maksud pemberian nama ini? Pasti orang tua saya memiliki maksud yang baik atas nama yang diberikan kepada saya tersebut.

Saya lahir di Jawa Tengah, di lingkungan kultur Kraton Solo. Cahyadi itu dalam bahasa Jawa, berasal dari kata “cahyo” dan “adi”. Cahyo artinya cahaya, adi artinya indah, bagus atau baik. Jadi, harapannya saya akan tumbuh menjadi manusia yang memberikan cahaya kebaikan atau cahaya keindahan bagi kehidupan. Takariawan, dari kata “takari” dan “wan”. Kata “wan” ini menunjukkan kalau saya anak laki-laki, biasanya kalau perempuan sebutannya “wati”. Takari, anda pasti heran, darimana kata ini berasal ? Dari Jepang ? Bukan. Takari itu asli Indonesia, dan sangat nasionalis.

Dahulu kala (waw… kayak orang mendongeng…..), Presiden Republik Indonesia, Soekarno, menghendaki Indonesia segera menjadi negara yang mandiri, negara yang tidak bergantung kepada bantuan negara lain. Bung Karno menghendaki Indonesia menjadi negara yang mampu “berdiri di atas kaki sendiri”, atau biasa disingkat dengan “berdikari”. Maka dengan sangat gagah, Bung Karno mencanangkan tahun 1965 sebagai “Tahun Berdikari”, dan beliau singkat dengan “Takari”. Dengan harapan semoga pada tahun 1965 itu Indonesia bisa menjadi negara yang mampu mandiri, berdiri di atas kaki sendiri, tidak bergantung pihak manapun.

Jadi kalau anda menemukan orang Indonesia yang namanya “Takari”, bisa dipastikan itu kelahiran tahun 1965. Saya punya teman namanya Takarianto, ada lagi Takariadi, ada pula Takarianti dan Takariwati. Orang tua mereka pasti pengagum Bung karno, sehingga memberikan nama anaknya dengan nama yang diberikan oleh Bung Karno untuk tahun 1965 itu. Seperti almarhum bapak saya, sangat mengagumi Bung Karno. Dua buku tebal berjudul “Di Bawah Bendera Revolusi” tulisan Bung Karno menghiasi perpustakaan pribadi bapak saya. Poster besar Bung Karno menghiasi ruangan keluarga di rumah bapak saya.

Dengan demikian, nama Cahyadi Takariawan mengandung sejumlah harapan dan cita-cita. Ada harapan agar saya menjadi manusia yang memberikan cahaya kebaikan bagi kehidupan. Ada cita-cita agar saya menjadi anak laki-laki yang mampu mandiri dan berdiri di atas kaki sendiri, tidak tergantung kepada orang lain. Apakah salah orang tua saya memiliki harapan seperti itu ? Tentu tidak salah dan sah saja cita-cita seperti itu. Namun, seandainya cita-cita orang tua saya tersebut tidak menjadi kenyataan, apakah anda merasa perlu mengejek, menghina dan menghujat orang tua saya ?

“Katanya diharapkan bisa memberi cahaya kebaikan bagi kehidupan. Ternyata justru memberi masalah bagi kehidupan. Lalu mengapa diberi nama Cahyadi. Harusnya diberi nama Trouble Maker saja, sesuai kenyataan yang ada”.

Semoga anda tidak menyalahkan bapak saya, karena beliau sudah wafat. Biarkan beliau tenang di alam barzakh, tanpa menanggung gugatan dari siapapun yang masih hidup. Nama itu bagi saya adalah upaya mengingatkan diri, perjuangan terus menerus sampai mati, agar saya menjadi orang yang selalu memberi cahaya kebaikan dan cahaya keindahan bagi siapapun. Nama itu bagi saya adalah upaya menyemangati diri, agar tidak bosan, tidak lelah, tidak putus asa dalam melakukan kebaikan.

