Kamis, 25 Agustus 2011

KERJA KITA BELUM TUNTAS !


 
“Sungguh akan terurai ikatan (agama) Islam itu satu demi satu! Apabila terurai satu ikatan, orang-orang pun bergantung pada ikatan berikutnya. Ikatan yang pertama kali lepas ialah hukum, sedangkan yang terakhir kali lepas ialah shalat.” (HR. Ahmad).

Sabda Nabi saw diatas mengandung dua informasi. Pertama, informasi negatif tentang akan terjadinya degradasi pengamalan ajaran Islam. Kedua, informasi positif tentang karakteristik ajaran Islam yang mencakup seluruh aspek kehidupan, meliputi urusan dunia dan urusan akhirat. Urusan hukum dan urusan peribadahan.[1]

Dalam persfektif gerakan dakwah, dua informasi tersebut mengingatkan kita bahwa kerja gerakan dakwah dalam melakukan ishlah wa taghyir harus menyentuh seluruh aspek kehidupan. Gerakan dakwah berkewajiban terus bekerja dengan penuh kesabaran, menjalin kembali ikatan Islam yang telah terurai itu satu demi satu. Mulai dari ikatan shalat hingga ikatan hukum/pemerintahan.

Untuk itu diperlukan gerakan dakwah yang menyeluruh (dakwah syamilah). Maksudnya, gerakan dakwah harus mampu melakukan ta’biah al-afaqiyah (mobilitas horizontal) berupa gerakan kultural dan ta’biah al-amudiyah (mobilitas vertical) berupa gerakan structural. Ta’biah al-afaqiyah (mobilitas horizontal) adalah penyebaran kader dakwah ke berbagai kalangan dan lapisan masyarakat untuk menyiapkan masyarakat agar mereka menerima manhaj Islam serta produk kebijakan yang islami. Sedangkan ta’biah al-amudiyah (mobilitas vertical) adalah penyebaran kader dakwah ke berbagai lembaga yang menjadi mashadirul qarar (pusat-pusat kebijakan), agar mereka dapat menterjemahkan konsep dan nilai-nilai Islam ke dalam kebijakan publik.

Inilah khuthuth ‘aridhah (grand strategy) dakwah yang harus kita jalankan. Pekerjaan yang sangat berat memang. Namun kita yakin, keikhlasan dan kesungguhan kerja, akan mendatangkan ta’yid (dukungan) dan pertolongan Allah SWT.
“Orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) kami, benar- benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Ankabut, 29: 69).

Kerja Dakwah
Mobilitas secara horizontal dan vertical akan berjalan efektif dan mencapai target apabila didukung kerja dakwah yang prima:

Pertama, nasyrul hidayah, menyebarluaskan hidayah Allah SWT. Apakah secara qoulan (lisan), amalan (amal), atau qudwatan (keteladanan). Sehingga benih-benih kebaikan dapat tumbuh subur di tengah-tengah masyarakat.
Seorang muslim, wabil khusus aktivis gerakan Islam, harus menjadi teladan tentang nilai-nilai Islam dalam dirinya, yaitu saat bekerja, berbicara, makan, minum, akhlak dan tarbiyah, simpatik kepada orang lain, menjaga lisan dan jujur dalam berucap, tolong-menolong, dan sebagainya. Apabila ia melakukan semua itu karena Allah, ia akan menjadi pribadi yang bagaikan batu bata dalam membangun masyarakat Islam.

Sadarilah wahai para da’i, sesungguhnya masyarakat tidak akan berubah menjadi islami jika tidak mengenal hidayah Allah, dan bagaimanakah mereka dapat  mengenal hidayah Allah tanpa teladan dan bimbingan dari para ulama dan para da’i. Oleh karena itu, setiap kita harus mengambil peranan. Kita harus bekerjasama menciptakan situasi yang kondusif bagi tumbuhnya kultur keislaman di tengah masyarakat.

Para jurnalis harus berperan menjadi pelopor dalam melakukan kebaikan dan meluruskan pemikiran masyarakat melalui media informasi, misalnya melalui koran atau majalah yang mereka miliki. Media-media tersebut harus mengeluarkan masyarakat dari kebobrokan moral, lebih peduli pada pembinaan akhlak, dan berupaya membentuk opini umum.

Yayasan-yayasan kebajikan harus menjalankan perannya dalam membantu fakir miskin, menutupi kebutuhan orang-orang yang kekurangan, memberikan tunjangan untuk pelajar, dan menyebarkan sifat kedermawanan di tengah masyarakat.

Partai-partai politik harus menjaga kesatuan bangsa dan kehormatannya serta memperjuangkan kemerdekaan negeri dengan harta, jiwa, dan usaha.

Organisasi-organisasi keislaman dengan berbagai macam corak aktivitasnya harus berupaya mewarnai masyarakat dengan niali-nilai Islam yang universal.

Para menteri yang shalih harus melakukan perbaikan dalam departemen yang mereka tangani. Setiap muslim harus membela, melindungi, dan mempertahankan kebaikan dalam semua segi kehidupan di masyarakat.
Drama dan sinetron islami harus menjadi alternative di tengah-tengah gempuran film-film cabul, sinetron picisan, dan acara-acara televisi yang merusak lainnya.
Bank-bank Islam harus menyadarkan umat dari bahaya riba yang telah menjerumuskan mereka dalam ekonomi ribawi.

Para wakil rakyat dan anggota parlemen harus menjadi perisai dalam menjaga nilai-nilai moral.
Institusi pendidikan Islam harus mencetak dan membina para siswanya dengan menjadikan Islam sebagai prinsip.

Seluruh elemen masyarakat harus didorong untuk melakukan kebaikan dan menjauhkan diri dari keburukan serta melakukan islamisasi dalam kehidupan mereka. Dengan begitu akan terwujudlah masyarakat yang berwibawa.

Kedua, nasyrul fikrah, menyebarluaskan idealisme agar masyarakat memiliki semangat perjuangan dan dukungan kepada kehidupan yang lebih islami. Kegiatan ini dilakukan dengan mentarbiyah umat, mengingatkan masyarakat, mengubah opini umum, menyucikan jiwa, membersihkan ruhani, menyebarkan prinsip kebenaran, jihad, bekerja, dan menyebarkan nilai-nilai keutamaan di tengah umat manusia.
Diantara sarana yang dapat digunakan oleh para aktivis dakwah adalah: majelis ta’lim, seminar, ceramah, khutbah, kunjungan dakwah, dan lembaga kajian. Selain itu sangat baik jika gerakan Islam mampu  memunculkan media informasi (cetak/elektronik) yang dapat merebut opini umum untuk mendukung fikrah Islam.

Selain itu, aktivis Islam hendaknya tidak enggan melakukan nasyrul fikrah secara langsung kepada lingkungan terdekatnya. Bukankah di sekitar rumah kita ada masjid yang dapat mempertemukan kita sebanyak lima kali dalam sehari dengan tetangga-tetangga kita? Sudahkah kita menyampaikan kepada mereka apa yang seharusnya kita sampaikan?

Ada hal unik yang patut kita teladani dari para aktivis Partai Refah di Turki. Mereka memiliki petugas yang bertanggung jawab mengurusi setiap bagian jalan. Setiap petugas mengetahui dan mengenal betul seluruh yang ada di sekitar dan di sepanjang jalan tersebut. Setiap mereka menyempatkan diri untuk berkunjung ke rumah-rumah yang ada di sisi jalan yang menjadi tanggung jawabnya. Mereka mengucapkan rasa gembira pada saat bergembira dan memberikan ucapan bela sungkawa jika sedang ditimpa musibah. Dari sepanjang jalan inilah mereka menyampaikan fikrah dan sikap partai mereka. Pertanyaan buat kita: Apakah kita pernah berkunjung dan berbicara dengan tetangga kita di rumahnya? Sebenarnya pekerjaan ini sangat mudah untuk dilakukan bagi mereka yang mau mencobanya.

