Senin, 24 Oktober 2011

PROBLEMATIKA MORAL DI ERA GLOBALISASI

Oleh : Cahyadi Takariawan
Akhir-akhir  ini, kita tidak bisa menutup mata terhadap berbagai penyimpangan moral yang terjadi di kalangan masyarakat Indonesia. Tawuran pelajar, perkelahian antar genk, perilaku seks bebas, gaya hidup tidak beraturan menjadi beberapa contoh kelunturan moral di kalangan generasi muda kita. Di kalangan pejabat, praktek korupsi masih merupakan persoalan yang sangat mengerikan di Indonesia. Masyarakat secara umum pada akhirnya kehilangan rujukan keteladanan, sehingga krisis moral semakin meluas.


Di kalangan generasi muda, mucul fenomena genk. Hampir semua SMA di Jakarta memiliki genk. Alasan pendirian genk pada intinya sama, yaitu membentuk solidaritas untuk menghantam atau tawuran dengan sekolah lain. Misalnya, di kalangan sebuah siswa SMA di Bulungan terdapat genk sekolah yang sudah tradisi terbentuk setiap angkatan. Anggotanya adalah mayoritas angkatan itu. Misalnya Legiun (angkatan 2003), Salvozesta (2006), Spooradiz (2006) dan lain sebagainya. Di SMA lainnya, nama genk-nya adalah GOR@SIX. Genk anak SMA lainnya lagi adalah Rezteam, ada pula Gazper dari Gazper I sampai Gazper X, dan masih sangat banyak genk di berbagai SMA.

Sidik Jatmika dalam bukunya “Genk Remaja : Anak Haram Sejarah Ataukah Korban Globalisasi ?” (2010) menyebutkan data, di antara contoh kasus terjadi pada Desember 2009. Saat berangkat sekolah seorang pelajar bernama AS tewas dibacok belasan pelajar. AS (15 tahun) adalah siswa kelas I STM, ia tewas dikeroyok berlasan remaja berseragam SMA di Jl. Gunung Sahari, Jakarta Pusat hari Rabu, 26 Desember 2009. Hasil pelacakan aparat menunjukkan, peristiwa tersebut merupakan bentuk bentrokan antara anggota genk Boedoet melawan Chaptoen di Kemayoran.

Di Lhokseumawe, Aceh, dua anggota genk cewek SMA terlibat perkelahian, yang dipicu oleh rebutan cowok (31 Mei 2009). Perkelahian disaksikan tujuh anggota genk lainnya yang memberikan support. Di Balikpapan, seorang siswa SMP dihajar oleh lima orang kakak kelasnya dan direkam dengan HP oleh rekan lainnya (27 Nopember 2007). Alasan merekam adegan ini adalah meniru rekaman inisiasi Genk Motor Brigez Bandung. Sementara itu di Kutai Kertanegara, beredar rekaman aksi kekerasan yang diduga dilakukan oleh pelajar putri SMP. Pada rekaman perkelahian remaja putri yang berdurasi 2 menit itu terlihat sekelompok orang berada pada suatu tempat yang cukup lapang yang diperkirakan berlokasi di sebuah kawasan jalan di kota Tenggarong.

“Neko-neko Dikeroyok” (NERO) adlah salah satu genk remaja putri di Jawa Tengah yang cukup populer. Anggota genk Nero sering melakukan penganiayaan terhadap remaja putri SMP dengan alasan, mereka tidak suka kalau ada perempuan lain yang menyaingi dan melebihi apa yang mereka miliki.  Misalnya terkait pakaian, gaya rambut atau penampilan lainnya. Parahnya, penganiayaan tersebut mereka rekam melalui video HP kemudian mereka sebarkan. Di Kupang Nusa Tenggara Timur, kepolisian menangkap para anggota dua genk cewek yang terkenal suka berkelahi (17 Februari 2009). Mereka adalah sembilan siswi anggota genk Anastasia dan tiga siswi anggota genk Aroyo Kupang. Sementara itu 23 siswi lainnya ikut dimintai keterangan pihak kepolisian.