Namun apabila harapan tersebut belum menjadi kenyataan, yang saya perlukan adalah menambah usaha dan kesungguhan agar benar-benar bisa memenuhi harapan orang tua. Ingatkan saja saya, bahwa kondisi saya belum sesuai cita-cita yang terkandung dalam nama. Anda tidak perlu mengejek dan menghina nama saya. Tidak perlu mengejek cita-cita saya. Doakan saya agar mampu memenuhi harapan dan cita-cita yang diinginkan orang tua. Jadi, yang saya lakukan bukan mengganti nama dengan kenyataan yang sedang terjadi. Bukan mengubah cita-cita mulia yang telah dicanangkan. Namun lebih keras berusaha dan bekerja, agar bisa menggapai cita-cita.

Di antara teman saya ada yang bernama Sugiharto. Dalam bahasa Jawa, nama itu mengandung harapan agar dia “sugih” atau kaya dengan “arto” atau uang dan harta. Artinya, diharapkan kelak ia akan menjadi seseorang yang mendapatkan sukses di dunia, dengan memiliki kekayaan harta. Namun jika kondisi sekarang ternyata ia belum kaya, jangan menyalahkan orang tuanya. Jangan pula mengganti namanya dengan realitas yang ada sekarang, misalnya diganti dengan Rasido Sugiharto, yang artinya tidak jadi banyak uang. Yang dia perlukan adalah menambah usaha dan doa agar harapan memiliki banyak harta bisa tercapai.

Ada pula teman saya bernama Kuncoro, yang artinya kondang atau terkenal. Tentu diharapkan dia akan menjadi seorang yang terkenal. Namun jika ternyata sampai dia tua tidak kunjung terkenal juga, jangan menyalahkan orang tuanya. Jangan pula mengganti namanya dengan realitas yang sekarang ada, misalnya diganti dengan Rapatiyo Kuncoro, yang artinya tidak terlalu terkenal. Yang diperlukan adalah usaha dan doa yang lebih serius agar harapan menjadi orang terkenal menjadi kenyataan. Tentu terkenal dalam kebaikan, bukan terkenal karena kejahatan.

Demikian pula nama suatu wilayah, banyak yang mengandung harapan serta cita-cita mulia. Seperti nama desa Sido Makmur, yang artinya menjadi makmur. Nama itu penuh optimisme agar daerah terpencil tersebut kelak bisa menjadi makmur dan maju sebagaimana daerah lainnya. Jika ternyata sampai sekarang belum makmur, jangan diganti namanya dengan Rasido Makmur, jangan pula diganti dengan Sido Ancur. Biarlah nama itu menjadi pemacu, pengingat dan penyemangat bagi semua warga untuk bekerja lebih serius sehingga bisa mencapai harapan kemakmuran. Bahkan nama daerah yang bermakna negatif, sudah seharusnya diganti dengan yang bermakna positif. Seperti desa Suka Miskin, harus diganti dengan Suka Makmur.

Nama perusahaan juga banyak mengandung harapan. Seperti PT Bangun Jaya Mandiri, tentu memiliki harapan agar perusahaan tersebut mampu bangun, jaya dan mandiri. Atau mampu membangun kejayaan dan kemandirian. Tentu harapan ini tidak selalu menjadi kenyataan. Seandainya kenyataan yang ada perusahaan tersebut mengalami kebangkrutan, biarkan namanya tetap menjadi doa mulia, jangan diubah dengan realitas yang ada. Misalnya diganti dengan PT Bangkrut Hancur Abadi, karena tengah mengalami kebangkrutan. Jangan anda ejek cita-cita dan harapannya, jangan pula anda ejek namanya.

Nama lembaga, organisasi, atau yayasan juga memiliki harapan yang mulia. Misalnya Yayasan Harapan Umat, memiliki cita-cita agar yayasan tersebut mampu menjadi harapan umat, yang bisa membantu menyelesaikan persoalan umat. Ada pula Yayasan Bangun Projo, memiliki harapan bisa berkontribusi untuk membangun bangsa dan negara. Ada Lembaga Pendidikan Lukman al Hakim, dengan harapan agar lembaga pendidikan ini mampu meneladani tokoh yang diabadikan namanya dalam kitab suci, bernama Lukman al Hakim. Ya, nama-nama itu semua memiliki sejumlah harapan dan cita-cita mulia.

