Senin, 05 Desember 2011

Puasa Sunah ‘Asyura: Waktu dan Keutamaannya



Oleh: Farid Nu’man
                Tidak Sedikit manusia bertanya, bagaimanakah puasa sunah ‘Asyura itu? Dan kapankah pelaksanaannya?

Dalil-Dalilnya:

                Berikut ini adalah dalil-dalil puasa tersebut:
1.       Hadits Dari Muadz bin Jabal Radhiallahu ‘Anhu:

 فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَصُومُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَيَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى { كُتِبَ عَلَيْكُمْ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِلَى قَوْلِهِ طَعَامُ مِسْكِينٍ } فَمَنْ شَاءَ أَنْ يَصُومَ صَامَ وَمَنْ شَاءَ أَنْ يُفْطِرَ وَيُطْعِمَ كُلَّ يَوْمٍ مِسْكِينًا أَجْزَأَهُ ذَلِكَ

                “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dahulu berpuasa tiga hari pada tiap bulannya dan berpuasa pada hari ‘Asyura, lalu Allah Ta’ala menurunkan wahyu: “Diwajibkan atas kalian berpuasa (Ramadhan) sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian”  hingga firmanNya: “memberikan makanan kepada orang miskin” maka sejak itu barang siapa yang ingin berpuasa (puasa tiga hari tiap bulan dan ‘Asyura) maka silahkan dia berpuasa, dan barang siapa yang ingin berbuka maka silahkan dia berbuka, dan memberikan kepada orang miskin setiap hari yang demikian itu akan mendapatkan ganjaran.” (HR. Abu Daud No. 507. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 507)

2.       Hadits dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, katanya:

 كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُهُ فَلَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ صَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تَرَكَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ
“Hari ‘Asyura adalah hari yang pada masa jahiliyah orang-orang Quraisy melaksanakan puasa, saat itu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga berpuasa. Ketika Beliau  sampai ke Madinah beliau berpuasa dan memerintahkan manusia agar berpuasa pada hari itu. Maka, tatkala diwajibkan puasa Ramadhan, dia meninggalkan puasa ‘Asyura. Maka, barang siapa yang mau silahkan dia puasa dan barang siapa yang tidak maka tinggalkanlah.” (HR. Bukhari No. 2002, 4504, Muslim No. 1125)

3.       Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, katanya:

 كَانُوا يَصُومُونَ عَاشُورَاءَ قَبْلَ أَنْ يُفْرَضَ رَمَضَانُ وَكَانَ يَوْمًا تُسْتَرُ فِيهِ الْكَعْبَةُ  فَلَمَّا فَرَضَ اللَّهُ رَمَضَانَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ شَاءَ أَنْ يَصُومَهُ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ شَاءَ أَنْ يَتْرُكَهُ فَلْيَتْرُكْهُ



                “Dahulu mereka berpuasa pada hari ‘Asyura sebelum diwajibkannya Ramadhan dan saat itu hari ditutupnya Ka’bah. Ketika Allah Ta’ala mewajibkan Ramadhan, bersabdalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Barang siapa yang mau puasa (‘Asyura) silahkan, barang siapa yang mau meninggalkannya, silahkan.” (HR. Bukhari No. 1592, Ath Thabarani dalam Al Awsath No. 7495, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 9513)
                Dan lain-lain.
                Dari tiga hadits di atas, kita dapat memahami bahwa dahulu puasa ‘Asyura adalah   rutinitas Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya. Lalu,  puasa itu menjadi ‘opsi’ (pilihan) saja setelah diwajibkannya puasa Ramadhan, bagi yang menghendakinya.

                Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani menjelaskan, bahwa sebagaian ulama, yakni kalangan Hanafiyah mengatakan dahulu puasa ‘Asyura itu wajib, mereka berdalil dengan zahir hadits bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan hal itu: 

                “ …. ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sampa ke Madinah beliau berpuasa dan memerintahkan manusia agar berpuasa pada hari itu.”