Pada tahun 2010 kemarin, saya sempat membuat penelitian kecil dengan mencari berita terkait penyimpangan moral di berbagai media massa. Betapa terkejutnya saya, karena dengan sangat mudah saya menemukan beraneka ragam penyimpangan moral yang dilakukan oleh kalangan pelajar, orang tua, termasuk di kalangan pejabat negara, di kalangan anggota DPR, kepala daerah, anggota TNI dan POLRI, bahkan di kalangan pemuka agama. Semua dari kita telah terkena ujian moral. Bukan hanya anak muda, namun juga orang tua. Bukan hanya masyarakat biasa, namun juga di kalangan pemimpin dan elit bangsa.

Inilah sebagian potret buram globalisasi dan modernisasi.

*****************
McLuhan, seorang pemikir komunikasi, pada tahun 1964 telah melontarkan konsepnya mengenai The Global Village. Namun konsep globalisasi baru masuk kajian dunia universitas pada tahun 1980-an sebagai suatu pengertian sosiologi yang dicetuskan oleh Roland Roberston dari University of Pittsburgh, meskipun secara umum globalisai dianggap sebagai suatu pengertian ekonomi. William K. Tabb dalam bukunya “Tabir Politik Globalisasi” (2003), mengatakan bahwa definisi globalisasi merupakan sebuah kategori luas yang mencakup banyak aspek dan makna.

Selanjutnya Tabb mengatakan bahwa “Istilah globalisasi berarti sebuah proses saling keterhubungan antar negara dan masyarakat. Ini adalah gambaran bagaimana kejadian dan kegiatan di satu bagian dunia memiliki akibat signifikan bagi masyarakat dan komunitas di bagian dunia lainnya. Ini bukan saja soal ekonomi tapi bahkan meningkatnya saling ketergantungan sosial dan budaya dari desa global yang minum Coke dan menonton Disney

Berkaitan dengan globalisasi terhadap konsep etnis dan bangsa, ada hal yang menarik terjadi dalam proses tersebut, yang oleh Naisbitt disebut sebagai paradoks, yang menimbulkan efek diferensiasi dan sekaligus homogenisasi. Efek diferensiasi terlihat pada runtuhnya negara Uni Soviet akibatnya munculnya sub budaya etnis (etnosentrisme). Negara yang dulunya terdiri dari pelbagai jenis etnis kini terurai ke dalam negara-negara kecil akibat munculnya nilai-nilai budaya etnis. Hal ini juga tampak jelas dalam fenomena berpisahnya Cekoslowakia menjadi dua negara sesuai etnis masing-masing, yaitu Republik Ceko dan Republik Slowakia. Masalah semacam itu disadari benar oleh para founding fathers negara kita, sehingga memilih semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang merupakan pengakuan terhadap nilai-nilai sub budaya yang dari bangsa Indonesia yang bhinneka (berbeda-beda) namun keseluruhannya diikat oleh satu cita-cita untuk menciptakan budaya nasional yang diterima sebagai puncak budaya etnis.

Efek homogenisasi terjadi terutama karena pengaruh komunikasi yang semakin intens. Televisi telah menjadikan dunia terasa sempit dan cita rasa manusia seolah diseragamkan. Sejak dari selera makanan, minuman, musik, film sampai kepada sarana komunikasi dan gaya hidup, masyarakat dunia telah memiliki corak yang nyaris seragam. Tapi pada sisi lain pengaruh komukasi juga menyebabkan negara-bangsa (nation-state) yang homogen berubah ke arah suatu multikulturalisme. Pusat kekuasaan bisa beralih ke pinggiran, sedangkan budaya yang dulunya di pingiran (periphery) bisa berpindah ke pusat.

Globalisasi yang menimbulkan krisis multidimensional telah mampengaruhi perkembangan kepribadian manusia berupa krisis identitas dalam diri individu, kelompok dan masyarakat. Untuk mengatasi persoalan tersebut maka diperlukan upaya-upaya pembinaan kepribadian yang merupakan pemberdayaan diri dalam menghadapi persoalan-persoalan yang muncul akibat globalisasi. Keluarga dan masyarakat harus mempunyai identitas diri yang kuat dan memiliki antisipasi terhadap perubahan-perubahan yang akan terjadi.