Islam adalah agama untuk semua manusia. Jika kita lalai menyampaikan informasi tentang keislaman, kita termasuk orang yang berdosa. Gerakan Islam yang hakiki adalah gerakan yang melakukan dakwah dan tabligh. Dengan mengajak itulah kita akan dapat membentuk opini umum pada masyarakat. Dengan cara seperti itu saja, kita akan dapat mewarnai masyarakat dengan warna Islam untuk menuju perubahan.

Ketiga, menggiatkan aktivitas amar bil ma’ruf dan nahyi ‘anil munkar, yakni berupaya melakukan konsolidasi, koordinasi, dan mobilisasi seluruh potensi positif konstruktif di tengah-tengah masyarakat agar memberikan kemaslahatan bagi umat, bangsa, negara, kemanusiaan, dakwah, dan lain sebagainya. Serta melakukan langkah-langkah minimalisasi atau mempersempit ruang gerak kemungkaran.

Jika dikaitkan dengan hadits di atas, yang mengilhami kita tentang visi dakwah syamilah, maka aktivitas dakwah dan amar ma’ruf nahyi munkar yang kita lakukan harus menyentuh seluruh aspek: (1) Aspek ibadah, mulai dari bagaimana mengajak shalat ke masjid, berpuasa, zakat, infaq, sedekah, haji, memberantas judi, miras, prostitusi, dan sebagainya. (2) Aspek keadilan, hukum, dan pemerintahan, mulai dari memberantas korupsi dan mafia peradilan, mengentaskan kemiskinan dan pengangguran, membela nasib buruh, tani, dan nelayan, menegakkan HAM, menegakkan pemusyawaratan dan pembangunan ekonomi umat, mengurangi diskriminasi di hadapan hukum, melestarikan lingkungan hidup, membangun ilmu pengetahuan dan teknologi, dan seterusnya.
عن أبي سعيد الخدري -رضي الله عنه- قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: من رأى منكم منكرا فليغيره بيده، فإن لم يستطع فبلسانه، فإن لم يستطع فبقلبه، وذلك أضعف الإيمان

Dari Abu Sa’id Al Khudry -radhiyallahu ‘anhu- berkata, saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “Barang siapa di antara kamu yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan tangannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan lisannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah dengan hatinya, dan itulah keimanan yang paling lemah.” (HR. Muslim no. 49)

Keempat, memelihara ruwiyah islamiyah (identitas masyarakat Islam) dan al-mazhar al-islami (penampilan Islam). Simbol-simbol keislaman harus dimunculkan, apakah yang bersifat fisik (bangunan masjid, mushola, madrasah, dll) atau aktivitas (pendidikan Islam, majelis ta’lim, dll).

Identitas dan penampilan ini juga hendaknya muncul dalam dandanan, pakaian, perhiasan, simbol-simbol, hiburan, dan berbagai bentuk penampilan fisik masyarakat. Termasuk pula dalam perilaku dan ucapan. Masyarakat harus senantiasa diarahkan untuk memiliki penampilkan yang islami dalam kehidupan keseharian, serta berbangga dengannya. Para muslimah berbangga dengan busana muslimah yang mereka kenakan. Anak-anak muda bangga dengan kesenian islami.

Idealnya simbol-simbol yang yang dimunculkan itu selaras pula dengan ‘urfil mujtama (tradisi masyarakat) yang tidak bertentangan dengan syariah Islam. Simbol mungkin bukan perkara yang harus dinomor satukan. Tapi ia penting untuk memelihara substansi, terlebih lagi jika simbol tersebut merupakan tuntutan syar’i.

Tiga Cita-cita Besar
Jadi, kita harus bekerja lebih keras lagi, karena di hadapan kita ada tiga cita-cita besar yang harus kita wujudkan:

1.      Cita-cita Dakwah
Kita mencita-citakan terwujudnya kehidupan islami yang menjadi rahmatan lil ‘alamin, yaitu kehidupan yang merujuk kepada nilai-nilai alqur’an dan sunnah. Kita pun mencita-citakan terwujudnya masyarakat yang islami, yaitu masyarakat yang berafiliasi secara ideologi kepada Islam; melakukan semua fardhu ‘ain di dalam keseharian mereka; dan menjaga diri dari dosa-dosa besar.

Untuk mencapai tujuan tersebut kita harus terus bekerja, menyampaikan dakwah dan tarbiyah islamiyah kepada masyarakat secara benar, jelas, utuh, dan menyeluruh; mendorong kebajikan di berbagai bidang kehidupan; memberantas kebodohan, kemiskinan, dan kerusakan moral; menghimpun jiwa dan menyatukan hati manusia di bawah naungan prinsip-prinsip kebenaran; mendekatkan persepsi antara madzhab-madzhab di kalangan umat Islam; memberi alternative solusi terhadap berbagai persoalan umat dan bangsa serta pembangunannya; membangun peradaban manusia atas dasar keseimbangan iman dan materi; memantapkan prinsip-prinsip Islam; mengokohkan arti beragama yang sebenarnya pada setiap pribadi dan keluarga, baik dalam ucapan maupun perbuatan; membina dengan cara yang benar sesuai dengan Alqur’an dan Assunah dalam hal aqidah, ibadah, akhlak, muamalah, ruhiyah, aqliyah dan jasmaniyah; meneguhkan arti ukhuwah yang sebenarnya, saling melindungi secara utuh, saling menolong secara penuh, hingga tercipta solidaritas social; melahirkan generasi baru yang memahami dan melaksanakan Islam secara baik, serta berperan di berbagai sector kehidupan.

2.      Cita-cita Politik
Cita-cita dakwah yang luhur tersebut membutuhkan penjaga, yaitu kekuatan politik. Dengan kekuatan inilah kita dapat mengaktualisasikan ajaran Islam secara maksimal. Mewujudkan rasa aman; melaksanakan undang-undang, meratakan pendidikan; menyiapkan kekuatan; memelihara kesehatan; menjaga kepentingan dan fasilitas umum; menjaga sumber daya alam dan mengelola kekayaan negara; mengokohkan moralitas; menebarkan dakwah.

Untuk mencapainya, gerakan dakwah harus melakukan musyarakah siyasiyah (partisipasi politik) dalam pemerintahan, dan diawali dengan upaya itsbatul wujud assiyasi (mengokohkan eksistensi politik). Dari waktu ke waktu eksistensi politik ini harus terus dikembangkan. Jika meneropong sejarah politik Islam di Indonesia, rekor terbesar yang pernah dicapai oleh partai-partai Islam adalah rekor Masyumi sebesar 20%. Ini merupakan tantangan besar bagi kita.

3.      Cita-cita Peradaban
Ini adalah implementasi dari apa yang disebut oleh Hasan Al-Banna sebagai ustadziyatul alam, yakni penegakan kepemimpinan dunia dengan penyebaran dakwah Islam di seantero negeri. “Sehingga tidak ada lagi fitnah dan agama itu hanya untuk Allah”. (QS. Al-Baqarah, 2: 193). Maksud ayat ini adalah akan menjadi sangat hinanya kemusyrikan di muka bumi dan peribadatan kepada Allah semakin tinggi dan mulia. Tidak ada lagi kekhawatiran pada kita dalam menjalankan agama, tidak ada lagi basa-basi dan sembunyi-sembunyi dalam urusan agama. Karena dunia telah diwarnai dengan warna Islam, setelah sebelumnya dikotori filsafat materialisme yang didukung dua kekuatan utama untuk mempertahankan hegemoninya: senjata dan uang.