                Lalu, ketika diwajibkan puasa Ramadhan, kewajiban puasa ‘Asyura di hapus (mansukh). Namun mayoritas ulama mengatakan bahwa tidak ada satu pun puasa yang wajib, sebelum diwajibkannya   puasa Ramadhan, mereka berdalil dari hadits Mu’awiyah Radhiallahu ‘Anhu secara marfu’: “Allah tidak mewajibkan berpuasa (‘Asyura) atas kalian.”.  Ada pun perintah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada hadits tersebut tidak menunjukkan kewajiban, tetapi anjuran saja. (Lihat Fathul Bari, 4/103. Darul Fikr)

                Yang shahih –Insya Allah- adalah pendapat jumhur ulama. Hadits yang dimaksud adalah dari Mu’awiyah bin Abu Sufyan Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إن هذا يوم عاشوراء، ولم يكتب عليكم صيامه، وأنا صائم، فمن شاء صام، ومن شاء فليفطر
                “Sesungguhnya ini adalah hari ‘Asyura, dan kalian tidaklah diwajibkan berpuasa padanya, dan saya sedang puasa, jadi barangsiapa yang mau puasa silahkan, yang mau buka juga silahkan.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)
                Hadits ini diucapkan juga sebelum diwajibkannya puasa Ramadhan, maka jelaslah bahwa sebelum wajibnya puasa Ramadhan, tidak ada puasa wajib termasuk ‘Asyura.
  


Keutamaan ‘Asyura dan Puasanya

1.       Puasa paling afdhal setelah puasa Ramadhan

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

 أفضل الصيام بعد رمضان شهر الله المحرم وأفضل الصلاة بعد الفريضة صلاة الليل
                “Puasa paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Muharam.” (HR. Muslim No. 1163. Ad Darimi No. 1758.  Ibnu Khuzaimah No. 2076. Ahmad No. 8534, dengan tahqiq Syaikh Syu’aib Al Arna’uth)

2.       Diampuni dosa setahun sebelumnya

Dari Abu Qatadah, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

 وَصَوْمُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ إِنِّي أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ
                “Dan berpuasa ‘Asyura, sesungguhnya saya menduga atas Allah bahwa dihapuskannya dosa setahun sebelumnya.” (HR. Abu Daud  No. 2425, Ibnu Majah No. 1738. Syaikh Al Albani mengatakan shahih dalam Al Irwa, 4/111, katanya: diriwayatkan oleh Jamaah kecuali Al Bukhari dan At Tirmidzi.  Shahihul Jami’ No. 3806)
3.       Hari ‘Asyura adalah Hari  di mana Allah Ta’ala membebaskan Nabi Musa dan Bani Israel dari kejaran Fir’aun dan Bala tentaranya

Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:
قدم النبي صلى الله عليه وسلم المدينة فرأى اليهود تصوم عاشوراء.
فقال: " ما هذا؟ " قالوا: يوم صالح، نجى الله فيه موسى وبني السرائيل من عدوهم، فصامه موسى فقال صلى الله عليه وسلم: " أنا أحق بموسى منكم " فصامه، وأمر بصيامه
                Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sampai di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa ‘Asyura. Beliau bertanya: “Apa ini?” mereka menjawab: “Ini hari baik, Allah telah menyelamatkan pada hari ini Musa dan Bani Israel dari musuh mereka, maka Musa pun berpuasa.” Maka, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Saya lebih berhak terhadap Musa dibanding kalian.” Maka, beliau pun beruasa dan memerintahkan untuk berpuasa (‘Asyura).” (HR. Muttafaq ‘Alaih)


Kapankah Pelaksanaannya?

                Terjadi perselisihan pendapat para ulama. 