Nama partai politik juga mengandung harapan dan doa. Jika ada parpol bernama Partai Anti Korupsi (PAKOR), tentu mengandung harapan dan cita-cita agar parpol tersebut mampu menciptakan kondisi pemerintahan, bangsa dan negara yang bebas dari tindak korupsi. Namun jika di antara anggota parpol tersebut ternyata ditemukan ada yang melakukan tindak pidana korupsi, yang harus dilakukan adalah memecat dan mengeluarkan anggota tersebut dari PAKOR. Jangan mengganti cita-cita mulia tersebut, jangan pula mengganti nama yang mengandung harapan mulia tersebut; misalnya diganti dengan Partai Paling Hobi Korupsi. Yang harus dilakukan oleh PAKOR adalah berjuang lebih serius dalam memberantas korupsi, termasuk di dalam tubuhnya sendiri.

Demikian pula jika ada parpol bernama Partai Bersih dan Peduli (PBDP), tentu mengandung harapan agar selalu menjaga kebersihan dalam melaksanakan semua kegiatan, dan selalu menunjukkan kepedulian terhadap problematika kehidupan masyarakat. Jika ternyata ada anggota PBDP yang terlibat kekotoran dan tidak menunjukkan kepedulian, yang harus dilakukan bukannya mengganti nama dan cita-cita. Misalnya diganti dengan Partai Jorok dan Cuek (PJDC) dengan harapan agar semua pengurus dan anggota menjadi orang yang jorok dan tidak punya kepedulian sosial. Namun yang harus dilakukan PBDB adalah usaha semakin serius untuk mewujudkan harapan tentang kebersihan dan kepedulian.

Jika ada parpol bernama Partai Semangat Dakwah (PSD), tentu diharapkan akan menjadi kekuatan yang bisa bekerja untuk menyebarkan nilai-nilai kebajikan dalam segala bidang kehidupan. Nama itu menyemangati semua pengurus dan anggota agar selalu melakukan dakwah dan berusaha menyebar kebajikan dimanapun mereka berada. Namun apabila ada anggota PSD yang terlibat dalam tindakan kejahatan, yang harus dilakukan adalah memberikan hukuman kepada anggota yang bersalah tersebut, dan meningkatkan usaha untuk selalu menyebarkan kebajikan dalam segala bidang kehidupan. Bukan mengganti cita-cita dan nama parpolnya menjadi Partai Paling Jahat (PPJ) dengan harapan dan doa agar semua pengurus dan anggota PPJ menjadi manusia yang paling jahat di muka bumi.

Jadi, nama orang, nama daerah, nama perusahaan, nama lembaga dan nama partai politik, seharusnyalah mengandung harapan dan cita-cita akan kebaikan. Memiliki makna yang positif, mengarahkan kepada perilaku mulia, dan menyemangati untuk berjuang menggapai cita-cita utama yang telah ditetapkan. Tidak layak memiliki nama yang jelek, karena tidak layak pula bagi kita memiliki cita-cita yang tercela. Semua nama dan jargon yang dimiliki manusia maupun lembaga, mengandung sejumlah doa dan cita-cita. Jangan sampai diri dan lembaga anda memiliki doa dan cita-cita yang mengarah kepada kejahatan.

Maka jangan namakan anak anda dengan nama-nama yang mengandung makna tercela, misalnya Zhalimin atau Zhulumat. Sepertinya bahasa Arab bahkan disebut dalam Al Quran, namun maknanya jelek, yaitu orang yang zalim (Zhalimin) dan kegelapan (Zhulumat). Jangan namakan anak anda dengan Suko Minto, karena artinya suka meminta. Tentu bisa bermakna negatif, kalau maksudnya adalah suka meminta-minta belas kasihan orang, alias pengemis. Tidak boleh memiliki cita-cita yang hina. Lebih bagus diberi nama Darmawan, karena mengandung harapan mulia, suka memberi dan membantu orang lain.