Marilah mengingat kembali janji Rasulullah saw kepada umat Islam. Abdullah bin Amru bin Ash mencatat hadits dari Rasulullah yang ditanya, “Kota mana yang akan lebih dahulu dibebaskan Islam, Konstantinopel atau Romawi?” Beliau menjawab, “Kota Herakliuslah (Konstantinopel / Istambul) yang akan dibebaskan terlebih dahulu!” 

Nubuwwah tersebut terbukti pada Abad  ke-9 Hijriyah, bertepatan dengan abad ke-15 Masehi. Tepatnya pada hari Selasa, 20 Jumadil Ula 857 H / 29 Mei 1453 M. Pembebasan Konstantinopel pada saat itu dipimpin oleh seorang Komandan muda Utsmani berusia 23 tahun yang bernama  Muhammad bin Murad atau dikenal juga dengan sebutan Muhammad Al-Fatih.

Saat ini kita masih menunggu nubuwwah kedua yaitu dibebaskannya Roma (Italia). Insya Allah di negeri ini pun sinar ajaran Islam akan memancar sempurna. Syaikh Yusuf Qaradhawy menduga pembebasan Roma ini akan terjadi dengan perantaraan pena dan diplomasi.
“Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai. Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al-Qur’an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai.” (QS. At-Taubah, 9: 32 – 33)

Dan katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.”(QS. At-Taubah, 9: 105)

Wahai para da’i, kerja kita belum tuntas!
Wallahu a’lam.

Maraji:
Memperjuangkan Masyarakat Madani, MPP PKS
Bingkai Dakwah di Jalur Politik, KH. Hilmi Aminuddin
Al-Fikr Al-Islamiy Al-Mu’ashir, DR. Musthafa Muhammad Thahhan
Menyongsong Mihwar Daulah, Cahyadi Takariawan
Dari Qiyadah untuk Para Kader, Anis Matta
Terjemah Tafsir Al-Maraghi Juz 2, Ahmad Mushthafa Al-Maraqhi






[1] Penjelasan mengenai makna kata al-hukmu: Menurut makna bahasa, kata al hukmu bermakna al qadla’ (keputusan). Sedangkan kata al haakim bermakna munaffidzul hukmi (pelaksana keputusan atau pemerintahan).

Adapun menurut istilah, kata al hukmu maknanya adalah sama dengan kata al mulku dan as sulthan. Yaitu, kekuasaan yang melaksanakan hukum dan aturan. Juga bisa disebut dengan aktifitas kepemimpinan yang telah diwajibkan oleh syara’ atas kaum muslimin.

Aktifitas kepemimpinan ini merupakan kekuasaan yang dipergunakan untuk menjaga terjadinya tindak kedzaliman serta memutuskan masalah-masalah yang dipersengketakan.

https://intimagazine.wordpress.com/2011/01/05/kerja-kita-belum-tuntas/

Ad-Da’watu Waludatun




Oleh: KH. Hilmi Aminuddin


Puluhan tahun yang lalu, langkah-langkah harakah di sini, di Indonesia, sunyi sepi. Illa ma’allah, kecuali bersama Allah. Mengayunkan kaki seorang diri. Beberapa waktu kemudian dilakukan ta’sis haraki atau ta’sis amali. Dalam ta’sis tanzhimi waktu itu, kita hanya berkumpul

Puluhan tahun yang lalu, langkah-langkah harakah di sini, di Indonesia, sunyi sepi. Illa ma’allah, kecuali bersama Allah. Mengayunkan kaki seorang diri. Beberapa waktu kemudian dilakukan ta’sis haraki atau ta’sis amali. Dalam ta’sis tanzhimi waktu itu, kita hanya berkumpul empat orang. Kita hanya duduk lesehan, bukan di hotel. Dari hanya empat orang, sekarang di level qiyadah saja sudah ada ratusan orang.

Saya menjadi yakin, kata-kata dari salafu-shalih dalam dakwah ini yang mengatakan, “Ad-Da’watu Waludatun.”, bahwa dakwah ini sangat mudah beranak pinak. Sangat subur dan mudah berketurunan.
Lihat saja ikhwan dan akhwat yang bergabung dalam dakwah ini, secara biologis pun jumlah anaknya lumayan. Saya kira secara nasional keluarga kita ‘paling berprestasi’, lima, delapan, sepuluh, atau tiga belas orang anak. Ini salah satu indikator bahwa “Ad-Da’watu Waludatun.”, bahwa dakwah ini sangat subur melahirkan generasi baru. Bahkan secara biologis lebih dulu dibuktikan oleh Allah SWT secara ‘a’iliyah thabi’iyyah.

Secara haraki da’awi pun kita lihat luar biasa. Ini membuat saya di hari tua tersenyum. Rasanya saya tidak perlu berdo’a seperti Nabi Zakaria, yang dikisahkan oleh Allah SWT dalam surah Maryam. Dia merayu dan merajuk kepada Allah SWT, dalam kesepuhan dan kerentaan, beliau masih belum juga memiliki generasi penerus yang akan melanjutkan langkah-langkah dakwah. Langkah-langkah dakwah yang diharapkan dapat diteruskan oleh pewaris itu belum juga muncul, sehingga beliau melanjutkan dengan do’a yang dijelaskan oleh Allah SWT,
“Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putera, yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya’qub; dan jadikanlah ia, Ya Tuhanku, seorang yang diridhai”. (QS. Maryam, 19: 5-6)
Agar menjadi pewaris esensinya adalah pewaris dakwah. Penerus-penerus risalah Nabiyullah Ya’qub ‘alahissalam.

Sepertinya saya tidak perlu berdo’a seperti ini, karena baik secara biologis atau secara haraki pun, Allah telah membuktikan bahwa “Ad-Da’watu Waludatun.”, bahwa dakwah ini sangat subur melahirkan generasi baru, termasuk generasi kepemimpinan. Bahwa dakwah ini mendapat sambutan yang hangat dari generasi terbaik dari umat ini. Bahkan sebetulnya, kalau kita pelajari secara demografis—penduduk negara-negara muslim itu rata-rata banyak. Berarti pula “Ad-Da’watu Waludatun.” Itu berpangkal dari “Al-Ummatu Waludatun.”, bahwa umat kita sangat tinggi populasinya dan mudah beranak pinak. Ada masyaikh dakwah yang mengatakan bahwa di bumi di mana kalimat ‘La Ilaha Illa-llah Muhammadur-Rasulullah’ dikumandangkan, maka segalanya akan subur. Cepat melahirkan betapa pun kondisinya sulit.

Di Palestina dalam kondisi terhimpit, terjajah, tertindas, dan ada pembantaian, perbandingan kelahiran antara Muslimin Palestina dan Yahudi adalah 1 : 50. Yahudi sebelum takut oleh ledakan roket-roket HAMAS, sudah takut oleh ledakan penduduk umat Islam Palestina.

Jadi ikhwan wa akhwat fillah, kalau kemudian para salafu-shalih mengatakan al-mustaqbal lil-Islam dan al-mustaqbal li-da’watina, itu sesuai dengan fitrah pertumbuhan. Baik secara demografis maupun secara dakwah dan harakah.

Harakah dan dakwah kita di Indonesia sangat berpeluang dan paling berpotensi dalam segi pertumbuhan. Kalau dibandingkan dengan negara-negara Timur Tengah sangat jauh. Bahkan dengan saudara-saudara kita di negeri tetangga. Kita sudah memasuki era musyarakah, dengan mizhallah siyasiyah, payung politik yang besar dan lebar. Tersedia medan yang luas untuk bergerak, peluang-peluang juga sangat luas di segala bidang. Dan Alhamdulillah pertumbuhan kader pun sangat menggembirakan. Ini adalah pemberian Allah semata. Umat Islam di Indonesia dengan populasi penduduk lebih dari 220 juta, juga menjadikan harakah dakwah kita populasinya tumbuh pesat. Pertumbuhan itu akan semakin pesat dengan dipicu dan dipacu oleh target-terget yang sudah digariskan dalam kebijakan jama’ah.

sumber : AlIntima’

Dengan Jamaah Mana Anda Menggabungkan Diri?