1.       Pihak   yang mengatakan 9 Muharam (Ini diistilahkan oleh sebagian ulama hari tasu’a).

Dari Al Hakam bin Al A’raj, dia berkata kepada Ibnu Abbas:

أَخْبِرْنِي عَنْ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَيُّ يَوْمٍ هُوَ أَصُومُهُ قَالَ إِذَا رَأَيْتَ هِلَالَ الْمُحَرَّمِ فَاعْدُدْ ثُمَّ أَصْبِحْ مِنْ التَّاسِعِ صَائِمًا قَالَ فَقُلْتُ أَهَكَذَا كَانَ يَصُومُهُ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ نَعَمْ
                “Kabarkan kepada aku tentang puasa ‘Asyura.” Ibnu Abbas berkata: “Jika kau melihat hilal muharam hitunglah dan jadikan hari ke-9 adalah berpuasa.” Aku berkata; “Demikiankah puasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam?”  Ibnu Abbas menjawab: “Ya.” (HR. Muslim No. 1133, Ahmad No. 2135)

                 Juga  dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:

 حِينَ صَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

                “Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berpuasa pada hari ‘Asyura dan dia memerintahkan manusia untuk berpuasa pada hari itu, para sahabat berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani ….,” Maka dia bersabda: “Jika datang tahun yang akan datang – Insya Allah- kita akan berpuasa pada hari ke-9.” Ibnu Abbas berkata: “Sebelum datangnya tahun yang akan datang, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah wafat.” (HR. Muslim No. 1134 dan Abu Daud No. 2445)

                Sementara dalam lafaz lainnya:
لئن سلمت إلى قابل لأصومن اليوم التاسع
                “Jika saya benar-benar masih sehat sampai tahun depan, maka saya akan berpuasa pada hari ke-9.” (HR. Muslim No. 1134. Ibnu Majah No. 1736. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra No. 8185. Ahmad No. 1971)

                Dalam Shahih Muslim disebutkan tentang puasa hari ke-9:
وفي رواية أبي بكر: قال: يعني يوم عاشوراء

                “Dalam riwayat Abu Bakar, dia berkata: yakni hari ‘Asyura.” (HR. Muslim No. 1134)

                Dari Ibnu Abbas secara marfu’:
لئن عشت إلي قابل لأصومن التاسع يعني يوم عاشوراء

                “Jika saya masih hidup sampai tahun depan, saya akan berpuasa pada hari ke -9, yakni ‘Asyura.” (HR. Ahmad No. 2106, Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: sanadnya qawwi. Musnad Ibnu Al Ja’d No. 2827) 

2.       Pihak   yang mengatakan 10 Muharam, dan ini pendapat mayoritas ulama. Puasa ‘Asyura, sesuai asal katanya – al ‘asyr – yang berarti sepuluh.

Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah:

واختلف أهل الشرع في تعيينه فقال الأكثر هو اليوم العاشر ، قال القرطبي عاشوراء معدول عن عاشرة للمبالغة والتعظيم ، وهو في الأصل صفة لليلة العاشرة لأنه مأخوذ من العشر
“Telah berselisih pendapat para ahli syariat tentang waktu spesifiknya, kebanyakan mengatakan adalah hari ke sepuluh. Berkata Al Qurthubi ‘Asyura disetarakan dengan kesepuluh untuk menguatkan dan mengagungkannya. Pada asalnya dia adalah sifat bagi malam yang ke sepuluh, karena dia ambil dari kata al ‘asyr (sepuluh).” (Fathul Bari, 6/280)
 
Lalu beliau melanjutkan:

وعلى هذا فيوم عاشوراء هو العاشر وهذا قول الخليل وغيره : وقال الزين ابن المنير : الأكثر على أن عاشوراء هو اليوم العاشر من شهر الله المحرم
                “Oleh karena itu, hari ‘Asyura adalah ke sepuluh, inilah pendapat Al Khalil dan lainnya. Berkata Az Zain bin Al Munir, “ mayoritas mengatakan bahwa ‘Asyura adalah hari ke 10 dari bulan Allah, Al Muharram. (Ibid)
Pendapat   ini berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم بصيام عاشوراء يوم العاشر

                “Kami diperintahkan puasa ‘Asyura oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, hari ke sepuluh.” (HR. At Tirmidzi No. 755, katanya: hasan shahih. Syaikh Al Albani menshahihkan dalam Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 755)                 

                Lalu, bagaimana dengan dalil-dalil yang dikemukakan oleh pihak yang mengatakan ‘Asyura adalah tanggal 9 Muharam?