Heilbroner menyatakan bahwa “masa depan atau esok hari hanya dapat dibayangkan dan tidak dapat dipastikan. Masa depan tidak dapat diramalkan. Manusia hanya dapat mengontrol secara efektif kekuatan-kekuatan yang membentuk masa depan pada hari ini. Dengan kata lain masa depan adalah masa kini yang diarahkan oleh manusia itu sendiri. Apabila manusia masa kini tidak mengenal kemungkinan-kemungkinan yang akan lahir serta kekuatan-kekuatan yang akan membawa kehidupan umat manusia di masa depan tidak dikenal maka manusia itu akan menderita akibat ketidaksadarannya itu. Dengan kata lain manusia yang tidak mempunyai persepsi terhadap masa depannya akan dibawa oleh arus perubahan yang dahsyat yang membawanya ke tempat yang tidak dikenalnya. Maka hasilnya sudah dapat dibaca, yaitu kehidupan di dalam ketidakpastian atau chaos”.
Kuatnya arus globalisasi yang melanda seluruh dunia, memberikan tantangan tersendiri terhadap pengokohan moral dalam kehidupan. Apalagi pada kondisi dimana dunia tengah menyaksikan adanya krisis kemanusiaan. Fenomena krisis dunia akibat globalisasi disorot dengan sangat tajam oleh banyak ahli. Fritjof Capra (2007), misalnya, ia mengawali tulisannya dalam buku The Turning Point dengan analisis tentang krisis global saat ini. Menurutnya, krisis ini belum pernah terjadi sebelumnya dalam sepanjang sejarah umat manusia.

Fritjof  Capra menyatakan, “Pada awal dua dasawarsa terakhir abad keduapuluh, kita menemukan diri kita berada dalam suatu krisis global yang serius, yaitu suatu krisis kompleks multidimensional yang segi-seginya menyentuh setiap aspek kehidupan, kesehatan dan mata pencaharian, kualitas lingkungan dan hubungan sosial, ekonomi, teknologi dan politik. Krisis ini terjadi dalam dimensi intelektual, moral dan spiritual; suatu krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam catatan sejarah umat manusia” (Lihat : Fritjof Capra, The Turning Point: Titik Balik Peradaban, Jejak, Yogyakarta, 2007).

Sinyalemen Capra di atas hanyalah sebagian kecil dari sekian banyak kekhawatiran yang pernah disampaikan oleh banyak kalangan, tentang kondisi krisis kemanusiaan yang tengah melanda dunia saat ini. Mengutip pernyataan Giddens (2000), akar permasalahannya bukan terjadi dari alam, namun terjadi dari manusia sendiri (Anthony Giddens, The Third Way, Jalan Ketiga Pembaruan Demokrasi Sosial, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000). Keterjebakan dalam pola hidup yang serba praktis bahkan pragmatis, pengabaian orientasi ukhrawi (akhirat) dan hanya berorientasi duniawi, telah semakin menyeret manusia ke dalam kubangan kerakusan, ketamakan, keserakahan, dan kesombongan. Akar-akar nilai dan keyakinan semakin tercerabut dari jiwa manusia, bahkan akhirnya manusia hidup semata-mata mengejar sesuatu yang bercorak pragmatis.

Dalam kondisi kemanusiaan seperti ini, kita diingatkan kembali kepada teori lama dari Daniel Bell yang meneriakkan dengan lantang “The End of Ideology”. Daniel Bell menekankan penolakannya terhadap kepercayaan umum selama ini, yang menerima konsepsi menyeluruh tentang problematika sosial budaya sebagaimana diobsesikan oleh berbagai ideologi yang merupakan cara bertindak bagi manusia. Ideologi semacam ini menurut Bell sudah sampai pada akhir kematiannya: Ideology, which once was a road to action, has come to be a dead end. Masyarakat dunia diajak untuk semakin tidak meyakini ideologi, berarti menciptakan tata kehidupan baru minus keyakinan, minus landasan dasar dan falsafah kehidupan itu sendiri. Kendati teori ini ditolak banyak pihak, akan tetapi esensi dari teori Daniel Bell tersebut bisa dilihat dalam kehidupan keseharian masyarakat Indonesia yang serba praktis dan pragmatis.