Di Indonesia ramai aktivis dakwah melakukan amal Islami dengan berbagai wadah. Wadah yang berbentuk Jamaah itu, karenanya menjadi tempat berhimpun para aktivis dakwah. Para aktivis dakwah memilih masuk ke dalam sebuah Jamaah, tentu disertai dengan berbagai alasan dan pendapat.

Di dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang mewajibkan bergabung dalam sebuah Jamaah. Jamaah adalah sarana (wasilah) bukan tujuan (ghoyah), yang akan menjadi tempat berhimpunnya para aktivis dakwah, secara bersama-sama melakukan amal jama’i, dan dilandasi nilai-nilai Rabbaniyah, ruhul ukhuwah dan mahabbah (cinta) yang mendalam, dan memiliki komitmen bersama mencapai cita-cita tujuan.

Tetapi, banyak aktivis dakwah yang berhimpun dalam Jamaah terjangkiti berbagai “penyakit”, dan berhimpunnya para aktivis dakwah ke dalam Jamaah, justru melahirkan berbagai fitnah. Adakah ini kesalahan manhaj (methode) dakwahnya atau para aktvisnya yang meninggalkan manhaj yang menjadi thoriqoh (jalan) gerakannya. Sehingga, potensi-potensi yang dimiliki para aktivis dakwah menjadi mubazir, dan kemudian terpecah-pecah ke dalam firqoh-firqoh.

Maka, kenalilah Jamaah yang memiliki kriteria yang kebaikannya bersifat menyeluruh, dan bisa menjadi sarana dalam menegakkan agama Allah (dinullah), bukan menjadi sarana yang melahirkan firqoh-firqoh, atau hanya menjadi sarana memupuk ambsisi pribadi. Inilah kriteria Jamaah yang sempurna itu :

Pertama, Jamaah yang sempurna itu, yang menjadi ahdaf (tujuannya) yakni menerapkan syari’at dan manhaj Allah di muka bumi. (QS : al-An’am : 57)

Kedua, Jamaah yang sempurna itu, yang melandaskan setiap ucapan dan perbuatannya, karena Allah semata. (QS : al-An’am : 162-163)

Ketiga, Jamaah yang sempurna itu, yang melepaskan semua bentuk wala’ (loyalitas) kecuali kepada Allah semata. (QS : al-Maidah : 55)

Keempat, Jamaah yang sempurna itu, yang menganut paham yang lurus terhadap Islam, tidak ghuluw (ekstrim), dan tidak pula tafriith (meremehkan). Melaksanakan syari’atnya secara integral. (QS : al-Baqarah : 208)

Kelima, Jamaah yang sempurna itu, amal yang pertama kali dilakukan harus berorientasi pada pembentukan pribadi muslim yang menghimpun sikap-sikap baik, dan jauh dari sikap tercela, serta berusaha memperoleh pertolongan kemenangan dari Allah semata. (QS : ar-Ra’d : 11, dan QS : asy-Syam : 9-10)
Keenam, Jamaah yang sempurna itu, yang memiliki sifat universal dalam upaya menerapkan nilai-nilai pribadi muslim, yaitu dengan bentuk penyebaran ke semua lapisan masyarakat bahkan seluruh penjuru dunia. (QS : al-Anbiya : 107)

Ketujuh, Jamaah yang sempurna itu, yang senantiasa mengikat diri dengan adanya kesatuan wihdah, baik itu pola pikir yang satu, hati yang satu, ruh yang satu, perasaan yang satu, sekalipun mereka berbeda-beda latarbelakang. (QS : al-Imran : 103)

Kesembilan, Jamaah yang sempurna itu, yang senantiasa berpijak diatas tahapan yang benar, teliti, dan terbina yang bersifat kontinu, serta bertolak dari pemahaman yang lurus akan realitasnya. (QS : at-Taubah : 105)

Kesepuluh, Jamaah yang sempurna itu, yang senantiasa memelihara langkah-langkah prioritas dalam beramal, yaitu tatkala sebuah Jamaah mengalami kesulitan dari para penguasa. Mereka harus mendahulukan hal-hal yang ushuul (prinsip) diatas masalah furuu’ (cabang), memprioritaskan yang wajib daripada yang sunnah, serta menyegerakan hal-hal yang telah disepakati daripada yang masih diperselisihkan. Ini seperti yang dilakukan Rasulullah Shallahu alaihi wassalam, ketika beliau mengutamakan upaya menghancurkan berhala-berhala yang bercokol di dalam jiwa manusia, sebelum beliau menghancurkan berhala yang berwujud patung yang mengililingi Ka’bah.

Kesebelas, Jamaah yang sempurna itu, Jamaah yang tidak boleh meremehkan dan menyepelekan masalah ushuul (prinsip) yang sudah disepakati, disertai dengan sikap yang toleran terhadap masalah yang furuu’. Dengan demikian membuka pintu kerjasama dengan antr semua aktivis.

Keduabelas, Jamaah yang sempurna itu, Jamaah yang memiliki suatu manhaj (sistem) yang jelas langkahnya dan orientasinya, yakni sebuah Jamaah yang dapat membawa anggotanya selangkah demi selangkah ke tahapan berikutnya, dan menuju ahdaf (tujuan) yang dicita-citakannya.

Ketigabelas, Jamaah yang sempurna itu, Jamaah yang harus sudah teruji keteguhan dan kesabarannya dalam menempuh jalan kesulitan diatas jalan dakwah yang dilaluinya. Mereka telah dibenturkan dengan suatu yang sangat menakutkan dan telah matang dalam ujian dan cobaan. (QS : Muhammad : 31)

Keempatbelas, Jamaah yang sempurna itu, Jamaah yang telah menempuh perjalanan yang panjang dalam beramal, sehingga ia telah matang dan kaya akan pengalaman diatas jalan yang ditempuhnya. Dengan demikian, manusia yang berjalan bersamanya dapat mengorbankan kesungguhan, waktu, dan harta secara menyeluruh.

Kelimabelas, Jamaah yang sempurna itu, Jamaah yang ditempuhnya perlahan, tapi pasti, dan tidak tergesa-gesa (isti’jaal) dalam mencapai tujuan. (QS : Ahqaaf : 35)

Keenambelas, Jamaah yang sempurna itu, di dalam Jamaah itu terdapat orang yang mampu untuk membimbing serta mampu melaksanakan setiap amal, dan menetapkan masalah sesuai dengan proporsinya.

Ketujuhbelas, Jamaah yang sempurna itu, Jamaah yang memiliki sikap teliti dan selektif dalam memilih para aktivisnya agar perjalanannya dapat bersih dari orang-orang yang menangguhkan suatu amal. (QS : an-Nisaa’ : 102)

Jika kita menemukan kriteria-kriteria seperti diatas, maka kiranya hendaklah berhimpun bersama Jamaah itu. Berikan seluruh potensi yang kita miliki bersama dengan Jamaah itu, meraih kemenangan yang dijanjikan Allah Rabbul Alamin.

Bersama dengan Jamaah yang memiliki kriteria seperti diatas, yang akan membahagiakan kehidupan kita, kelak di hadapan Allah Azza wa Jalla.
Jangan sia-siakan umur dan amal kita, berhimpun dengan berbagai “firqoh” yang menyatakan dirinya “Jamaah”, tetapi justru, membuat kita semakin jauh dari ridho-Nya. Wallahu’alam.

sumber : eramuslim.com

Memahami Ibadah I’tikaf



Secara harfiah, I’tikaf berarti menetapi sesuatu dan mengukung diri di atasnya, baik mengenai hal yang baik atau pun yang buruk. Sedangkan menurut definisi fiqhnya, I’tikaf berarti menetap dan tinggal di masjid dengan tujuan hendak mendekatkan diri kepada Allah swt semata.