                Al Hafizh Ibnu Hajar memberikan penjelasan: “Zahirnya hadits ini menunjukkan hari ‘Asyura adalah hari ke-9, tetapi berkata Az Zain bin Al Munir: “Sabdanya jika datang hari ke sembilan” maka jadikanlah  ke sepuluh, dengan maksud yang ke sepuluh karena janganlah seseorang berpuasa pada hari ke-9 kecuali setelah berniat pada malam yang akan datang yaitu malam ke sepuluh.”  Lalu beliau mengatakan:

  قلت : ويقوي هذا الاحتمال ما رواه مسلم أيضا من وجه آخر عن ابن عباس أن النبي صلى الله عليه وسلم قال " لئن بقيت إلى قابل لأصومن التاسع فمات قبل ذلك " فإنه ظاهر في أنه صلى الله عليه وسلم كان يصوم العاشر وهم بصوم التاسع فمات قبل ذلك ، ثم ما هم به من صوم التاسع يحتمل معناه أنه لا يقتصر عليه بل يضيفه إلى اليوم العاشر إما احتياطا له وإما مخالفة لليهود والنصارى وهو الأرجح

                “Aku berkata: yang menguatkan tafsiran ini adalah apa yang diriwayatkan oleh Muslim juga dari jalan lain, dari Ibnu Abbas bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:                “jika saya masih ada sampai tahun depan saya akan berpuasa pada hari ke-9, dan dia wafat sebelum itu.” Pada zahir hadits ini menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berpuasa pada hari ke-10, dan   meraka diperintah  melakukannya pada hari ke-9 dan dia wafat sebelum itu. Kemudian apa yang mereka lakukan berupa puasa hari ke-9, tidaklah bermakna membatasi, bahkan menambahkan hingga hari ke -10, baik karena kehati-hatian, atau demi untuk menyelisihi orang Yahudi dan Nasrani. Inilah pendapat yang lebih kuat.” (Ibid)

                Sebenarnya kelompok ini tidaklah mengingkari puasa hari ke-9. Beliau mengutip dari para ulama:

وقال بعض أهل العلم : قوله صلى الله عليه وسلم في صحيح مسلم " لئن عشت إلى قابل لأصومن التاسع " يحتمل أمرين ، أحدهما أنه أراد نقل العاشر إلى التاسع ، والثاني أراد أن يضيفه إليه في الصوم ، فلما توفي صلى الله عليه وسلم قبل بيان ذلك كان الاحتياط صوم اليومين

                “Berkata sebagian ulama: Sabdanya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam Shahih Muslim: Jika aku masih hidup sampai tahun depan maka aku akan berpuasa pada hari ke -9” bermakna dua hal; Pertama, yaitu perubahan dari hari ke-10 menjadi ke-9. Kedua, yaitu puasanya ditambahkan, ternyata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam keburu meninggal sebelum menjelaskan hal itu, maka demi kehati-hatian puasa tersebut ada dua hari.” (Ibid)

                Berkata Ibnu Abbas secara mauquf:
صوموا التاسع والعاشر وخالفوا اليهود

                “Berpuasalah pada hari ke 9 dan 10 dan berselisihlah dengan Yahudi.” (HR. Ahmad No. 3213, sanadnya shahih mauquf/sampai Ibnu Abbas saja)

3.       Pihak yang mengatakan puasa ‘Asyura itu adalah 9, 10, dan 11 Muharam.

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menulis dalam kitab Fiqhus Sunnah sebuah sub bab berjudul :

صيام محرم، وتأكيد صوم عاشوراء ويوما قبلها، ويوما بعدها
                “Puasa Muharam dan ditekankan puasa ‘Asyura, dan Puasa sehari sebelumnya, serta sehari sesudahnya.” (Fiqhus Sunnah, 1/450. Darul Kitab ‘Arabi)

                Sama dengan kelompok kedua, hal ini demi kehati-hatian agar tidak menyerupai puasa Yahudi yang mereka lakukan pada hari ke-10, sebagai perayaan mereka atas bebasnya Nabi Musa ‘Alaihissalam dan bani Israel dari kejaran musuhnya.