Penolakan teori Daniel Bell tersebut diantaranya datang dari Sidney Hook, seorang intelektual terkemuka Amerika. Hook menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pandangan yang menganggap bahwa dengan perkembangan iptek yang makin maju, ideologi akan ‘habis’. Pandangan Hook itu disampaikan dalam dialognya bersama sejumlah ahli di Indonesia tahun 1975, sekalian menanggapi terbitnya buku “The End of Ideology” (1960) tulisan bekas muridnya, Daniel Bell. Bagi Hook, ideologi merupakan sebuah kekuatan yang hebat. Ia mencontohkan perbedaan media massa di Amerika Serikat dengan di Uni Soviet.

Di Amerika Serikat, pers bisa menjatuhkan seorang Presiden, sementara di Uni Soviet pers bisa dibungkam oleh penguasa Negara yang kekuasaannya jauh di bawah presiden. Hal yang membedakan keduanya adalah pada ideologi pers yang mereka anut. Ini menandakan ideologi tidak mati, justru realitas pada zaman sekarang menunjukkan kebutuhan masyarakat dan Negara akan sebuah ideologi yang jelas dan kuat sebagai panduan menjawab tantangan zaman.

Inilah gambaran sebab-sebab krisis, bahwa manusia telah menciptakan krisisnya sendiri, dan ternyata nilai kemanusiaan terkubur di balik gemerlapnya kemajuan sains dan teknologi. Sisi spiritualitas dan moralitas semakin pudar dan bahkan bisa terkikis habis, oleh pragmatisme dan materialisme. Tingkah laku, budi pekerti luhur dan moralitas sudah terlumpuhkan oleh budaya hidup instan yang menghendaki kesenangan dan pencapaian tujuan dengan menghalalkan segala cara. Nilai moral semakin ditinggalkan oleh masyarakat Indonesia, yang dengan alasan modernitas telah berpaling dari ikatan budaya Indonesia, menuju kepada budaya global yang tidak seluruhnya sesuai dengan watak serta jatidiri bangsa yang religius.

Sayidiman Suryohadiprojo menjelaskan, pengertian modernitas berasal dari perkataan “modern”; dan makna umum dari perkataan modern adalah segala sesuatu yang bersangkutan dengan kehidupan masa kini. Lawan dari modern adalah kuno, yaitu segala sesuatu yang bersangkutan dengan masa lampau. Yang dimaksudkan peradaban modern adalah peradaban Barat yang terbentuk setelah bangsa-bangsa Eropa melampaui masa Abad Pertengahan. Perkataan “modern” di sini adalah “Eropa centris” atau “Barat centris” karena sepenuhnya bersangkutan dengan kehidupan bangsa-bangsa di Eropa bahkan di Eropa Barat.

Peradaban yang modern menghasilkan kehidupan baru yang maju berkat ilmu pengetahuan dan teknologi. Tetapi di pihak lain juga mengakibatkan kesengsaraan dan penderitaan yang besar. Kapitalisme menimbulkan kesengsaraan bagi para buruh dan petani, sedangkan imperialisme dan kolonialisme menyebabkan penderitaan yang parah sekali bagi bangsa-bangsa Asia dan Afrika (lihat : Sayidiman Suryohadiprojo, Makna Modernitas dan Tantangannya Terhadap Iman, http://www.sayidiman.suryohadiprojo.com 31 Januari 1994).

***************
Persoalan memang terjadi dalam spektrum yang sangat luas. Ambruknya moral di kalangan remaja hanyalah dampak saja dari peroalan moral para elit dan pemimpin bangsa. Sayidiman Suryohadiprojo (2003) menengarai kondisi bangsa sekarang, disamping kemiskinan dan kesengsaraan yang diderita rakyat ada segolongan orang yang kaya raya sehingga amat menonjol perbedaan dalam kehidupan, dimana kebanyakan rakyat yang sengsara dan segolongan kecil saja yang kaya (lihat : Sayidiman Suryohadiprojo, Harapan Untuk Masa Depan Bangsa Indonesia Tercinta, dalam : www.sayidiman.suryohadiprojo.com 22 Januari 2003).

