Minggu, 31 Juli 2011

RAMADHAN, Ketika Setiap Detik Begitu Bernilai


Hanya ungkapan rasa syukur pada-Nya yang senatiasa kita ucapkan dengan memuji dan memuja-Nya sebagai ungkapan yang mewakili haru birunya hati ketika salah satu doa kita dibulan Ramdhan tahun lalu dikabulkannnya dengan kita dapat berjumpa dan meneguk semua kemuliaan di bulan Ramadhan tahun ini.
Begitulah waktu membawa kita pada bulan mulia ini, tentunnya bulan Ramadhan  kali ini banyak yang berubah dibandingkan tahun lalu. Usia kita kian dewasa dan semakin dapat membedakan mana yang bisa meningkatkan produktifitas dan mana yang sebaliknya akan memberdaya kita untuk selalu terlena. Banyak diantara orang-orang dekat yang setahun lalu bersama kita berpacu meraih nikmat ramadhan kini telah dipanggil oleh-Nya. Ramadhan selain sebagai bulan untuk meningkatkan produktifitas amal juga menjadi tempat meningkatkan produktifitas potensi ekonomi ummat Islam.
Hampir setiap sudut bumi dan sisi kehidupan turut menyambut Ramadhan, tayangan televisi hampir semua memasukan tayangan spiritualnya, tempat umum dan perbelanjaan dipenuhi dengan fasilitas dan harga khusus, Institusi pemerintah maupun lembaga kemasyarakatan sibuk membuat acara keIslaman untuk mengisi ramadhan, di setiap jalan dan tempat umum mata kita dimanjakan dengan spanduk dan baliho bernuansa Ramadhan bulan mulia tersebut.
Puasa Ramadhan adalah perintah dari Sang Khalik Pencipta kita. Allah SWT berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمْ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagiamana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian menjadi orang yang bertaqwa”. (Al-Baqoroh:183)
Bahwa bulan Ramadhan merupakan bulan yang agung dan mulia, dan memiliki banyak keutamaan dan keistimewaan, mengandung di dalamnya kebaikan dari Allah SWT, pahala dan ganjaran yang berlipat bagi mereka yang ingin mencarinya. Dalam atsar disebutkan:
أَيُّهَا النَّاسُ، قَدْ أَظَلَّكُمْ شَهْرٌ عَظِيْمٌ، شَهْرٌ مُبَارَكٌ، شَهْرٌ فِيْهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ، جَعَلَ اللهُ صِيَامَهُ فَرِيْضَةٌ، وَقِيَامُ لَيْلِهِ تَطَوُّعًا، مَنْ تَقَرَّبَ فِيْهِ بِخَصْلَةٍ مِنَ الْخَيْرِ، كَانَ كَمَنْ أَدَّى فَرِيْضَةً فِيْمَا سِوَاهُ، وَمَنْ أَدَّى فِيْهِ فَرِيْضَةً كَانَ كَمَنْ أَدَّى سَبْعِيْنَ فَرِيْضَةً فِيْمَا سِوَاهُ، وَهُوَ شَهْرُ الصَّبْرِ، وَالصَّبْرُ ثَوَابُهُ الْجَنَّةَ، وَشَهْرُ الْمُوَاسَاةِ، وَشَهْرٌ يُزْدَادُ فِيْهِ رِزْقُ الْمُؤْمِنِ، مَنْ فَطَّرَ فِيْهِ صَائِمًا كَانَ مَغْفِرَةً لِذُنُوْبِهِ وَعِتْقُ رَقَبَتِهِ مِنَ النَّارِ، وَكَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْتَقِصَ مِنْ أَجْرِهِ شَيْءٌ، قَالُوا: لَيْسَ كُلُّنَا نَجِدُ مَا يُفْطِرُ الصَّائِمَ؟ فَقِيْلَ: يُعْطِي اللهُ هَذَا الثَّوَابَ مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا عَلىَ تَمْرَةٍ، أَوْ شُرْبَةَ مَاءٍ، أَوْ مَذَقَةَ لَبَنٍ، وَهُوَ شَهْرٌ أَوَّلُهُ رَحْمَةٌ، وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ، وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ
Dari Salman Al-Farisi ra. berkata: “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah pada hari terakhir bulan Sya’ban: Wahai manusia telah datang kepada kalian bulan yang agung, bulan penuh berkah, didalamnya ada malam yang lebih baik dari seribu bulan. Allah menjadikan puasanya wajib, dan qiyamul lailnya sunnah. Siapa yang mendekatkan diri dengan kebaikan, maka seperti mendekatkan diri dengan kewajiban di bulan yang lain. Siapa yang melaksanakan kewajiban, maka seperti melaksanakan 70 kewajiban di bulan lain. Ramadhan adalah bulan kesabaran, dan kesabaran balasannya adalah surga. Bulan solidaritas, dan bulan ditambahkan rizki orang beriman. Siapa yang memberi makan orang yang berpuasa, maka diampuni dosanya dan dibebaskan dari api neraka dan mendapatkan pahala seperti orang orang yang berpuasa tersebut tanpa dikurangi pahalanya sedikitpun ». kami berkata : »Wahai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam Tidak semua kita dapat memberi makan orang yang berpuasa ? ». Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:” Allah memberi pahala kepada orang yang memberi buka puasa walaupun dengan satu biji kurma atau seteguk air atau susu. Ramadhan adalah bulan dimana awalnya rahmat, tengahnya maghfirah dan akhirnya pembebasan dari api neraka (HR Al-‘Uqaili, Ibnu Huzaimah, al-Baihaqi, al-Khatib dan al-Asbahani)
            Khutbah Rasulullah dalam menyambut Ramadhan diatas cukuplah bagi kita untuk membuka sedikit tabir begitu banyaknya hamparan pahala yang akan di berikan selama bulan suci ini. Dalam beberapa ibadah Allah SWT memberikan waktu dan tempat special untuk memberikan pahala yang berlipat ganda.
            Tempat dan waktu special ini ibarat sebuah dermaga untuk kita sejenak menepi mengisi ulang energy jiwa kita untuk kemudian melanjutkan perjalanan. Kita berhenti untuk menggelorakan kembali semangat, menguatkan azzam (tekad), menambah bekal dan kekuatan, tempat kita melakukan percepatan amal yang sempat berlubang dan kadang tidak mencapai target. Tempat kita menutupi kekurangan-kekurangan dihari lain yang pernah terlalaikan dan kadang tergelincir dalam kubangan. Ramadhan adalah salah satu dermaga dengan waktu special sepanjang tiga puluh hari dengan banyak fasilitas istimewa diantaranya menjanjikan ampunan, dilipat gandakannya pahala, malam lailatul qadar yang lebih baik dari malam seribu bulan.
            Ibnu Qayyim mengatakan “ Sebelum usia kita berakhir, sebelum segalanya menjadi terlambat, dan agar kita tidak memanen usia dengan buah yang pahit dihari pembalasan, tanamlah di lahan-lahan waktu kita dengan pohon-pohon yang baik. Belajarlah kiat-kiat mendayagunakan waktu yang telah dipraktekkan oleh para salaf, generasi awal Islam. Karena mereka telah membuktikan, tidak ada waktu mereka yang berlalu dengan sia-sia. Waktu mereka senantiasa terisi dengan kebaikan, ketaatan dan produktifitas.
            Ramadhan dengan waktunya 720 jam adalah dermaga yang senantiasa penuh dengan keistimewaan. Waktu 30 hari bukan masa yang panjang ia akan cepat berlalu sesuai dengan karakter sang waktu, ia tidak dapat ditunda walau sesaat karena ia tak dapat kembali. Saatnya kita siapkan semua pontensi dan sumberdaya untuk merengkuh kenikmatan dari semua keuntungan atas  keistimewaan Ramadhan yang di hamparkan dan dijanjikan oleh Allah SWT. Jangan kita lewatkan sesaatpun waktu di Ramadhan kali ini karena kita tidak pernah tau apakah Ramadhan tahun ini yang terakhir kita rasakan?. Bulan mulia ini tak akan tersiakan karena Ramadhan Ketika Setiap Detik Begitu Benilai.