                Dalilnya adalah dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Ahuma secara marfu’:

صوموا يوم عاشوراء وخالفوا اليهود ، صوموا يوما قبله أو يوما بعده
                “Puasalah pada hari ‘Asyura dan berselisihlah dengan Yahudi, dan berpuasalah sehari sebelumnya dan sehari sesudahnya.” (HR. Ahmad No. 2154, namun Syaikh Syu’aib Al Arna’uth mengatakan sanadnya dhaif)
                Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah –setelah merangkum semua dalil yang ada:

وعلى هذا فصيام عاشوراء على ثلاث مراتب : أدناها أن يصام وحده ، وفوقه أن يصام التاسع معه ، وفوقه أن يصام التاسع والحادي عشر والله أعلم .
                “Oleh karena itu, puasa ‘Asyura terdiri atas tiga tingkatan: 1. Paling rendah yakni berpuasa sehari saja (tanggal 10). 2. Puasa hari ke-9 dan ke-10. 3.  Paling tinggi   puasa hari ke-9, 10, dan ke-11. Wallahu A’lam” (Ibid. lihat juga Fiqhus Sunnah, 1/450)

                Wallahu A’lam

Menjadi Pribadi Sosial

Manusia adalah makhluk sosial, yang selalu memerlukan interaksi dan komunikasi satu dengan yang lainnya. Dalam kehidupannya, manusia tidak bisa hidup sendiri, selalu memerlukan orang lain dan oleh karena itu harus berhubungan dengan banyak kalangan. Hubungan sosial merupakan salah satu ciri keutuhan dan kesehatan jiwa manusia. Hanya orang yang jiwanya sakit yang suka mengurung diri dari pergaulan dan tidak mau berhubungan dengan orang lain.



Manusia sehat selalu melakukan kontak sosial dimanapun ia berada. Di rumah ia bergaul dan berkomunikasi dengan semua anggota keluarga. Di lokasi tempat tinggalnya, ia bergaul dan berinteraksi dengan tetangga dan masyarakat sekitar, selanjutnya ia berkontribusi dengan berbagai potensi yang dimiliki untuk kebaikan masyarakat. Di tempat kerja, ia bersosialisasi dengan teman-teman kerja dan masyarakat di lingkungan pekerjaan. Di organisasi, ia berkomunikasi dan berinteraksi dengan anggota serta pengurus organisasi.

Agar bisa sukses dalam menjalin hubungan sosial, diperlukan kepribadian sosial yang melekat dalam jiwa, dan akan memancar dalam perbuatan keseharian. Pribadi sosial ini yang membuat seseorang mampu bergaul dengan lancar dan tidak canggung, serta bisa sukses dalam mengelola berbagai hubungan sosial.
Untuk memunculkan kepribadian sosial ini, diperlukan beberapa sarana. Di antaranya adalah memiliki pemahaman tentang budaya masyarakat, kemampuan beradaptasi dengan masyarakat, serta memiliki kemampuan praktis.

Memahami Budaya Masyarakat
Kenali kebiasaan masyarakat dimana anda tinggal. Tradisi masyarakat di setiap tempat berbeda-beda. Bentukan kebiasaan dalam waktu yang lama telah melahirkan sikap dan perilaku khas di setiap tempat. Budaya masyarakat perkotaan berbeda dengan masyarakat desa dan pedalaman. Budaya masyarakat pedagang berbeda dengan masyarakat agraris. Budaya masyarakat di kompleks perumahan berbeda dengan masyarakat kampung, dan begitu seterusnya.