Rukun
Berdasarkan definisi di atas, maka ulama membagi rukun I’tikaf menjadi tiga, yaitu niat, tempat, dan diam.
Mengenai niat, meskipun seseorang berdiam di masjid dan beribadah tetapi tidak berniat I’tikaf, maka tidak ada pahala I’tikaf di atasnya. Yang ada hanya pahala atas amalan ibadahnya saja. Demikian pula bila terjadi hal yang membatalkan I’tikaf, bila ingin menyambung kembali I’tikafnya harus berniat kembali.

Mengenai tempat untuk I’tikaf, yaitu masjid, maka para ulama berbeda pendapat mengenai masjid yang dapat dipakai untuk I’tikaf ini. Secara umum masjid didefiniskan sebagai setiap tempat yang khusus beribadah sholat di dalamnya. Jadi musholla termasuk juga sebagai kategori masjid. Menurut Abu Hanifah, Ahmad, Ishaq, dan Abu Tsur, I’tikaf boleh dilakukan pada masjid yang di dalamnya senantiasa digunakan untuk sholat lima waktu berjamaah. Namun menurut Malik, Syafi’I dan Daud boleh di masjid apa pun karena tidak ada dalil yang jelas untuk memberikan pengkhususan seperti ini.

Sedangkan diam berarti tetap di dalam masjid, keluar dari masjid dapat membatalkan I’tikaf. Adapun yang termasuk dalam bagian masjid sebagian ulama berpendapat bahwa itu adalah tempat yang biasa dipakai untuk sholat saja. Sedangkan menurut Hanafi, Syafi’I dan Ahmad, pekarangan atau halaman masjid termasuk masjid sehingga tdak membatalkan I’tikaf bila kita berada di sana.

Waktu
Dalam I’tikaf sebenarnya tidak ada batasan waktu. I’tikaf di dalam masjid bisa sebentar (beberapa jam) atau pun sampai bermalam, tergantung dari niatnya. Rasulullah biasa beri’tikaf di sepuluh hari terakhir (bermalam) pada bulan Ramadhan.
“Dari Ibnu Umar r.a. ia berkata, “Rasulullah saw biasa beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.” (HR Bukhari Muslim)
“Dan daripadanya (Aisyah r.ha.), ia berkata: “Bahwasanya Nabi saw apabila hendak beri’tikaf beliau sholat fajar, kemudian masuk ke tempat I’tikafnya.” (HR Bukhari Muslim)

Syarat
Seseorang yang beri’tikaf haruslah memenuhi syarat: Muslim, mumayyiz (mampu membedakan mana yang baik dan buruk), suci dari jinabah, haid dan nifas. Maka hal-hal yang menyalahi persyaratan di atas otomatis akan membatalkan I’tikaf seperti murtad, hilang ingatan, haidh, dan jima’.

Aktifitas I’tikaf
Disunnahkan dalam beri’tikaf untuk memperbanyak amalan sunnah di samping amalan yang wajib seperti tilawatil Qur’an, menghafalkan Al-Qur’an, memperbanyak dzikir, do’a, dan shalawat.

Termasuk pula aktifitas halaqoh ilmu, atau pun membaca kitab tafsir, hadits, fiqh maupun buku-buku keislaman lainnya. Sedangkan hal-hal yang dimakruhkan adalah menyibukkan diri dengan hal yang tidak bermanfaat baik melalui perkataan maupun perbuatan. Namun makruh juga menahan diri dari berbicara.

Di antara perbuatan yang diperbolehkan dalam I’tikaf antara lain:
Keluar dari tempat I’tikaf karena alas an yang mendesak seperti: Buang hajat, mandi, ta’ziah, makan, ujian, pamit kepada keluarga, dan lain-lain. Namun harus diingat agar kembali berniat jika hendak meneruskan I’tikaf kembali.
Makan, minum, dan tidur di dalam masjid juga diperbolehkan selama terjaga kebersihan dan ketentraman masjid.

I’tikaf Rasulullah
Rasulullah saw senantiasa melakukan I’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, hingga saat meninggal dunia. Sekali beliau pernah meninggalkannya, tapi kemudian mengqodhonya pada bulan Syawal. Sekali beliau pernah I’tikaf pada 10 hari yang pertama, lalu pertengahan, lalu yang terakhir untuk mencari lailatul qadar. Lalu menjadi ketetapan bagi beliau pada sepuluh hari yang terakhir beliau senantiasa melakukannya sampai akhir hayat.

Beliau memerintahkan untuk mendirikan tenda di masjid lalu beliau berada di dalamnya, menyendiri bersama Allah. Jika hendak I’tikaf, beliau shalat fajar terlebih dahulu. Beliau juga memerintahkan pendirian tenda-tenda untuk istri-istri beliau. Setelah shalat subuh, beliau melihat kea rah tenda-tenda itu lalu memerintahkan untuk merobohkannya, Beliau I’tikaf sepuluh hari setiap tahunnya. Tapi pada tahun terakhir, beliau I’tikaf dua puluh hari.

Saat I’tikaf beliau memasuki kemahnya sendirian, tidak masuk rumah kecuali untuk keperluan-keperluan yang bersifat manusiawi. Beliau pernah melongokkan kepala ke bilik Aisyah, lalu Aisyah menghampiri beliau dan membasuh kepala beliau di dalam masjid, sementara saat itu Aisyah sedang haidh.
Sebagian istri yang lain dating berkunjung saat beliau I’tikaf. Jika istri yang berkunjung ini bangkit untuk pulang, maka beliau ikut bangkit dan mengantarkannya hingga tiba di rumahnya. Saat itu waktunya malam hari.

Selagi melakukan I’tikaf, beliau tidak mencampuri istri-istrinya sekalipun hanya memeluknya. Jika sedang I’tikaf, kasur beliau pindah ke tempat I’tikafnya. Ketika sedang I’tikaf dan beliau keluar untuk keperlluannya, beliau melewati orang yang sedang sakit. Tapi beliau tidak menghampirinya dan juga tidak menanyakan keadaannya. Beliau juga pernah menggelar tikar sebagai alas ketika sedang I’tikaf.

Sumber: Zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim Al-Jauziya;, Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq

Pesan Tauhid di Balik Obat


Oleh: KH Abdullah Gymnastiar

Ketika seseorang biasa meminum multivitamin untuk menunjang kesehatan tubuhnya, lalu suatu hari dia lupa tidak memakannya, maka lihat, apakah ia merasakan dirinya gelisah atau biasa saja. Jika dirinya merasa berbeda menjadi gelisah, berarti dia sudah menggagungkan obat multivitamin itu. Bahkan jangan-jangan ia sudah menuhankannya.

Berobat yang lazim memang dilakukan secara medis. Ketika pasien datang kepada seorang dokter, lalu diberinya obat, ia pun dapat sembuh, akan tetapi ada pasien lain dengan penyakit yang sama dan obat yang sama ternyata tidak sembuh penyakitnya.  Ada yang sembuh ada yang tidak dapat sembuh, atau mengalami kematian.  Berarti, yang menyembuhkan itu Allah, bukan dokter bukan pula obat.  Dan semua penyakit pasti ada obatnya, kecuali maut.