Udayana 11, 12:05
1 Ramadhan 1432 H/ 1 Agustus 2011.
Iwan Wahyudi.

Selasa, 12 Juli 2011

IZINKAN KAMI MENATA ULANG TAMAN INDONESIA


H.M. Anis Matta, Lc
(Wakil Ketua DPR RI)

Sejarah adalah catatan statistik tentang denyut hati, gerak tangan, langkah kaki, dan ketajaman akal. (Malik Bin Nabi, Ta`ammulat:35)


Empat syuhada berangkat pada suatu malam,
gerimis air mata tertahan di hari keesokan,
telinga kami lekapkan ke tanah kuburan dan simaklah itu sedu-sedan,
Mereka anak muda pengembara tiada sendiri,
mengukir reformasi karena jemu deformasi,
dengarkan saban hari langkah sahabat-sahabatmu beribu menderu-deru,
Kartu mahasiswa telah disimpan dan tas kuliah turun dari bahu.
Mestinya kalian jadi insinyur dan ekonom abad dua puluh satu.
Tapi malaikat telah mencatat indeks prestasi kalian tertinggi
di Trisakti bahkan di seluruh negeri,
karena kalian berani mengukir alfabet pertama
dari gelombang ini dengan darah arteri sendiri,
Merah Putih yang setengah tiang ini,
merunduk di bawah garang matahari,
tak mampu mengibarkan diri karena angin lama bersembunyi.
Tapi peluru logam telah kami patahkan alam doa bersama,
dan kalian pahlawan bersih dari dendam,
karena jalan masih jauh dan kita perlukan peta dari Tuhan.
(Taufik Ismail, 1998)


Begitulah Taufik Ismail lewat sajak berjudul 12 Mei 1998 mengabadikan kepahlawanan empat mahasiswa Trisakti yang gugur diterjang peluru kediktatoran rezim Orde Baru; ElangMulyana, Hery Hartanto, Hendriawan Lesmana, dan Hafidin Royan. Mereka adalah sebagian dari pelaku baru sejarah Indonesia dan sekaligus fajar yang menandai lahirnya generasi baru, generasi 1998.

Ibu pertiwi seperti menepati janjinya. Janji untuk melahirkan anak-anak yang setia pada cita-cita luhurnya; anak-anak yang membawa keberanian di tengah ketakutan,
mengibarkan bendera perlawanan terhadap penindasan, memekikkan gaung pembelaan di tengah pengkhianatan; anak-anak yang memberikan darahnya dengan tulus sebagai mahar untuk kebebasan dan keadilan; anak-anak yang meninggalkan kenikmatan masa mudanya dengan penuh cinta untuk hidup dalam debu dan deru jalanan, bahkan
menyerahkan hidupnya agar bangsa ini bisa hidup dengan cara yang lebih baik.

Maka sejarah panjang bangsa ini, setidak-tidaknya dalam hitungan abad ini, ditandai dengan kelahiran generasi demi generasi pada setiap persimpangan sejarah. Jika generasi 98 berhasil menumbangkan Orde Baru, maka generasi 66 berhasil mengakhiri Orde Lama.

Dalam (puisi) Sebuah Jaket Berlumur Darah, Taufik Ismail melukiskan suasana kepahlawanan itu:

Sebuah jaket berlumur darah
kami semua sudah menatapmu
telah berbagi duka yang agung dalam kepedihan bertahun-tahun.