Seseorang yang lama tinggal di kota, bisa terkejut saat ia pindah tempat tinggal di wilayah desa. Ada sangat banyak perbedaan budaya kota dan desa, yang apabila tidak dipahami akan membuat orang tersebut gagal menjadi masyarakat desa, dan tidak bisa diterima oleh lingkungan sekitarnya. Demikian pula sebaliknya, seseorang yang tumbuh besar di desa, bisa terkaget-kaget melihat kebiasaan masyarakat kota yang saling tidak mengenal satu dengan lainnya di suatu lingkungan.

Di kampung tempat saya tinggal, kami semua saling mengenal satu dengan lainnya, dan mengerti rumah setiap warga. Jika ada berita kematian, cepat tersebar ke berbagai kampung lainnya melalu pengeras suara masjid. Pertama kali saya menempati rumah di kampung ini, saya juga mengalami kekagetan. Sebab sebelumnya saya selalu tinggal di wilayah yang bercorak perkotaan, dimana masyarakatnya saling asing. Di kampung, semua orang mengerti kegiatan warga lainnya.

Jika tidak memahami budaya kampung, saya akan menjadi orang kota yang tinggal di perkampungan sehingga akan tampak aneh dan asing di masyarakat. Memahami budaya masyarakat tempat kita tinggal menjadi sebuah keharusan agar bisa berhubungan sosial secara wajar dan bahkan memberikan kemanfaatan bagi lingkungan sekitar.

Mampu Beradaptasi dengan Masyarakat
Setelah memahami budaya masyarakat, hal berikutnya yang harus kita miliki adalah kemampuan beradaptasi dengan masyarakat. Adaptasi ini kadang cepat, kadang berjalan lambat dan bahkan amat lambat. Perbedaan budaya yang sangat kental menyebabkan adaptasi berjalan lambat, terlalu banyak penyesuaian harus dilakukan. Namun adaptasi adalah salah satu kelebihan yang dimiliki oleh manusia, sehingga kendati kadang terasa sulit dan rumit, namun tetap bisa dilakukan dengan pembiasaan dan pembelajaran.

Tentu saja adaptasi tidak bermakna melebur secara keseluruhan, karena tetap saja ada warna diri yang tidak bisa larut secara utuh dalam budaya masyarakat. Masing-masing diri manusia adalah unik, dan membawa jati diri yang harus dihormati oleh orang lain. Pada contoh sebuah masyarakat yang banyak meluangkan waktu untuk berkumpul dan ngerumpi serta menggunjingkan orang lain, tentu saja tidak perlu diikuti dan tidak perlu meleburkan diri dalam kebiasaan seperti itu.

Demikian pula tatkala ada masyarakat yang mentradisikan perjudian, adaptasi yang kita lakukan tidak perlu harus mengikuti dan meleburkan diri dalam keramaian judi yang mereka kembangkan. Adaptasi hanyalah dalam budaya positif dan produktif, serta berbagai aktivitas yang menjadi kewajaran sebuah masyarakat.
Sebagai contoh, kegiatan yang berkembang di masyarakat adalah ronda, pertemuan warga, pertemuan dasa wisma, pertemuan PKK, kegiatan Posyandu, kegiatan kerohanian atau keagamaan, membantu kerepotan warga yang sedang memiliki hajat, dan lain sebagainya. Jika tinggal di masyarakat yang memiliki aktivitas ronda secara rutin, kita tidak boleh menolak untuk melaksanakan, walaupun sebelumnya tinggal di wilayah yang tidak ada ronda sama sekali karena telah dijaga Satpam.

Di kampung saya, kebersamaan warga sangat tinggi. Sering ada kerja bakti membersihkan jalan, membersihkan selokan, memperbaiki atap masjid yang bocor, dan lain sebagainya. Tingkat kehadiran masyarakat cukup tinggi, sehingga akan kelihatan apabila ada warga yang jarang terlibat kegiatan kemasyarakatan.