Memang sunnatullah pula penyakit dapat diobati melalui berbagai cara, seperti cara pengobatan terapi minum air bening. Dr masaru Emoto, peneliti dari Jepang, telah melakukan penelitian yang menyatakan bahwa perkataan yang baik terhadap air, akan menjadikan air itu struktur molekulnya menjadi lebih indah. Lalu apa salahnya kita membacakan surat Al Fatihah, yang jelas-jelas merupakan firman Allah. Sebagaimana diriwayatkan dalam hadis Al-Bukhari (2156), Muslim (2201) bahwa pada jaman nabi saw pernah dicontohkan bagaimana sahabat saw yang bisa mengobati orang yang sakit dengan perantaraan bacaan Al Fatihah terhadap air. Disebabkan haqqul yakin sahabat nabi ini bahwa yang menyembuhkan adalah Allah SWT. Kita juga boleh saja membaca, namun hati ketauhidannya juga harus seperti sahabat nabi saw tersebut.
Obat, dokter, air yang didoakan adalah syariat (alat/perantara) yang membuat kita sembuh. Apabila keberadaannya membuat tentram dan tidak adanya membuat takut, bisa jadi terjerumus ke dalam dosa musyrik. Bukan tidak boleh memakan obat. Obat hanyalah sebagai salah satu media Allah, untuk kesembuhan.  Kuman juga ciptaan Allah, apakah kuman bisa mematikan kita? Memang ada kematian karena kuman penyakit, namun kuman itu sebagai salah satu jalan untuk tercabutnya nyawa manusia.

Dengan demikian jika kita sakit tetap mesti berobat dengan berbagai cara. Sebagai manusia yang berakal kita lakukan ikhtiar dengan sebenar-benarnya yang akan menjadi lahan beramal dan beribadah. Bahkan, jika kita tidak menjalankannya, bisa jadi kita berdosa. Dengan kesempurnaan lahiriah menjalankan fungsinya, dan hati menyadari hakikatnya, maka kita akan dapat bersyukur kepada Allah jika berhasil dalam berikhtiar, dan kita berlapang dada dan ridho jika belum berhasil, serta tidak berputus asa. Jadi, musyrik tidak harus dengan menyembah patung, atau menyuguhkan sesajian, dll.

Yakinlah bahwa Allah tidak menimpakan suatu penyakit pada kita bila tidak ada hikmahnya. Berintospeksi pada diri  mungkin saja sakit yang kita derita karena hak tubuh tidak terpenuhi akibat dari kelalaian.
“Allah-lah yang telah menciptakan aku, dan Dialah yang memberi hidayah kepadaku, dan Dialah zat yang memberi makanan untukku dan memberi minuman kepadaku, dan apabila aku sakit maka Dia juga yang menyembuhkan sakitku, dan  Allah-lah zat yang  mematikan aku, dan juga zat yang menghidupkan aku (kembali), dan Dia pulalah zat yang aku berharap akan mengampuni dosa-dosaku pada hari pembalasan.” (QS. Asy-Syu’ara [26] : 78-80)

Keyakinan ini penting kita miliki, karena jika kita masih merasa takut pada apa yang terjadi di dunia ini, berupa takut terhadap sesuatu yang tidak bisa diraih, seperti takut kehilangan jabatan, takut ditolak lamaran, takut tidak sembuh, dan sebagainya, jika hati masih bergantung pada dunia ini bisa jadi terjerumus musyrik. Semestinya kita benar-benar bergantung saja kepada Allah, jalani saja bila tidak berhasil meraih/melakukan sesuatu. Tauhid kita mesti mantap. Jangan sampai yang ada di hadapan kita bisa mencuri hati kita yang semestinya diberikan untuk mengabdi kepada Allah.

Menikmati Usia 40 Tahun

Oleh : Cahyadi Takariawan

Waktu berjalan sangat cepat. Kemarin rasanya masih menikmati masa-masa studi yang menyenangkan dengan berbagai dinamika di kampus. Tidak terasa kita sekarang telah mulai beruban. Anak-anak telah mulai beranjak dewasa. Sebagian dari kita telah memiliki menantu. Bahkan sudah punya cucu. Tidak sadar, usia kita telah berkepala 4 !
Apa yang kita rasakan pada usia empat puluh ? Apa yang menjadikan usia ini istimewa ?

Mengapa 40 Tahun ?
Ya, mengapa pilihannya usia 40 tahun ? Ternyata memang ada banyak hal yang istimewa pada usia 40 ini. Lihat bagaimana Al Qur’an memberikan perhatian yang spesifik pada usia ini.
Firman Allah :
“Sehingga apabila ia telah dewasa dan umurnya mencapai EMPAT PULUH TAHUN, ia berdoa: Ya Rabb-ku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku, dan supaya aku dapat berbuat amal salih yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang yang berserah diri “ (Al Ahqaf: 15).
Al Hasan memaknai Al Asyud (dewasa) adalah “mencapai usia 40 tahun, dan telah tegak hujjah baginya”. Imam Baidhawi menjelaskan makna hatta idza balagha asyuddahu, “yaitu mencapai usia yang tidak lagi bertambah perkembangannya, dan itu adalah semenjak 30 hingga 40 tahun. Akal ketika itu telah mencapai kesempurnaan”.
Dalam Tafsir Jalalain dijelaskan makna wa balagha arba’ina sanah, ”yakni sempurna 40 tahun, dan ini adalah usia dewasa yang paling sempurna”. Imam Al Qurthubi sependapat dengan hal ini.
Firman Allah :
“Dan setelah Musa cukup umur dan sempurna akalnya, Kami berikan kepadanya hikmah (kenabian) dan pengetahuan” (Al Qashash: 14).
Makna wastawa menurut Ibnu Abbas, “yaitu pada saat usia 40 tahun. Dan kesempurnaan akal di antara usia 30 dan 40 tahun. Jika lebih dari 40 tahun akan mulai berkurang”. Ibnu Jarir, Ibnul Mundzir dan Ibnu Hatim meriwayatkan dari Imam Mujahid mengenai makna firman Allah wastawa, “yaitu usia 40 tahun”. Imam Qatadah juga berpendapat yang sama. Ath Thabari menjelaskan makna wastawa adalah “pada usia 40 tahun”.
Firman Allah :
“Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berpikir bagi orang yang mau berpikir, dan (apakah tidak) datang kepadamu pemberi peringatan?” (Fathir: 37).
Makna nu’ammirkum, memanjangkan usia dalam masa yang cukup, menurut Imam Ath Thabari adalah pada usia 40 tahun. Imam Mujahid berkata, bahwa ia mendengar dari Ibnu Abbas mengenai ayat di atas, adalah usia 40 tahun. Pendapat seperti ini dinukil pula dalam Tafsir Ath Thabari dan Ibnu Katsir.

Pendapat Para Ulama
“Sesungguhnya Allah menyebutkan umur 40 tahun karena ini sebagai batasan bagi manusia dalam keberhasilan maupun keselamatannya” (Tafsir Ats Tsa’aliby)
“Mereka (kaum salaf) berkata, bahwa jika seseorang sudah mencapai usia 40 tahun dan berada pada suatu perangai tertentu, maka ia tidak akan pernah berubah hingga datang kematiannya” (Ibrahim an Nakha’i)
“Maka sampainya seseorang kepada usia dewasa adalah suatu tingkatan antara baligh dengan usia 40 tahun… Maka apabila telah berkumpul jenggotnya, dia adalah seorang pemuda hingga usia 40 tahun. Kemudian menjadi tua hingga usia 60 tahun, kemudian menjadi lanjut usia” (Ibnul Qayyim Al Jauzy).