Begitu kita menyusuri sejarah bangsa ini lebih jauh, kita akan bertemu dengan generasi 45 yang mempelopori perjuangan kemerdekaan. Dan lebih jauh ke belakang, ada generasi 28 yang mempelopori persatuan nasional dalam simbol tanah air, kebangsaan dan bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda. Lebih jauh lagi, kita akan bertemu dengan generasi 1900-an yang mempelopori kebangkitan nasional. Semua angkatan itu lahir silih berganti sampai datang angkatan 1998. Dan mereka lahir pada titik persimpangan sejarah dan memberi arah bagi perjalanan bangsa kita. Mereka selalu muncul sebagai pelopor, menghentikan kesunyian sejarah dan mengobarkan api kehidupan.

Abad 20, dalam perspektif bangsa kita, sesungguhnya adalah sejarah anak-anak muda. Tapi itu bukan hanya milik Indonesia. Tanggal 23 Oktober 1956 Revolusi Hongaria meletus di tangan para pemuda dan mahasiswa yang menentang pendudukan Uni Soviet dan pemerintahan boneka. Para pemuda dan mahasiswa bahkan mempelopori perlawanan terhadap negara adi kuasa itu di seantero kawasan Eropa Timur.

Eropa Barat juga menyaksikan gelombang gerakan pemuda dan mahasiswa sepanjang tahun 60-an; gerakan mahasiswa di Perancis meledakkan Krisis 22 Mei 1968, mahasiswa Spanyol bangkit menentang diktator Jendral Franco pada 1965. Hal yang sama juga terjadi di Italia, Belgia dan negara Eropa lainnya.

Di dunia Islam, baik di kawasan Asia dan Afrika, para mahasiswa dan pemuda bangkit mempelopori perlawanan terhadap para penjajah di sepanjang paruh pertama abad 20 sampai tahun 70-an. Para pemudalah yang terlibat dalam Revolusi Aljazair 1954 yang mengenyahkan Prancis dari tanah itu. Para pemuda dan mahasiwa juga berhasil mengusir Inggris dari Mesir. Dan sekarang, sejak 1987 hingga sekarang, anak-anak muda bahkan yang masih bocah, telah meletuskan Intifadhah melawan penjajah Israel di Palestina.

Anak-anak muda melemparkan batu melawan serdadu Israel yang bersenjata
lengkap sambil menyenandungkan syair Hasyim Al-Rifa'i:
Itulah syurga yang menuntut harga
Hanya dari urat nadi para syuhada


Anak-anak muda selamanya adalah energi peradaban yang mengalirkan sungai
sejarah. Setiap kali energi itu meledak, maka sejarah segera mencatat peristiwa-peristiwa dan langit menjadi saksi. Sebuah lembaran kehidupan baru dari buku sejarah manusia telah dibuka. Dan sejarah, kata Malik Bin Nabi, adalah catatan statistik tentang denyut hati, gerak tangan, langkah kaki dan ketajaman akal.

Anak-anak yang Gelisah
Sejarah anak-anak muda adalah sejarah perlawanan dan pembelaan. Sebelum kemerdekaan anak-anak muda Indonesia bangkit menyatukan bangsa dan melawan penjajah serta merebut kemerdekaan. Tapi setelah merdeka mereka bangkit melawan penguasa tiran dan diktator serta membela rakyat dari penindasan sosial, ekonomi dan politik.

Adalah bagian dari keunikan abad ini, Allah swt menakdirkan para penguasa tiran dan diktator lahir pada waktu yang hampir bersamaan. Ketika tirani Soekarno merajalela di
Indonesia, maka di Yugoslavia ada Tito dan di Mesir ada Nasser. Ketika kediktatoran Soeharto membungkam rakyat Indonesia, maka di Libya ada Khadafi, di Irak ada Saddam, di Syiria ada Asad, dan di Iran ada Reza Pahlevi. Di abad ini pula lahir Hitler, Stalin dan Mossoulini. Jangan lupa, di abad ini pula dunia terlibat dalam dua kali perang akbar, Dunia I dan II, pada 1914 dan 1941.

Perlawanan dan pembelaan adalah energi peradaban. Dan energi itu lahir dari kegelisahan. Tapi dari manakah kegelisahan itu tercipta? Dari idealisme yang terpasung di alam kenyataan. Maka setiap kali janji kemakmuran terpasung dalam krisis ekonomi yang menyengsarakan rakyat, atau suara keadilan terbungkam dalam tirani kekuasaan, atau kebebasan ditindas oleh kediktatoran, setiap kali itu pula ada kegelisahan yang meresahkan jiwa anak-anak muda dan mencatut semua kenyamanan hidup mereka. Maka mereka bergerak dan segera berdiri di garis depan menyambut penggilan sejarah. Tapi anak muda macam manakah mereka? Mereka adalah anak-anak muda yang telah beriman kepada Tuhan mereka, lalu Kami tambahkan petunjuk kepada mereka.(QS. Al-Kahfi:13)

Demikianlah. Kegelisahan menjadi isyarat dari anak-anak peristiwa yang akan lahir dari rahim sejarah. Kegelisahan memberi energi. Dan energi itu tumpah ruah dalam
semangat perlawanan dan pembelaan. Maka, ada peristiwa ada sejarah. Tapi ada satu fenomena yang jarang kita perhatikan dalam langkah sejarah, bahwa gerakan-gerakan pemuda seringkali dimatikan oleh orang-orang yang mencetuskannya pertama kali. Lihat Soekarno dan Soeharto.

Saatnya Kaum Muda Bangkit Kembali
Kini, kita tengah berada di persimpangan sejarah. Generasi 98 telah menjalankan tugasnya. Mereka telah berhasil menumbangkan rezim Orde Baru dan mengantar sejumlah elit politik baru ke panggung sejarah Indonesia. Tapi tugas belum betul-betul tuntas. Tahun ini kita memperingati Sumpah Pemuda dengan kenyamanan yang terampas, sebab ada kegeliasahan baru, sebab ada idelisme yang terpasung di alam kenyataan, sebab cita-cita reformasi seperti hilang lenyap dalam retorika politik.