Memiliki Ketrampilan Sosial
Berikutnya, diperlukan sejumlah ketrampilan sosial praktis untuk bisa berhubungan secara produktif di tengah masyarakat. Ada banyak orang yang ingin berhubungan sosial dengan baik, namun terkendala oleh karena tidak memiliki ketrampilan praktis untuk berkomunikasi dan berinteraksi di tengah pergaulan masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan ketrampilan praktis untuk mampu mewujudkan pergaulan yang menyenangkan dan memikat hati masyarakat.

Di antara ketrampilan sosial yang diperlukan adalah :
Pertama, Kemampuan Bergaul
Sekedar bergaul dan berhubungan dengan masyarakat, memerlukan ketrampilan yang memadai agar mudah diterima dan mudah dicintai oleh lingkungan sekitar. Sesungguhnya bukan hal yang rumit dan sulit, namun memerlukan kesediaan dan keterbukaan hati untuk melakukannya.
Kemampuan bergaul di tengah masyarakat bisa dibangun dengan sikap-sikap dan perilaku positif, seperti murah senyum, sikap ramah dan sopan, suka memberi hadiah, gemar silaturahim, bersedia membantu meringankan kerepotan dan kesulitan tetangga, rajin terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan, dan lain sebagainya.

Senyum adalah perbuatan yang ringan dan mudah, namun kalau tidak dibiasakan, ternyata tidak mudah untuk dilakukan. Banyak orang yang tampak cuek dan acuh, bahkan terkesan sangar karena jarang tersenyum. Padahal senyum itu menyenangkan orang lain, menenteramkan siapapun yang melihatnya. Senyum juga menyehatkan ruhani.

Masyarakat sangat senang dengan orang yang murah senyum lagi ramah. Menyapa tetangga, menyapa warga yang ditemui di jalan atau di depan rumah saat kita melewatinya, merupakan tindakan keramahan dan kesantunan yang menyenangkan. Membuka kaca jendela mobil sambil melambaikan tangan dan tersenyum kepada tetangga, adalah sikap keramahan dan kesantunan yang membuat perasaan nyaman. Itu semuanya sesungguhnya mudah dilakukan.

Kedua, Kemampuan Berdialog dan Mengobrol
Berdialog atau mengobrol juga memerlukan kemampuan tersendiri. Jika tidak memiliki ketrampilan mengobrol, bisa jadi akan menjadi patung yang diam membisu di tengah keramaian warga. Saat bertemu tetangga atau warga masyarakat hanya bisa mengucapkan salam, dan tidak ada perbincangan apapun setelahnya. Sepi dan sunyi, tidak ada diskusi atau obrolan.

Kemampuan dialog dan mengobrol, pertama kali harus dibangun melalui tindakan mendengarkan dengan baik pembicaraan orang lain. Setelah itu, kita berusaha untuk menyampaikan ide dan pikiran dengan bahasa yang sederhana yang sesuai dengan tingkat intelektualitas dan suasana budaya masyarakat. Menggunakan cerita sebagai bahan obrolan juga akan sangat membantu untuk mencairkan suasana, misalnya bercerita tentang kejadian sehari-hari yang tengah hangat di masyarakat.

Berikutnya, kita harus berusaha menghindari hal-hal yang bisa merusak suasana komunikasi. Di antara usaha yang bisa kita lakukan adalah menjauhi tema-tema yang kurang diterima oleh masyarakat, menjauhi sikap emosional, menghindari menghina dan merendahkan orang lain, dan lain sebagainya. Termasuk menjauhi perdebatan yang sengit dan menghindari sikap mau menang sendiri dalam diskusi, semua itu merupakan bekal yang sangat bagus dalam komunikasi di tengah masyarakat.

nDalem Mertosanan, Yogyakarta, 3 Desember 2011
Sumber : http://cahyadi-takariawan.web.id/?p=1942