“Hal itu diperberat lagi oleh perilaku golongan orang yang tanpa malu-malu memperkaya diri dengan cara yang tidak sah dan merugikan kepentingan negara dan bangsa. Bahkan Reformasi pada tahun 1998 tidak berhasil menghilangkan perilaku KKN itu dan malahan makin merajalela meliputi pejabat eksekutif maupun legislatif yang seharusnya justru mewakili kepentingan rakyat. Semangat perjuangan yang tertuju kepada kemuliaan negara dan bangsa hampir tidak ada, kalaupun ada semangat perjuangan maka itu adalah untuk memperkaya diri pribadi, keluarga atau golongan kecilnya”, tulis Sayidiman.

Sujarwadi menengarai berbagai ekspresi masyarakat yang terjadi dewasa ini menunjukkan betapa berat tekanan yang dihadapi publik dari waktu ke waktu, yang ini tampak dari beberapa bentuk gerakan masyarakat: eksklusivitas yang meluas, mutual distrust yang semakin parah, inequality frustration yang mendalam, dan disengagement yang akut. Gerakan eksklusivitas muncul dalam bentuk pengabaian atas keberadaan atau bahkan pemisahan diri dari masyarakat umum, baik dengan parameter etnis, agama, golongan, dan berbagai parameter gaya hidup. Selain dalam bentuk aliran agama yang tidak jarang bersifat sesat, gerakan fundamentalisme, juga kelompok hedonis dalam berbagai tipe yang memisahkan diri dan merupakan counter culture atas tata aturan yang berlaku umum. Fenomena yang diangkat oleh Sujarwadi di atas dengan jelas menggambarkan betapa moral semakin memudar pada berbagai kelompok masyarakat di Indonesia saat ini.

Lebih lanjut Sujarwadi menjelaskan, mutual distrust muncul sebagai bentuk ketidakpuasan yang terjadi dalam hubungan yang bersifat horisontal maupun vertikal. Konflik etnik, agama atau kelas di berbagai tempat telah melahirkan ketidakpercayaan satu sama lain, seperti yang terjadi di Papua, Ambon, Poso, Aceh, dan lingkungan sosial lain. Inequality frustration terjadi dalam bentuk perasaan diperlakukan tidak adil oleh golongan yang berada di atas sehingga cenderung mengambil “jalan pintas” dengan membakar tempat ibadah, membakar fasilitas publik, penjarahan, dan perampokan. “Jalan pintas” inilah yang mengancam terbangunnya niat baik dan cita-cita mulia sebuah pembangunan.

Disengagement atau ketidakpedulian telah menjadi bagian penting dari ekspresi sosial publik sebagai respons atas ketidakpastian yang dialami. Sikap ini juga merupakan pernyataan tentang hilangnya harapan masyarakat akan terjadinya perbaikan dalam hidup mereka. Bentuk-bentuk ekspresi masyarakat tersebut merupakan tanda perlunya perenungan yang seksama tentang orientasi pembangunan nasional selama ini. (lihat : Sujarwadi, Reorientasi Pembangunan Nasional: Menuju Indonesia Yang Berdaulat dan Bermartabat, Orasi Ilmiah Peringatan Dies Natalis ke-58 UGM, Yogyakarta, 19 Desember 2007).
***************
Untuk bisa keluar dari krisis kemanusiaan ini, hal yang harus ditempuh adalah perbaikan dari akarnya. Manusia harus hidup dalam kondisi yang berkeseimbangan antara sisi lahiriyah dan batiniyah, sisi fisik dan spiritual, sisi intelektual dan moral, sisi materi dan ruhani. Keseluruhan sisi dalam kehidupan harus dioptimalkan untuk menjadikan keseimbangan, sehingga tidak berpotensi menyimpang akibat meninggalkan sisi-sisi yang penting dalam diri manusia, yaitu ruhani atau spiritual dan moral. Bagi bangsa Indonesia yang terkenal religius, sesungguhnya telah memiliki jawaban atas persoalan kemanusiaan yang dihadapi akibat globalisasi tersebut.