Masa transisi yang tengah kita alami ini boleh jadi merupakan awal dari bencana besar yang mungkin akan menimpa bangsa kita di masa depan. Seperti ketika arogansi berhadap-hadapan dengan kenyataan bahwa negara kita sedang menghampiri kebangkrutannya, seperti ketika semangat memberantas KKN berhadap-hadapan dengan semangat balas dendam atas kemiskinan masa lalu. Seperti ketika demokrasi dan keterbukaan serta dialog berhadap-hadapan dengan semangat balas dendam atas marginlisasi politik masa lalu.

Pemerintahan Mega sekarang, menurut saya, tidak akan mungkin bisa menegakkan hukum dengan baik. Karena; pertama, dia membawa dendam masa lalu, baik dendam atas kemiskinan atau dendam atas marginalisasi politik di masa lalu. Itu tidak mungkin, dan lebih parah lagi dia memang tidak mau. Kita tidak bisa berharap dari pemimpin yang `nervous' di depan kekuasaan dan uang.

Ada masalah dalam bangsa kita, pertama dalam hal konsistensi yakni masalah penyimpangan di ujung jalan atau di tengah jalan. Pemimpin yang diasumsikan lurus ternyata membuyarkan seluruh harapan masyarakat. Itu juga yang mungkin terjadi sekarang. Mereka yang meretas jalan, tapi mereka pula yang merubuhkan panggungnya sendiri. Begitu seterusnya. Maka sudah saatnya kita berfikir bahwa kita yang meretas jalan, kita juga yang akan mengisi panggung itu seterusnya.

Kedua, rakyat ini tidak punya firasat. Ketika kita mencalonkan seorang, atau setidak tidaknya menitipkan harapan pada seorang calon pemimpin, kita tidak mempunyai firasat tentang orang itu, bahwa orang itu bisa jadi gagal mengantar bangsa untuk menyelesaikan sebagian dari persoalan selama ini. Jadi terlepas dari perhitungan-perhitungan politik, pada dasarnya semua akan tergantung pada firasat kita terhadap seseorang. Dan kalau rakyat tidak mempunyai firasat tentang orang yang dicalonkannya, itu berarti mereka tidak mengenal dirinya sendiri. Dan ini berhubungan dengan hadits Nabi: “Kalau Allah mencintai suatu kaum maka Dia akan mengangkat orang yang terbaik dari kaum itu sebagai pemimpin mereka, dan kalau Allah membenci suatu kaum maka Dia akan mengangkat orang yang terjahat menjadi pemimpin kaum itu”.

Kita, anak-anak muda yang telah menunaikan sebagian dari tugas sejarah, sekarang harus segera kembali mengkonsolidasikan diri, mencabut harapan pada pemerintahan ini,
dan segera mematangkan diri secara dini, kemudian berkata dengan yakin kepada bangsa ini:

Tuntaskan reformasi
Percepat alih generasi
Dan pertahankan keutuhan Indonesia.


Mungkin memang harus begini kejadiannya. Bahwa sejarah menghendaki kita melangkah lebih cepat untuk menyelamatkan bangsa ini. Kita harus kembali penuhi jalan-jalan. Tanpa mengurangi rasa hormat, barangkali merupakan dosa untuk terus mempercayai tugas sejarah ini kepada orang-orang tua kita sekarang. Maka, biarlah dengan sedikit memaksakan diri kita berkata kepada mereka: beri kami lebih banyak kesempatan untuk terlibat, dan izinkan kami menata ulang taman Indonesia, biar kami buat kalian tersenyum sebelum senja tiba.

Perubahan-perubahan besar dalam sejarah pada mulanya tampak seperti kabut yang menghalangi cahaya matahari turun ke bumi. Itu yang membuat banyak orang ragu-ragu untuk melakukannya. Tetapi apabila masyarakat sudah mulai resah akibat lilitan berbagai macam problema, percayalah Anda bahwa keresahan itu adalah awal dari ledakan energi peradaban.

Dulu Rasulullah bersabda: “Para pemuda bersekutu denganku dan orang-orang tua memusuhiku”. Seperti sepotong sajak Taufik Ismail (1998) kepada mereka:

Seluruh jajaran aparat kenegaraan di atas umur tiga puluh sudah bersedia berdiri ke
pinggir secara menyeluruh.
Bangsa kini dipimpin oleh anak-anak muda yang sebenar bersih.
Kami muncul lewat tahun-tahun pengalaman yang sangat pedih.

---------

Indonesia dan Kita

Oleh Cahyadi Takariawan*
Jika kita bepergian ke negara-negara “maju”, seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Perancis, Kanada, Australia dan lain sebagainya, ada banyak fenomena menarik dalam kehidupan keseharian jika dibandingkan dengan Indonesia. Mereka negara yang relatif sekular, negara tidak mencampuri urusan agama masyarakat. Agama dan keyakinan hidup adalah urusan individu masing-masing orang.

Pertama-tama yang langsung terlihat adalah kebersihan, keteraturan, ketertiban, kerapihan dan keindahan. Kota yang indah, rapi, teratur dan tertib. Public transportation seperti bus, trem, kereta api dengan aneka nama dan jenisnya, transportasi sungai dan laut, semuanya tampak bersih, rapi, tertib dan memenuhi standar keamanan. Lalu lintas tampak ramai, namun tidak terdengar bunyi klakson.