Jangan namakan perusahaan anda dengan CV Hancur Binasa Selamanya, karena mengandung doa yang tercela. Jangan menamakan yayasan anda dengan Yayasan Sosial Gemar Menderita, karena membawa kepada suasana yang tidak mengarahkan kepada kebaikan. Jangan namakan lembaga anda dengan Lembaga Pendidikan Berani Bodoh Asal Lulus, karena tidak membawa kepada semangat belajar. Berikan nama-nama yang mengandung cita-cita mulia, memberikan semangat melakukan perbaikan, mengarahkan kepada perbuatan utama, mendorong melakukan tindakan terpuji.

Jangan membuat parpol dengan nama Partai Menang dengan Segala Cara (PMSC), karena akan membawa nuansa menghalalkan segala cara demi mendapat kemenangan. Namun berikan nama parpol yang mengandung cita-cita dan harapan untuk perbaikan bangsa dan negara Indonesia. Jangan abaikan arti dari setiap nama, karena semua nama mengandung doa dan cita-cita. Semua nama mengandung makna yang mempengaruhi suasana jiwa pemiliknya. Maka, milikilah nama yang membawa suasana mulia, bukan suasana yang tercela.

Nah, anda tidak boleh malu kalau memiliki nama yang mengandung makna mulia. Justru harus malu kalau makna nama anda itu tercela. Anda tidak boleh malu kalau nama organisasi anda memiliki harapan kebaikan, justru anda harus malu kalau nama organisasi anda memiliki makna yang mengarah kepada keburukan. Semua nama mengandung harapan, maka berharaplah selalu dengan kabaikan dan keutamaan. Biarkan nama-nama itu menjadi penyemangat, pengingat dan nasihat agar selalu berada dalam upaya optimal menggapai cita-cita mulia.

Sebagai penguat, seringkali kita memiliki jargon, kredo atau moto. Misalnya, di website saya ini ada kredo “terus bekerja, terus berkarya, hingga akhir usia”. Kredo ini bermaksud untuk menyemangati diri saya sendiri untuk selalu bekerja, selalu berkarya, memproduksi kebaikan, berkontribusi tanpa henti, di sepanjang usia yang saya miliki. Saya tidak mau menjadi orang yang berhenti dan menepi. Saya tidak mau menjadi pengangguran dan kontraproduksi. Saya tidak mau menjadi orang yang meratapi diri dan menyesali hari.

Di websitenya tetangga, ada kredo “imposible is nothing”. Tentu kredo ini bermaksud menyemangati untuk bekerja keras tanpa henti demi meraih mimpi. Kredo ini mengandung keyakinan, semua bisa dicapai asalkan ada kesungguhan dan kegigihan, asalkan ada kemauan untuk terus mendapatkan kemenangan. Mereka tidak ingin menjadi komunitas yang bersantai-santai, yang berharap kemenangan turun dari langit begitu saja tanpa usaha. Mereka ingin menjadi komunitas yang percaya diri, yang selalu mengembangkan potensi, yang tidak pernah berhenti berinovasi, agar semua kekuatan bisa efektif tersalurkan untuk meraih tujuan. Tak ada hal yang tak mungkin, selama mau mengusahakannya dengan sungguh-sungguh.

Jika ternyata kondisi yang ada belum sesuai dengan jargon atau kredo yang diungkapkan, bukan alasan untuk menyesali kredo sendiri. Jargon dan kredo ini adalah cara menyemangati diri dan organisasi, untuk selalu melakukan kebaikan dan mengarahkan mencapai tujuan. Jargon dan kredo juga bermakna doa serta janji, untuk melakukan perbuatan yang mengarah kepada tercapainya jargon tersebut. Dengan demikian, ini adalah nasihat untuk diri sendiri dan organisasi. Jargon dan kredo adalah sarana untuk memotivasi agar tidak lemah, agar tidak lelah, agar tidak mudah frustrasi. Jargon dan kredo adalah sarana untuk selalu menang menghadapi berbagai situasi dan kondisi.