Wahana pengembalian nilai-nilai kebaikan yang paling efektif adalah melalui keluarga dan masyarakat. Bagi bangsa Indonesia, keluarga adalah ikatan yang terbentuk secara pimordial dengan sangat kuat pada seluruh anggotanya. Membentuk keluarga adalah salah satu tradisi dan budaya luhur bangsa Indonesia, yang telah terjadi sejak zaman dulu secara turun temurun. Pembentukan keluarga merupakan potensi budaya, yang pada prakteknya di Indonesia dikemas sesuai dengan tuntunan agama, dan diatur oleh negara. Melalui keluarga, berbagai nilai kebaikan sangat efektif ditumbuhkembangkan dan dibudayakan sejak dini.

Proses interaksi dalam keluarga bercorak sangat intensif dan melibatkan ikatan emosi antara satu dengan yang lainnya. Ada peran dan tanggung jawab yang jelas dalam keluarga, dimana suami, isteri dan anak-anak saling menempatkan diri pada posisi masing-masing secara tradisional. Dalam konteks seperti ini, orang tua memiliki peran sentral untuk menciptakan suasana kebaikan atau ketidakbaikan dalam keluarga. Ayah dan ibu memiliki kewajiban melakukan pembinaan kepada anak-anak agar menjadi anak-anak yang baik, berbakti kepada orang tua, bergaul dengan positif di tengah masyarakat dan pada akhirnya berguna bagi nusa dan bangsa.
Dengan demikian, penanaman nilai-nilai moral sangat tepat dilakukan melalui keluarga, dan dimulai dari keluarga. Karena dalam keluarga tersebut, pembinaan sudah mulai terjadi sejak anak belum lahir, yaitu saat masih berbentuk janin dalam kandungan. Hal seperti ini tidak terjadi di sekolah atau lembaga pendidikan formal, dimana pendidikan dimulai pada usia yang telah ditentukan. Apabila keluarga mampu merawat, membangun, dan menumbuhkan moral kepada seluruh anggotanya, akan menjadi pondasi yang kokoh dalam memperbaiki moral bangsa dan negara Indonesia. Sebaliknya, apabila keluarga tidak melakukan penanaman moral kepada seluruh anggotanya, maka akan melahirkan generasi bermasalah yang justru menjadi beban bagi masyarakat, bangsa dan negara.

Sayidiman Suryohadiprojo menyatakan, pendidikan sudah harus dimulai sejak bayi masih dalam kandungan. Berbagai usaha dilakukan agar dapat dikomunikasikan kepada si calon bayi hal-hal yang menjadikannya nanti manusia yang baik dan bermutu. Dalam kebudayaan lokal di Indonesia, seperti di Jawa, ada tradisi berupa macam-macam upacara untuk melakukan komunikasi itu. Setelah lahir bayi perlu diurus dengan sebaik-baiknya agar tetap hidup. Pemberian air susu ibu (ASI) merupakan hal yang penting dan diakui manfaatnya oleh ilmu pengetahuan.

Selain ASI penting dilihat dari sudut makanan dan fisik bayi, pemberian ASI juga ada hubungannya dengan faktor mental, seperti penanaman disiplin pada bayi. Seperti memberikan ASI pada waktu tertentu dan tidak sembarang waktu, umpama saja untuk menghentikan bayi menangis. Dengan tumbuhnya kebiasaan tentang waktu menerima ASI dan tidak pada waktu lain pada bayi terwujud kebiasaan mengikuti aturan orang lain. Demikian pula keteraturan waktu dan cara mandi menimbulkan pada bayi dasar untuk hidup teratur nanti (lihat : Sayidiman Suryohadiprojo, Pendidikan Dalam Keluarga, http: //www.sayidiman.suryohadiprojo.com,  29 November 2007).

Selain keluarga, penanaman nilai moral juga sangat efektif dilakukan dalam kehidupan masyarakat. Seluruh anggota keluarga pada dasarnya adalah anggota dari sebuah kelompok masyarakat. Dengan demikian, terjadi suasana hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi antara keluarga dengan masyarakat. Kumpulan dari keluarga yang berkualitas, akan melahirkan masyarakat yang berkualitas. Sebaliknya, masyarakat yang berkualitas akan membentuk dan menguatkan keluarga yang berkualitas. Tidak dapat dipisahkan antara keluarga dengan masyarakat, kendati tidak bisa didefinisikan dengan “mana ayam mana telur”. Kedua lembaga ini jelas memiliki keterkaitan yang sangat kuat dalam memberikan pengaruh satu kepada yang lainnya.