Semua trafict light, semua tanda-tanda lalu lintas relatif dipatuhi. Sangat jarang dijumpai pengendara mobil yang “ugal-ugalan” atau tidak tertib di jalan maupun saat parkir. Mengendarai mobil di ruas-ruas jalan, baik siang maupun malam, terasa aman dan nyaman, karena yakin bahwa semua orang mematuhi aturan lalu lintas. Tidak khawatir akan diserobot atau ditabrak mobil lain, karena masing-masing mengerti dan mentaati aturan di jalan.

Jika kita di stasiun bus, bandara atau tempat umum lainnya, menjumpai toilet dalam keadaan bersih dan tidak berbau. Saya ingat cerita mbak Marissa Haque suatu ketika, bahwa kalau di Amerika kita harus jeli membaca tulisan atau bertanya kepada orang untuk mencari toilet di bandara. Namun di Indonesia tidak perlu bertanya atau membaca petunjuk, karena toilet bisa dikenali lewat baunya dari jarak jauh. Bau toilet yang khas menuntun kita menemukan lokasi toilet.

Di sepanjang trotoar jalan tampak bersih dan tidak ada pedagang kaki lima yang memenuhi badan trotoar. Toko dan pusat perbelanjaan kelihatan rapi dan tertib. Di semua tempat kita menyaksikan orang sangat tertib antri, untuk berbagai urusan. Jika menunggu bus umum, semua orang antri di halte. Saat bus datang, orang masuk sesuai urutan antri dan tidak berebutan masuk, apalagi dorong mendorong. Di kassa super market, semua orang antri dengan tertib. Di kasir saat kita di rumah makan atau kedai minuman, semua orang antri dengan tertib. Bahkan cenderung sepi, karena tidak terdengar orang berteriak-teriak.

Jika kita naik bus atau kereta api, selalu ada tempat yang dikhususkan untuk para penyandang cacat dan orang-orang tua, juga untuk ibu hamil. Anak-anak muda dan orang dewasa yang normal tidak akan menduduki kursi khusus tersebut, karena mereka mengutamakan orang cacat, orang tua dan ibu hamil.

Jika ada orang tua atau penyandang cacat naik bus, tampak bus dimiringkan posisinya oleh sopir, agar penumpang yang cacat atau sudah tua mudah naik ke dalam bus. Sopir akan menunggu sampai penumpang duduk, baru menjalankan busnya. Kecepatan bus juga diatur, ada kecepatan maksimal yang tidak boleh dilampaui.

Itu beberapa hal yang kelihatan dengan cepat oleh mata kita di negara-negara maju tersebut. Seorang teman mengatakan, “Akhlak mereka lebih baik dari akhlak masyarakat Indonesia”. Saya menyanggahnya. Tidak, ini bukan soal akhlak.

Jika kita bicara akhlak, maka selalu melibatkan dimensi Ketuhanan di dalamnya. Kita tidak perlu terlalu jauh meninjau sampai kepada dimensi Ketuhanan, karena akan lebih rumit. Jadi, mari kita pahami dengan dimensi kemanusiaan, yang relatif lebih mudah dilihat.

Apa yang kita saksikan di negara-negara maju tersebut merupakan akumulasi dari proses yang panjang. Proses pendidikan, proses kemakmuran dan penegakan hukum. Tentu sangat banyak proses lainnya, namun coba kita lihat dari tiga sisi ini saja untuk memudahkan.

Kumpulan dari masyarakat yang (relatif) terdidik, makmur dan dijaga dengan hukum yang ketat, menyebabkan mereka menjadi masyarakat yang tertib, teratur dan tampak sopan. Masyarakat tidak berani melanggar aturan karena mereka tahu bahwa hukum akan menyulitkan dan memberatkan mereka. Pelanggaran di jalan, akan berdampak langsung kepada mereka. Kamera yang dipasang di sepanjang jalan akan memotret pelanggaran yang dilakukan, dan akan langsung terkirim ke alamat rumah tagihan denda atas pelanggaran yang dilakukan.

Kamera menyebabkan tidak ada negosiasi di jalan. Jika bertemu polisi yang menemukan kita melakukan pelanggaran, kita tidak akan bisa negosiasi dengannya. Jika sopir bus berlaku tidak sopan, bisa kena komplain dari pelanggan. Jika sopir terkena komplain, dia bisa terkena sanksi sejak dipotong gaji sampai dikeluarkan dari pekerjaan. Jika sudah punya catatan dikeluarkan dari pekerjaan, akan menyebabkan sulit baginya mencari pekerjaan berikutnya.

Jika ada orang melakukan pelanggaran terhadap aturan pemerintah, siapapun orang itu, akan langsung terkena dampak hukum. Orang takut melanggar, orang takut menyimpang dari aturan karena akan membuat kesulitan yang panjang dalam hidup mereka selanjutnya. Orang berusaha untuk tidak berurusan dengan hukum, apalagi penjara. Tidak ada negosiasi dalam penegakan aturan. Walikota yang melanggar, akan tetap terkena sanksi hukum.

Kejahatan bisa terjadi dimana-mana sebagai tabiat alam kehidupan. Namun kejahatan bisa dikurangi dan dicegah dengan proses pendidikan, dengan peningkatan kemakmuran dan penegakan hukum yang tegas dan pasti. Saya masih ingat saat di Canberra, diantar oleh dua muslimah asal Malaysia menuju ke bukit salju. Berjalan dengan kecepatan 100 sampai 150 km/jam, muslimah ini tampak sangat santai mengendarai mobil. Perjalanan selama 3 jam lebih terasa nyaman, karena kondisi jalan yang bagus, lapang, dan semua orang taat aturan lalu lintas.

Di negara kita tercinta, pendidikan masih harus terus menerus ditingkatkan kualitas dan kuantitasnya. Kemakmuran masyarakat juga masih sangat jauh dari harapan, termasuk kemakmuran para aparat penegak hukum. Apalagi hukum tidak ditegakkan dengan konsisten. Semua bisa dinegosiasi, semua bisa diatur, semua bisa diselesaikan dengan “cara adat”. Terlebih ada kesan, siapa punya duwit, dia bisa mengatur apa saja di Indonesia.