Peristiwa Bersejarah saat Usia 40 Tahun
“Para ahli tafsir berkata bahwa Allah Ta’ala tidak mengutus seorang Nabi kecuali jika telah mencapai usia 40 tahun” (Imam Asy Syaukani).
“Rasulullah Saw diutus serta diwahyukan kepada beliau Al Qur’an, ketika beliau berusia 40 tahun” (Ibnu Abbas).
“Demikianlah yang kami sebutkan bahwa beliau Saw diutus menjadi Rasul ketika mencapai usia 40 tahun. Inilah yang benar dan masyhur yang disepakati ulama” (Imam Nawawi)
“Masa mudaku semakin terasa sempurna pada saat perang Qadisiyah, dan saat itu aku berusia 40 tahun” (Abu Amr Asy Syaibani Sa’ad bin Iyas).
”Imam Ahmad bin Hanbal tidak menikah sampai umur 40 tahun. Hal ini dimaksudkan untuk lebih berkonsentrasi dalam menuntut ilmu” (Imam Ibnu Al Jauzi).
“Masyarakat Quraesy pada masa Jahiliyah tidak memasukkan seorangpun ke dalam Darun Nadwah sebelum mencapai usia 40 tahun. Kecuali Hakim bin Hizam, ia masuk Darun Nadwah usia 15 tahun, karena kecerdasan akal dan kepandaiannya” (Imam Adz Dzahabi).
“Masyarakat China akan mematuhi raja mereka jika raja tersebut telah mencapai usia 40 tahun” (Yaqut Al Hamawi).

Umur 40 dan Uban
Sabda Nabi Saw, “Manusia yang pertama kali melihat uban adalah Ibrahim As, lalu ia berkata: Ya Rabbi apakah ini? Allah Ta’ala menjawab: Ini adalah kemuliaan dan kelembutan wahai Ibrahim. Maka Ibrahim berkata: Ya Rabbi, tambahkanlah kepadaku kemuliaan dan kelembutan” (Riwayat Imam Malik)
Sabda Nabi Saw, “Uban adalah cahaya seorang mukmin. Tidaklah seorang beruban dalam keadaan Islam, kecuali pastilah ia dengan setiap helai ubannya memiliki kebaikan dan diangkat baginya satu derajat kebaikan” (dalam kitab Shahihul Jami’)
“Uban akan datang ketika telah sempurna usia 40 tahun… Uban datang saat usia dewasa, dan ia merupakan tanda perpisahan dengan masa anak-anak” (Imam Al Qurthubi)
“Orang yang telah mencapai 40 tahun, tandanya adalah dengan munculnya uban” (Imam Al Munawi)
”Di antara wasiat Lukman kepada anaknya adalah: Wahai anakku, takutlah engkau dari wanita yang jahat, sebab ia akan menjadikanmu cepat beruban sebelum waktunya” (Imam Al Ghazali).

Apa Yang Harus Dilakukan Pada Usia 40 Tahun ?
“Sehingga apabila ia telah dewasa dan umurnya mencapai EMPAT PULUH TAHUN, ia berdoa: Ya Rabb-ku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku, dan supaya aku dapat berbuat amal salih yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang yang berserah diri “ (Al Ahqaf: 15).

1. Memperbanyak doa
Imam Asy Syaukani menjelaskan tentang ayat di atas, ”Dalam hal ini ada dalil bahwa hendaklah seseorang yang mencapai usia 40 tahun memperbanyak doa-doa tersebut”.
Yakni doa dan permohonan agar mendapatkan ilham serta azam yang kuat dan pertolongan Allah, untuk selalu bersyukur kepada Allah atas segala nikmatNya, dan untuk melaksanakan amal salih yang diridhaiNya. Imam Al Qurthubi menjelaskan, ”Allah menyebutkan bahwa orang yang telah mencapai usia 40 tahun maka telah tiba saat baginya untuk mengetahui nikmat Allah yang ada padanya dan pada kedua orang tuanya serta mensyukurinya”.
Demikian pula doa agar Allah memperbaiki anak keturunannya. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim bahwa ada seorang lelaki yang mengadukan anaknya kepada Thalhah bin Musharrif. Thalhah berkata kepadanya, ”Mintalah tolong dalam masalah anakmu dengan ayat Rabbi auzi’ni an asykura….

2. Memperbanyak kewaspadaan
Ibnu Katsir meriwayatkan, bahwa ketika Imam Masruq ditanya, ”Kapan seseorang diadzab karena dosa-dosa yang dilakukannya?” Beliau menjawab, ”Jika engkau telah mencapai usia 40 tahun, maka hendaklah engkau selalu waspada”.

3. Mempersiapkan kematian
Imam Malik berkata, ”Aku mendapatkan para ahli ilmu di negeri kami, mereka mencari dunia dan berbaur dengan manusia, namun ketika di antara mereka sudah mencapai usia 40 tahun maka mereka akan memisahkan diri dari orang banyak dan menyibukkan diri dengan persiapan untuk hari kiamat hingga ajal menjemput mereka”.

4. Memperbanyak bersyukur kepada Allah
Az Zajjaj berpendapat, ”Maksud ayat tersebut adalah: Halangilah aku dari segala sesuatu, kecuali dari bersyukur terhadap segala nikmatMu”.

5. Memperbanyak taubat
Ibnu Katsir menjelaskan makna ayat di atas, adalah ”sebuah bimbingan bagi orang yang telah mencapai usia 40 tahun, yakni agar ia memperbarui taubatnya dan kembali kepada Allah, serta bertekat untuk itu semua”.

Referensi
Abdullah Nasih Ulwan, Membentuk Kepribadian Islam, Al Islahy Press, Jakarta, 1988
Ali bin Said bin Da’jam, Misteri Umur 40 Tahun, Pustaka At Tibyan, Solo, 2007
Irsyad Syafar, Manajemen Waktu Muslim, Kairo, 1999
sumber : http://cahyadi-takariawan.web.id/?p=1518

KEMBALI KE FITHRAH (KHUTBAH IDUL FITRI 1432 H)



Oleh KH Su’ada Adzkiya Rois Syuriyah PCNU Cilacap

ألله اكبر ألله اكبر ألله اكبر x 3 ألله اكبر كبيرا والحمد لله كثيرا وسبحان الله بكرة وأصيلا أشهد أن لااله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله اللهم صل وسلم وبارك على سيدنا محمد وعلى أله وأصحابه ومن تبعهم باحسان إلى يوم الدين.أما بعد : فيا ايها الحاضرون والحاضرات اتقوا الله فقد فاز المتقون ز واعلموا أن يومكم هذا يوم عظيم وعيد كريم قال الله تعالى اعوذ بالله من الشيطان الرجيم بسم الله الرحمن الرحيم وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ.الله أكبر ألله أكبر ألله أكبر ولله الحمد