Apabila moral dalam keluarga dan masyarakat berhasil dimantapkan, akan menjadi jawaban ampuh menghadapi krisis kemanusiaan yang ditimbulkan oleh peradaban modern dan globalisasi saat ini. Kemajuan Indonesia di masa yang akan datang, bertumpu kepada keberhasilan melakukan pemantapan moral dalam kehidupan keluarga dan masyarakat seluruhnya. Ketertinggalan ilmu pengetahuan dan teknologi mudah dikejar oleh Indonesia, keterbelakangan ekonomi bisa diatasi dengan berbagai program yang dirancang para ahli, namun keruntuhan moral merupakan petaka yang sangat pantas ditangisi. Telah banyak orang pandai, namun tidak memiliki landasan moral yang memadai. Dampaknya kepandaian yang dimiliki justru menjadi potensi destruktif yang merugikan bangsa dan negara tercinta.

Tentu saja hal ini merupakan sebuah tantangan berat yang harus dijawab oleh segenap komponen bangsa. Tidak banyak waktu kita miliki, sebelum krisis kemanusiaan semakin menjadi-jadi dan berubah menjadi petaka kemanusiaan yang bisa mengubur sejarah sebuah negara bernama Indonesia. Prof. Dr. Edi Setiyono dari Universitas Indonesia dalam ceramahnya di Lemhannas RI, tanggal 5 Oktober 2010 menyatakan bahwa “tidak ada bentuk akhir dari sebuah negara”. Pernyataan ini dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa kondisi negara itu sangat dinamis dan sangat mungkin mengalami perubahan bahkan yang sangat ekstrem. Beliau menunjukkan contoh runtuhnya Uni Soviet dan pecahnya negara-negara yang bergabung dalam blok Uni Soviet. Kendati Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah menjadi “harga mati” bagi bangsa Indonesia, namun hal itu harus diperjuangkan secara terus menerus.

************
Dr. Zubaedi, M.Ag., M.Pd. mengawali tulisannya dalam buku “Pendidikan Berbasis Masyarakat” (2009) dengan menguraikan sejumlah keprihatinan akan kondisi moral bangsa. Menurutnya, dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan moral pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan ini muncul dilatarbelakangi oleh dua kondisi. Pertama, bangsa Indonesia saat ini sepertinya telah kehilangan karakter yang telah dibangun berabad-abad. Keramahan, tenggang rasa, kesopanan, rendah hati, suka menolong, solidaritas sosial dan sebagainya yang merupakan jati diri bangsa seolah hilang begitu saja. Kedua, kondisi lingkungan sosial dewasa ini diwarnai oleh maraknya tindakan barbarisme, vandalisme, baik fisik maupun nonfisik, adanya model-model korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) baru, hilangnya keteladanan pemimpin, sering terjadinya pembenaran politik dalam berbagai permasalahan yang jauh dari kebenaran universal, serta larutnya semangat berkorban bagi bangsa dan negara.

Pendidikan moral bisa disamakan pengertiannya dengan pendidikan budi pekerti. Pendidikan moral merupakan pendidikan nilai-nilai luhur yang berakar dari agama, adat-istiadat dan budaya bangsa Indonesia dalam rangka mengembangkan kepribadian supaya menjadi manusia yang baik. Secara umum, ruang lingkup pendidikan moral adalah penanaman dan pengembangan nilai, sikap dan perilaku sesuai nilai-nilai budi pekerti luhur. Di antara nilai-nilai yang perlu ditanamkan adalah sopan santun, berdisiplin, berhati lapang, berhati lembut, beriman dan bertakwa, berkemauan keras, bersahaja, bertanggung jawab, bertenggang rasa, jujur, mandiri, manusiawi, mawas diri, mencintai ilmu, menghargai karya orang lain, rasa kasih sayang, rasa malu, rasa percaya diri, rela berkorban, rendah hati, sabar, semangat kebersamaan, setia, sportif, taat asas, takut bersalah, tawakal, tegas, tekun, tepat janji, terbuka, dan ulet. Jika anggota masyarakat telah memiliki karakter dengan seperangkat nilai budi pekerti tersebut, diyakini ia telah menjadi manusia yang baik.