Masyarakat merasa tidak takut melanggar aturan, karena sangat banyak orang melanggar tidak diapa-apakan. Aman-aman saja. Bebas-bebas saja. Masyarakat tidak malu melanggar lampu lalu lintas, karena banyak teman yang melakukannya. Pejabat tidak malu korupsi, karena banyak sahabatnya, dan tidak diproses hukum.

Masih banyak ingin saya tuliskan, tapi ini ibu-ibu pengajian British Columbia (BC) sudah mengajak saya jalan-jalan ke Dollar Store di downtown Vancouver. Nanti saya teruskan ceritanya. Khawatir mereka marah….. tuh sudah pada siap di mobil…. saya pergi dulu yah….

Vancouver 16 Maret 2011


Sumber : pkspiyungan.blogspot.com

Islam Agama Cinta

cl0043Ketika perang Qadisiyyah meletus, Khalifah ‘Umar bin Khattab menulis surat kepada panglimanya, Sa‘ad bin Abi Waqqas, supaya menaklukkan Hilwan, sebuah propinsi di Irak. Maka dikirimlah 300 personel kavaleri di bawah komando Nadhlah bin Mu‘awiyah al-Ansari. Hari itu, setelah dengan mudah menguasai seluruh propinsi, mereka menyaksikan suatu kejadian luar biasa. Saat itu masuk waktu maghrib dan Nadhlah pun naik ke sebuah tempat yang agak tinggi di lereng bukit untuk mengumandangkan azan. Anehnya, setiapkali Nadhlah selesai mengumandangkan kalimat azannya, spontan terdengar suara seseorang menjawabnya. “Allahu akbar!” laung Nadhlah, “Kabbarta kabiran, ya Nadhlah!” sahut orang itu. “Asyhadu alla ilaha illa Allah” dijawab dengan “Kalimatul ikhlas, ya Nadhlah!”. Lalu ketika dilaungkan “Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah”, suara misterius itu menyahut, “Huwa ad-dinu, wa huwa alladzi basysyarana bihi ‘Isa ibnu Maryam ‘alayhima as-salam, wa ‘ala ra’si ummatihi taqumu as-sa‘ah!” Nadhlah menyambung azannya, “Hayya ‘ala ash-shalah!” lalu dijawabnya, “Thuba liman masya ilayha wa waazhaba ‘alayha!”, sedangkan “Hayya ‘ala al-falah!” dijawab dengan “Qad aflaha man ajaaba Muhammadan shallallahu ‘alayhi wa sallam, wa huwa al-baqa’ li ummatihi”. Dan laungan “La ilaha illa Allah” disambut dengan “Akhlashta al-ikhlash, ya Nadhlah, faharrama Allah jasadaka ‘ala an-naar!”