Lengkap sudah, selain nama, kita juga punya janji yang terungkap lewat jargon atau kredo yang kita canangkan. Nama kita adalah doa dan cita-cita, dikuatkan dengan jargon atau kredo yang selalu menyemangati. Semoga langkah kecil kaki kita semakin berarti, semoga semua usaha yang kita lakukan selalu mengarah kepada tercapainya harapan dan cita-cita diri dan organisasi. Semoga langkah kita semua mendapat ridha
Ilahi.

Metro Lampung, 16 Mei 2011


*)sumber: http://cahyadi-takariawan.web.id/?p=977#more-977

INDONESIA DIBAWAH CENGKRAMAN PORNOGRAFI


Sepanjang Februari sampai Maret 2006 semua mata dan pikiran bangsa ini tertuju pada pengesahan RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP). Semua media baik cetak maupun elektronik memberikan tentang unjukrasi besar-besaran hampir diseluruh tanah air antara kelompok yang mendukung segera disahkannya RUU tersebut guna menyelamatkan masa depan moral anak bangsa maupun yang menolak dengan dalih tidak menghormati HAM, merusak budaya dan tidak menghargai nilai seni. Kelompok yang mendukung dengan mayoritas suara parlemen mengakomodir suara yang menolak RUU tersebut hingga 2 tahun untuk memasukkan beberapa poin dalam upaya penyempurnaan dan tidak mengakomodir beberapa pihak.
            Di Bulan suci Ramadhan 1429 H atau September 2008 kembali ketika RUU tersebut yang kini dirubah menjadi RUU Pornografi akan disahkan penolakan akan peraturan tersebut kembali mencuat, sama seperti 2 tahun silam kedua kelompok berunjuk rasa dan argument, padahal 10 fraksi diparlemen sudah menyetujuinya kecuali FPDIP (Partai Demokrasi Perjuangan) dan FPDS (Partai Damai Sejahtera). Inilah RUU yang sangat memakan waktu terkatung-katung sejak tahun 1999. Padahal sangat penting guna menyelamatkan anak bangsa dari bahaya pornografi dan porno aksi yang kian tanpa batas ruang dan waktu bahkan untuk menyelamatkan bangsa Indonesia itu sendiri dari kehilangan jati dirinya sebagai bangsa yang berbudaya dan menganut nilai-nilai etika kesopanan dan moral.