Jama`ah shalat `Ied yang berbahagia. Pertama sekali kami sampaikan ucapan selamat : تفبل الله منا ومنكم “Semoga Allah menerima amal ibadah dari kami dan dari Anda sekalian” dan من العائدين الفائزين المقبولين “Semoga Allah menjadikan kita sekalian orang-orang yang kembali ke fithrah yang berbahagia dan yang diterima amal ibadahnya.” Amien.
الله أكبر ألله أكبر ألله أكبر ولله الحمد
Jama`ah shalat `Ied yang berbahagia!
Untuk kesekian kalinya, pagi ini kita berkesempatan melaksanakana `Iedul Fithri. `Iedul Fithri akan selalu berulang setiap tahun, karenanya mesti ada hikmah atau ajaran yang dapat ditangkap dari situ. Ajaran yang segera tertangkap dari `Iedul Fithri adalah ajaran agar kita kembali ke fithrah sebagai manusia, kembali ke asal kejadian manusia, siapa dia daan untk apa dia ada.
Yang pertama, fithrah manusia adalah makhluk yang diciptakan. Bukan karena kehendak kita, kita manusia ada. Bukan pula karena kehendak ibu bapa. Nyatanya, tidak sejak awal kita tahu bahwa kita adalah manausia. Tunggu sampai minimal tujuh tahun kita baru tahu bahwa kita adalah manusia. Nyatanya, banyak anak manusia yang tidak dikehendaki kehadirannya oleh orang tuanya, begitu lahir segera saja ia ditinggalkan begitu saja, atau, bahkan, sejak dalam kandungan orang tuaanya berusaha sebisa- bisa mungkin menghilangkannya. Sebaliknya, banyak orang tua yang begitu keras usahanya untuk menghadirkan anak , yang akan menjadi manusia, namun tak berhasil. Jadi sekali lagi, yang pertama harus disadari, manusia, ya kita-kita ini manusia, adalah makhluk, yang diciptakan.
الله أكبر ألله أكبر ألله أكبر ولله الحمد
Jama`ah shalat `Ied yanag berbahagia.
Ada yang diiciptakaan mesti ada Yang Menciptakan, ada makhluk mesti ada Al-Khaaliq. Al-Khaliq menciptakan manusia pasti bukan iseng semata, atau main-main tanpa hikmah tanpa tujuan. Al-Khaaliq berfirman dalam Al-Mu`minun 116 :
أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لا تُرْجَعُونَ
“Maka apakah kamu mengira, bahwa Kami menciptakan kamu untuk main-main saja?
Dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” Tentu tidak, bukan? Dan tujuan diciptakannya manausia jelas-jelas dinyatakan Al-Khaaliq dalam Adz-Dzaariyaat 56 :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإِنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ
“Dan Kami tidak meciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka menghambakan diri ke padaKu.”
Jadi, setelah kita, manusia, mengakui sebagai makhluk, kita tidak boleh menga baikan tujuan diciptakannya oleh Al-Khaliq, yaitu mmenghambakan diri kepadaNya. Manusia yang tidak menghambakan diri kepada Al-Khaliq yang menciptakannya berarti ia adalah manusia yang tidak tahu atau tidak menyadari fithrahnya. Karena banyak manausia macam ini, Al-Khaaliq yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang secara berkala dan terus menerus memberikan peringatan agar manusia tidak kebablasan dalam ketidaktahuannya dan ketidaksadarannya. Dan peringatan itu adalah `Iedul Fithri.
الله أكبر ألله أكبر ألله أكبر ولله الحمد
Jama`ah shalat `Ied yanag berbahagia.
Arti dasar dari “menghambakan diri” adalah menjadikan diri kita hamba dari Tuan kepada ssiapa kita menghambakan diri. Tuan yang hakiki bagi manusia adalah Allah, Al-Khaliq itu. Menghambakaan ddiri kepada Allah tidak hanya sekedar mengakui kita sebagai hambaNya. Menghambakan diri mestilah bertekad akan selalu patuh kepadaNya. Dengan kata lain, menghambakan diri kepada Allah adalah selalu patuh akan perintah dan laranganNya. Orang macam ini sering disebut “muttaqien” yang bertakwa, dan itulah tujuan kita diperintahkan berpuasa oleh Allah Ta`ala, sebagaimana yang baru kita selesaikan.
Tujuan ini, Insya Allah, tidak mustahil dapat dicapai oleh siapa saja asal dalam berpuasa seseorang berbuka dan bersahur dengan makanan dan minuman yang halal dan tidak berkata kotor atau berbuat jahat. Daari pada berkata kotor lebih baik diam dan dari pada berbuat jahat lebih baik tidak berbuat apa-apa.
الله أكبر ألله أكبر ألله أكبر ولله الحمد
Jama`ah shalat `Ied yang berbahagia.
Tugas menghambakan diri kepada Al-Khaliq terasa lebih bersifat pribadi. Semen tara manusia itu adalah makhlul social, makhluk yang punya kecenderungan hidup bersa- ma sesame manusia, bermasyarakat. Makanya, pasti ada juga tugas sosial yang diem bankan kepada manusia. Apa itu? Ketika Allah akan menciptakan manusia, Allah berfirman :
إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً
“Sesungguhnya Aku akan menjadikan khalifah di muka bumi.” Khalifah, arti aslinya adalah pengganti. Jadi manusia dijadikan Allah untuk menjadi “pengganti” Allah di muka bumi. Dan tugas pokok khalifah adalah menebarkan rahmat dan kasih sayang, meratakan keadilan dan menciptakan rasa aman bagi sesaama yang ada. Karena itu, berarti tiap manusia harus berusaha kea rah itu. Dan semua itu, hakikatnya, pada gilirannya akan bermanfaat untuk dirinya sendiri.
Dalam bahasa Imam Abu Ishaq Asy-Syirozi, yang didapatkan langsung dari Rasulullah saw lewat mimpinya dikatakan :
من اراد السلامة فليطلبها فى سلامة غيره
“Barangsiapa menghendaki keselamatan, maka hendaknya ia cari pada keselamatan orang lain.” Dengan kata lain, barangsiapa ingin selamat maka hendaknya ia tidak berbuat yang dapat menyebabkan orang lain merugi atau celaka, tidak selamat. Dapat diteruskan, barangsiapa ingin tegaknya keadilan, maka janganlah ia berbuat tidak adil kepada yang lain. Barangsiapa ingin mendapatkan keamanan maka hendaknya tidak membuat orang lain merasa tidak aman.
الله أكبر ألله أكبر ألله أكبر ولله الحمد
Jama`ah shalat `Ied yang berbahagia.
Kesimpulannya, `Iedul Fithri mengajak kita kembali menyadari dan berfungsi sebagai makhluk, sebagai hamba Allah dan sebagai khalifah Allah di muka bumi. Mari kita coba, kita terapkan pada diri kita masing-masing. Mari.
بارك الله لى ولكم فى القرأن العظيم ونفعنى وإياكم بما فيه من الأيات والذكر الحكيم وتقبل منى ومنكم تلاوته إنه هو السميع العليم أقول قولى هذا وأستغفر الله العظيم لى ولكم ولسائر المسلمين والمسلمات والمؤمنين والمؤمنات فاستغفروه إنه هو الغفور الرحيم .


الخطبة الثانية
الله أكبر 3 الله أكبر 3 الله أكبر . الله أكبر كبيرا والحمد لله كثيرا وسبحان الله بكرة وأصيلا.أشهد أن لاإله إلا الله وأشهد أن محمدا عبده ورسوله . اللهم صل وسلم على سيدنا محمد وعلى أله وصحبه أجمعين وسلم تسليما كثيرا .أما بعد. فيا أيها الناس اتقوا الله ولازموا الصلاة على خير خلقه عليه الصلاة والسلام. فقد أمركم الله بذلك إرشادا وتعليما. فقال إن الله وملائكته يصلون على النبى . يا أيها الذين أمنوا صلوا عليه وسلموا تسليما. اللهم صل على سيدنا محمد وعلى أله وصحبه أجمعين . وعلى التابعين ومن تبعهم بإحسان الى يوم الدين. وارحمنا معهم برحمتك يا أرحم الراحمين.
اللهم اغفر للمؤمنين والمؤمنات والمسلمين والمسلمات الأحياء منهم والأموات إنك على كل شيئ قدير . اللهم أعز الإسلام والمسلمين. وأهلك الكفرة والمبتدعة والرافضة والمشركين . ودمر أعداء الدين . واجعل اللهم ولايتنا فيمن خافك واتقاك. ربنا أتنا فى الدنيا حسنة وفى الأخرة حسنة وقنا عذاب النار . ربنا اغفر لنا ولإخواننا الذين سبقونا بلإيمان ولا تجعل فى قلوبنا غلا للذين أمنوا ربنا إنك رؤوف الرحيم والحمد لله رب العالمين.
www.pcnucilacap.com/khutbah/idul-fitri/kembali-ke-fithrah-khut.