Selesai azan, Nadhlah yang tentu saja tidak gentar, meskipun cukup heran, lantas berseru: “Siapakah engkau, hai orang yang dikasihi Allah!? Apakah engkau Malaikat, jin penghuni di sini, atau seorang hamba Allah (dari golongan manusia)? Engkau telah memperdengarkan pada kami suaramu, maka tunjukkanlah pada kami dirimu! karena kami ini datang atas perintah Allah dan Rasulullah saw. dan atas instruksi Umar bin Khattab!” Lalu tiba-tiba terdengar suara gemuruh seperti gempa bumi kemudian bukit itu terbelah, dan dari situ muncul seorang berambut dan berjenggot serba putih. Setelah memberi salam, orang misterius tersebut memperkenalkan dirinya: “Saya Zurayb bin Bartsamla, orang yang disuruh tinggal di bukit ini oleh hamba yang saleh ‘Isa bin Maryam alayhima as-salam dan didoakan oleh beliau dapat berumur panjang untuk menunggu turunnya beliau dari langit, dimana beliau akan memusnahkan babi, menghancurkan salib dan berlepas diri dari agama kaum Nasrani (yatabarra’ mimma nahalathu an-nashara).”
Kisah sejarah ini diriwiyatkan oleh Syaikh Muhyiddin Ibnu ‘Arabi dalam kitabnya, al-Futuhat al-Makkiyyah, bab 36 (fi ma‘rifat al-Isawiyyin wa aqthabihim wa ushulihim). Lalu apa relevansi kisah tersebut? Menurut Ibnu Arabi, berdasarkan riwayat ini jelas sekali bahwa pengikut Nabi Isa yang murni tidak hanya mengimani kenabian Muhammad saw. tapi juga beribadah menurut syari‘atnya. Ini karena dengan kedatangan sang Nabi terakhir, syari’at agama-agama sebelumnya otomatis tidak berlaku lagi. Fa inna syari‘ata Muhammad saw. naasikhah!, tegas Ibnu Arabi, seraya mengutip hadis Rasulullah,
“Law kana Musa hayyan ma wasi‘ahu illa an yattabi‘ani).”
“Seandainya Nabi Musa hidup saat ini, maka beliau pun tidak dapat tidak mesti mengikutiku”
Di sini nampak cukup jelas sikap dan posisi Ibnu Arabi terhadap agama pra-Islam.
Ironisnya, sejak beberapa dekade yang lalu hingga sekarang, tokoh Sufi yang berasal dari Andalusia ini oleh sementara ‘kalangan’ acapkali ‘diklaim’ sebagai pelopor gagasan Islam inklusif. Nama beliau kerap ‘dicatut’ untuk menjustifikasi ide pluralisme agama. Tidak hanya itu, Syaikh tasawuf ini bahkan ‘dijadikan bemper’ untuk melegitimasi asumsi para penganut ‘agama perennial’ (religio perennis) bahwa dalam aspek esoteris dan pada dataran transenden, semua agama adalah sama, karena semuanya sama benarnya, sama sumbernya (Tuhan), dan sama misinya (pesan moral, perdamaian, dsb).
Dengan kata lain, seperti diungkapkan oleh Nurcholish Madjid (dalam kata pengantarnya untuk buku Tiga Agama Satu Tuhan, hal. xix), “Setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama.” Sebagaimana kita ketahui, pemahaman semacam ini dipopulerkan oleh F. Schuon, S.H. Nasr, W.C. Chittick dalam tulisan-tulisan mereka yang kini nampak mulai mendapat tempat di Indonesia. Untuk mendukung klaimnya, biasanya ‘kalangan’ ini mengutip tiga bait puisi Ibn Arabi dalam karya kontroversialnya, Tarjuman al-Asywaq, yang berbunyi: “Hatiku telah mampu menerima aneka bentuk dan rupa; ia merupakan padang rumput bagi menjangan, biara bagi para rahib, kuil anjungan berhala, ka‘bah tempat orang bertawaf, batu tulis Taurat, dan mushaf bagi al-Qur’an. Agamaku adalah agama cinta, yang senantiasa kuikuti kemanapun langkahnya; demikianlah agama dan keimananku.”
Seolah membenarkan asumsinya sendiri (self-fulfilling prophecy), Nasr menyimpulkan bahwa disinilah Ibnu Arabi “came to realize that the divinely revealed paths lead to the same summit” (Lihat: Three Muslim Sages [Delmar, New York: Caravan Books, 1964], hlm.118).
Sekilas memang nampak meyakinkan. Akan tetapi sebenarnya kaum transendentalis [sengaja?] tidak mengemukakan—kalau bukan justru menyembunyikan—fakta bahwa Ibnu Arabi telah menjelaskan maksud semua ungkapannya dalam syarah yang ditulisnya sendiri, yaitu Dzakha’ir al-A‘laq syarh Tarjuman al-Asywaq (ed.Dr.M.‘Alamuddin asy-Syaqiri, Cairo: Ein for Human and Social Studies, 1995, hlm.245-6). Di situ dinyatakan bahwa yang beliau maksudkan dengan ‘agama cinta’ adalah agama Nabi Muhammad saw., merujuk kepada firman Allah dalam al-Quran Ali Imran:31
“Katakanlah [hai Muhammad!], kalau kalian betul-betul mencintai Allah, maka ikutilah aku!—niscaya Allah akan mencintai kalian.”
Dan memang dalam kitab Futuhat-nya (bab 178, fi Maqam al-Mahabbah), Ibn Arabi dengan gamblang menerangkan apa yang beliau fahami tentang cinta dalam ayat tersebut. Berdasarkan objeknya, terdapat empat jenis cinta, kata beliau: (1) cinta kepada Tuhan (hubb ilahi); (2) cinta spiritual (hubb ruhani); (3) cinta alami (hubb thabi‘i); dan terakhir (4) cinta material (hubb ‘unsuri).
Setelah menguraikan tipologi cinta tersebut, Ibn Arabi dengan tegas menyatakan bahwa cinta kepada Tuhan harus dibuktikan dengan mengikuti syari‘at dan sunnah Rasul-Nya saw (al-ittiba‘ li-rasulihi saw. fima syara‘a). Jadi, ‘agama cinta’ yang beliau maksudkan adalah Islam, yaitu agama syari‘at dan sunnah Nabi Muhammad saw., dan bukan ‘la religion du coeur’ versi Schuon dan para pengikutnya itu.
Selain bait puisi di atas, kaum Transendentalis juga giat mencari pernyataan-pernyataan Ibn Arabi yang dapat di‘plintir’ to serve their own purposes. Ini biasanya disertai dengan tafsiran seenaknya yang sesungguhnya merupakan ekspresi ke‘sok tahu’an belaka dan murni reka-reka (conjecture) , sebagaimana terungkap dalam kalimat “perhaps Ibn Arabi would also accept”, “may be that”, “Ibn Arabi might reply” dsb. (Lihat Chittick, “A Religious Approach to Religious Diversity” dalam buku Religion of the Heart: Essays presented to Frithjof Schuon on his eightieth Birthday, ed. S.H. Nasr dan W. Stoddart, Washington, D.C.: Foundation for Traditional Studies, 1991).
Lebih parah lagi—dan ini yang perlu diwaspadai dan dikritisi—adalah praktek menggunting dan membuang bagian dari teks yang tidak mendukung asumsi mereka. Sebagai contoh, ketika mengutip sebuah paragraf dari Futuhat (bab) yang mengungkapkan pendapat Ibnu Arabi mengenai status agama-agama lain dalam hubungannya dengan Islam, Chittick tidak memuatnya secara utuh.
“All the revealed religions (shara’i‘) are lights. Among these religions, the revealed religion of Muhammad is like the light of the sun among the lights of the stars. When the sun appears, the lights of the stars are hidden, and their lights are included in the light of the sun. Their being hidden is like the abrogation of the other revealed religions that takes place through Muhammad’s revealed religion. Nevertheless, they do in fact exist, just as the existence of the light of the stars is actualized. This explains why we have been required in our all-inclusive religion to have faith in the truth of all the messengers and all the revealed religions. They are not rendered null (batil) by abrogation—that is the opinion of the ignorant.” (Lihat: Imaginal Worlds: Ibn Arabi and the Problem of Religious Diversity, New York: State University of New York Press, 1994, hlm.125).
Dengan [sengaja?] berhenti di situ, Chittick memberi kesan seolah-olah Ibnu Arabi menolak pendapat mayoritas kaum Muslimin bahwa semua agama samawi pra-Islam dengan sendirinya terabrogasi dengan datangnya Islam. Padahal maksud pernyataan Ibn Arabi adalah semua agama dan kitab suci yang dibawa oleh para rasul pada zaman dahulu harus diakui kebenarannya dalam konteks sejarah masing-masing—yakni sebelum Nabi Muhammad saw. muncul. Dan ini merupakan bagian dari rukun iman. Akan tetapi tidak berarti bahwa validitas tersebut berkelanjutan setelah kedatangan Rasulullah saw. atau bahkan sampai sekarang. “Nabi Isa pun, seandainya sekarang ini turun, niscaya tidak akan mengimami kita kecuali dengan mengikut sunnah kita [Ummat Muhammad], dan tidak akan memutuskan suatu perkara kecuali dengan syari‘at kita.” (Wa hadza ‘Isa idza nazala ma ya’ummuna illa minna, ay bi sunnatina, wa la yahkumu fina illa bi syar‘ina), demikian tegas Ibn Arabi (Lihat: Futuhat, bab 36).
Lebih jauh, dengan kutipan yang tidak komplit itu Chittick berusaha menggiring pada para pembaca agar meyakini bahwa Ibnu Arabi adalah seorang penganut pluralisme dan transendentalist seperti dirinya.
Sambungan pernyataan Ibnu Arabi yang dipotong oleh Chittick dalam kutipan tersebut di atas berbunyi: “Maka berbagai jalan [agama] semuanya bermuara pada jalan [agama] Nabi [Muhammad] saw. Karena itu, seandainya para rasul berada di zaman beliau, niscaya mereka mengikuti beliau sebagaimana syari‘at mereka ikut syari‘at beliau” (Fa raja‘at ath-thuruq kulluha nazhiratan ila thariq an-Nabiy shallallahu ‘alayhi wa sallama, fa law kanat ar-rusul fi zamanihi latabi‘uhu kama tabi‘at syara’i‘uhum syar‘ahu).
Bagaimana dengan ayat yang mengatakan bahwa Allah telah menciptakan syari‘at dan jalan untuk masing-masing kalian (al-Ma’idah:48)
“Likullin ja‘alna minkum syir‘atan wa minhajan”.
Menurut Ibnu Arabi, kata ganti orang kedua dalam bentuk jamak (“kum”) dalam konteks ayat tersebut merujuk kepada para Nabi, bukan umat mereka. Sebab jika ia ditujukan kepada umat mereka, niscaya Allah tidak mengutus lebih dari seorang rasul untuk suatu umat. Dan jika kata “kalian” disitu difahami sekaligus untuk para rasul serta umat mereka, maka kita telah menta’wilkannya secara gegabah. Jadi maksud ayat tersebut, menurut Ibnu Arabi, bukan membenarkan semua jalan menuju Tuhan, atau menyamakan status semua agama. Sebaliknya, terdapat garis demarkasi yang jelas antara hak dan batil, iman dan kufur, tawhid dan syirik, dst. Kalau tidak, lanjut Ibnu Arabi, niscaya Nabi saw. tidak akan berdakwah mengajak orang masuk Islam, niscaya orang yang pindah agama (yartadid ‘an dinihi) tak disebut kafir (2:217) dan niscaya tidak keluar perintah membunuh orang yang murtad (hadits: “man baddala dinahu fa-qtuluhu”).
Oleh sebab itu, Ibnu Arabi menambahkan, orang Yahudi atau Nasrani yang masuk Islam tidak dikatakan murtad, karena ajaran murni agama mereka memang mengharuskan beriman kepada dan mengikuti ajaran Nabi Muhammad saw. (Selengkapnya dapat dilihat di Futuhat, bab 495, fi Ma‘rifati hal quthb kana manziluhu “wa man yartadid minkum ‘an dinihi fayamut wa huwa kafir”).