Indonesia dalam cengkraman Pornografi
            Associated Press (AP) menyebutkan Indonesia sebagai surga pornografi terbesar kedua setelah Rusia. Seakan kita tidak percaya dengan hasil tersebut melihat bahwa bangsa ini memiliki budaya dan etika ketimuran yang sangat berpegang teguh terhadap adat dan agama Namun kita lupa bahwa dampak globalisasi telah memporak porandakan moral negeri ini selain secara internal bangsa ini belum memiliki aturan dan kebijakan yang tidak tegas dan ketat tentang Pornografi.
            Pada tahun 2006 yang lalu BKKBN merencanakan memperbanyak didirikan ATM kondom disejumlah kota besar di Indonesia dengan dalih untk mencecah HIV/AIDS. Kemudian Sekarang bangsa ini tidak khawatir dan tegas untuk memberantas pornografi dan porno aksi padahal awal petaka dari seks bebas dan HIV/AIDS dipicu oleh tayangan, bacaan, dan tulisan yang membangkitkan nafsu syahwat. Apakah ini bagian kecil dari bukti bahwa pemimpin negeri ini sudah mengalami degradasi moral? Mendahulukan kepentingan ekonomi  daripada kemanusiaan dan hak-hak manusia.
            Fakta membuktikan bahwa negeri ini sedang dilanda degradasi moral yang bisa dikatakan pada stadium yang sangat mengkhawatirkan ; 140.000 - 200.000 orang  anak menjadi Pelacur atau Pekerja Seks Komersial (PSK) , 75% dari jumlah PSK berusia 13-24 tahun, lebih dari  2 juta aborsi pertahun terjadi di Indonesia, di Jakarta 6 hingga 20% siswa SLTA dan mahasiswa melakukan hubungan seks bebas pra nikah, pada tahun 2002 Menteri Negara Urusan Perempuan mengatakan bahwa 6 dari 10 wanita yang belum menikah tidak virgin lagi, belum lagi kasus pemerkosaan yang terdata setiap hari sangat besar dan ini sebenarnya gunung es karena banyak korban pemerkosaan yang tidak melaporkan diri karena malu.
            Pusat Studi Hukum Universitas Islam Indonesia mengemukakatan 15% dari 202 responden remaja usia 15-25 tahun sudah berhubunga seks karena pengaruh gambar dan tayangan porno lewat internet, VCD, TV dan bacaan cabul. Sedang menurut Pusat Sumberdaya Hukum untuk Keadilan Gender  pada tahun 2003 korban kasus pornografi dan pornoaksi berjumlah 63 kasus, tahun 2004 naik menjadi 144 kasus dan pada tahun 2005 melonjak menjadi lebih dari 1000 kasus.
            Saat ini akibat kebebasan pers diperkirakan ada 200-an situs porno lokal buatan Indonesia, baik isi tampilan maupun pengelolanya. Dari sekitar 829 media cetak diseluruh Indonesia 10 % atau 82  diantaranya termasuk media cetak (koran, tabloid, majalah) dewasa syur yang menampilkan foto syur perempuan, model lelaki panggilan, konsultasi seks vulgar, iklan layanan seks via telepon ditambah operator dengan gambar mesum, artikel liputan tempat maksiat dan wawancara artis yang sangat permisif. Dan majalah Play Boy Indonesia adalah majalah porno pertama yang dilegalkan dinegari muslim terbesar didunia ini padahal negara seperti Taiwan dan Hongkong menutup kembali setelah majalah syahwat itu beredar beberapa saat. Dewan Pers sendiri melepas tangan terhadap media porno yang sedang menjamur saat ini dengan dalih ini bukan produksi industri pers tapi produk industri pornografi yang menjadi tanggung jawab Departemen Perindustrian dan Perdagangan .