Sumber : http://www.al-ikhwan.net/islam-agama-cinta-3332/

IDENTITAS adalah JATIDIRI


             Setiap individu tentunya dalam dirinya melekat sebuah identitas yang membedakannya dengan orang lain, ya minimal dengan identitas itu orang lain dapat mengetahui siapa diri kita. Sulit dibayangkan jika kita semua tidak memiliki identitas maka akan terjadi sesemerawutan atau bahkan banyak orang yang akan memanfaatkan ketidak adaan indentitasnya untuk hal-hal yang merugikan orang lain.
            Mengapa masyarakat Indonesia begitu marah ketika Malaysia mengklaim batik Indonesia, reog ponorogo dan angklung sebagai budaya mereka? Iya itu karena hal-hal tersebut adalah identitas bangsa Indonesia. Seharusnya itu juga yang tetap ada dalam identitas pribadi kita, tidak mudah tergoyah oleh apapun dan siapapun atau bahkan identitas itu tidak ingin kita tunjukan karena ketidak percayaan diri padanya, padahal identitas adalah hal yang senantiasa melekat pada setiap manusia walaupun ditutupi.
            Hal yang cukup sederhana misalnya, dalam social media seperti Facebook hampir banyak orang yang enggan mencantumkan identitas yang sebenarnya bahkan hal tersebut terkait dengan Foto Profile. Begitu banyak orang yang terkecoh oleh status wah seseorang dan sebaliknya sebegitu bangganya seseorang membuat status palsu, padahal ia sedang bangga dengan ketidak terus teranggannya.
Kadang saya berpikir diantara hal yang paling sulit adalah mengubah pandangan orang lain terhadap diri kita. Ketika kita telah membentuk orang lain dengan sebuah identitas terhadap diri kita, bukan hal yang mudah untuk meyakinkan orang lain kembali ketika harus membentuk pandangan orang lain terhadap kita dengan sebuah identitas baru yang sebenarnya identitas baru itulah sesungguhnya diri kita tanpa harus menorehkan kekecewaan pada orang lain. Kenapa kita harus sibuk dengan kepalsuan? sedang identitas itulah jati diri kita sebenarnya.

Kapuas VIII/4, 17.50.12072011
Iwan Wahyudi