UU Pornografi dan Porno Aksi
            Sebenarnya wakil rakyat kita sudah menyiapkan perangkat untuk pembatasan dan membuat aturan main tentang pornografi dan porno aksi ini dengan mengajukan RUU tentang hal tersebut. Namun RUU tersebut terkatung-katung sejak 1999 melewati tiga rezim penguasa bangsa ini yang puncaknya pada tahun 2004 setelah diajukan ke eksekutif. Namun, kandas presiden Megawati Soekarno Putri yang seorang wanita menolak padahal pada saat yang sama banyak RUU yang disahkan. Sosok keibuan pempimpin negeri saat itu mengkandaskan dan memupuskan harapan kaum hawa yang sebagian besar menjadi obyek dan korban dari pornografi dan porno aksi.
            Banyak kelompok yang mengatakan bahwah RUU Pornografi ini merupakan sinyalemen bagian dari kendaraan ideologis menuju formalisasi syariat Islam. Padahal sejak awal RUU ini digagas murni untuk menanggulangi ekskalasi pornografi yang kian marak dan gencar demi perlindungan dan perkembangan anak bangsa terutama kaum wanita, remaja dan anak-anak. Sesuatu yang mestinya menjadi tanggungjawab kita bersama sebagai bentuk penghargaan dan penghormatan terhadap nila-nilai kemanusiaan.
            Pro-kontra terhadap subtansi dan pasal-pasal yang ada dalam RUU tersebut masih diperdebatkan antara pendukung dan penolak RUU tersebut yang terkadang dapat dilihat sangat tidak rasional.
            Sekelompok kalangan berpendapat RUU ini terlalu jauh memasuki wilayah pribadi/privat. Padahal pornografi bila merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 282 maka termasuk wilayah hukum pidana (publik). Karena pornografi merupakan suatu kejahatan maka harus diatur oleh hukum negara dan tidak cukup dengan aturan agama dan norma kesusilaan saja. Pornografi merupakan salah-satu peyumbang signifikan terhadap penyakit masyarakat menurut pakar komunikasi Ade Armando seperti AIDS, kehamilan remaja, aborsi, perselingkuhan dan perceraian, orang tua tunggal, perkosaan/pelecehan seksual, paedophilia dan pelacuran.
            Pandangan yang mengatakan bahwa RUU Pornografi tidak menghargai Hak Asasi Manusia (HAM) adalah sangat tidak rasional karena Hak Asasi setiap manusia dibatasi oleh hak orang lain.  Pada pasal 28 (i) UUD 1945 dan pasal 4 UU HAM No. 39 tahun 1999 menyebutkan hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Sementara dalam pasal 28 (j) UUD 1945 dan pasal 69 UU HAM No 39 Tahun 1999 menyebutkan setiap orang wajib menghormati HAM orang lain, moral, etika, dan tata tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Setiap HAM seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan tanggungjawab untuk menghormati hak asasi orang lain secara timbal balik serta menjadi tugas pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukannya.
            RUU Pornografi bukan mengurangi atau membuat bias peraturan yang sudah ada sebelumnya termasuk KUHP tapi melengkapi ketidak sempurnaan dan hal-hal yang tidak dimuat didalamnya. Permasalahan pornografi tidak cukup diatur dalam KUHP karena dari segi definisi kesusilaan tidak ada definisi dan batasan yang jelas, dengan ancaman hukuman yang sangat ringan. Pasal 281 dan 282 KUHP yang dianggap mampu mengatasi pornografi dan pornoaksi hanya memberikan ganjaran hukuman maksimal penjara 2 tahun 8 bulan dan maksimal denda Rp. 75.000. Hal ini tidak akan membuat jera dan dampak apapun pada para pelakunya apalagi dilihat dari keuntungan industri seks di Indonesia miliaran rupiah.
            Adalah salah besar dan terlalu didramatisir bahkan terkesan mengadudomba anak bangsa dan cenderung memecah keutuhan NKRI  jika adapihak yang mengatakan bahwa RUU pornografi memberagus keanekaragaman budaya Indonesia seperti budaya Bali, koteka di Papua dan lain sebagainya, karena sasaran dari RUU Pornografi adalah adalah industri pornografi baik dari segi produksi, distribusi dan konsumen pornografi tersebut. Dalam Pasal 14 RUU pornografi  terdapat pengecualian pembuatan, penyebarluasan dan penggunaan materi seksualitas untuk kepentingan dan memiliki nilai senibudaya, adat istiadat dan ritual tradisional.
            Kata kunci dari degradasi moral yang terjadi pada anak bangsa yang akan menmegang kepemimpinan esok salah satunya  adalah adalah pronografi. Pornografi bagi bangsa ini sama ganasnya dengan narkoba dan korupsi kerena yang memporakporandakan tatanan kenidupan bangsa ini baik tatanan kebangsaan maupun tatanan pergaulan dan tingkan laku.
            Bencana besar telah ada dihadapan bangsa ini namun sebagiannya merindukan dan menikmati bencana itu dan mengharap agar dipercepat kedatangannya kerena mereka mengambil keuntungan dari penderitaan bangsa ini dan masa depan bangsa yang akan tergadaikan. Haruskah bangsa ini poranda dan lenyap dari peta peradaban dan kebudayaan dunia karena Pornografi dan porno aksi?. Yang harus dilakukan saat ini adalah menggalang sebanyak-banyaknya masyarakat yang masih memiliki komitmen moral terhadap negeri ini -karena permasalahan pornografi adalah permasalahan kemanusiaan yang terusik oleh manusia itu sendiri- . Hampir semua negara melarang pornografi dan telah memiliki hukum yang mengaturnya secara khusus. Amerika Serikat memiliki Child Obscenity and Pornography Prevention Act of 2002 dan di Inggris memiliki Obscene Publications Act 1959 dan Obscene Pulications Act 1964 yang berlaku sampai Sekarang. Tidak ada kata terlambat, segera sahkan secepatnya RUU pornografi atau anak bangsa yang akan datang mengutuk kita sebagai penyebab kehancuran generasi mereka.


Iwan Wahyudi
Ketua Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Daerah NTB 2006-2008
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Mataram 2004-2005