Zaim Elmubarok dalam bukunya “Membumikan Pendidikan Nilai” (2009) berkeyakinan bahwa sentral pendidikan nilai adalah keluarga. Menurutnya, keluarga adalah satu-satunya sistem sosial yang diterima di semua masyarakat, baik yang agamis maupun yang non-agamis. Sebagai lembaga terkecil dalam masyarakat, keluarga memegang peran yang sangat penting dalam kehidupan sosial umat manusia. Sesungguhnya dapat dikatakan bahwa keluarga adalah tahap pertama lembaga-lembaga penting sosial dan dalam tingkat yang sangat tinggi, ia berkaitan erat dengan kelahiran peradaban, transformasi warisan dan pertumbuhan serta perkembangan umat manusia. Secara keseluruhan, semua tradisi, keyakinan, sopan santun, sifat-sifat individu dan sosial, ditransfer lewat keluarga kepada generasi-generasi berikutnya.

Zaim juga menanggap keluarga merupakan batu pondasi setiap masyarakat besar manusia, dimana semua anggotanya memiliki peran mendasar dalam memperkokoh hubungan-hubungan sosial dan pengembangan serta penguatan di semua aspeknya. Untuk itu, semua usaha guna memperkuat bangunan keluarga, akan membuka peluang untuk pertumbuhan jasmani dan rohani yang sehat, dan pengokohan nilai-nilai moral di tengah masyarakat. Teori ini sangat relevan dengan kenyataan sosial yang berlaku di Indonesia, bahwa lembaga keluarga merupakan modalitas sosial yang sudah terbangun  sejak lama dan selalu dijaga hingga sekarang.

Para pakar meyakini bahwa keluarga adalah lingkungan pertama dimana jiwa dan raga anak akan mengalami pertumbuhan dan kesempurnaan. Untuk itulah keluarga memainkan peran yang amat mendasar dalam menciptakan kesehatan kepribadian anak dan remaja. Tentu saja status sosial dan ekonomi keluarga di tengah masyarakat berpengaruh pada pola berpikir dan kebiasaan anak. Dengan demikian, berdasarkan bentuk dan cara interaksi keluarga dan masyarakat, anak akan memperoleh suasana kehidupan yang lebih baik, atau sebaliknya, akan memperoleh efek yang buruk darinya.

Dalam pendidikan moral secara konvensional, untuk membentuk moral yang baik dari seseorang, diperlukan latihan dan praktek yang terus menerus dari individu, sebagaimana diungkap oleh John Moline sebagaimana dikutip Lickona, “as Aristotle taught, people do not naturally or spontaneously grow up to be morally excellent or practically wise. They become so, if at all, only as the result of a lifelong personal and community effort” (lihat : T. Lickona, Educating for Character, How Our Schools Can teach Respect and Responsibility, Bantam Books, New York, 1992). Hal ini menunjukkan pentingnya pemantapan nilai-nilai moral dalam kehidupan keluarga dan masyarakat secara kontinyu, terus menerus dan berkesinambungan.

Moralitas dalam diri seseorang dapat berkembang dari tingkat yang rendah ke tingkatan yang lebih tinggi seiiring dengan kedewasaannya. Lawrence Kohlberg (1976) menggambarkan tiga tingkatan moralitas yang dikaitkan dengan perspektif sosial yang meliputi preconventional, conventional, dan post conventional atau principled. Pada tingkat preconventional (tingkatan moralitas yang paling rendah) perspektif sosial moralitas seseorang menunjukkan bahwa dirinya merupakan individu yang kongkrit. Oleh karena itu, perilaku resiprokal sangat penting bagi orang yang berada dalam tingkat moralitas ini. Dalam tingkatan moralitas ini kita sering menjumpai perilaku seseorang  dengan penalaran yang menunjukkan perspektif sosial seperti: karena dia menyakiti saya, maka dia ganti saya sakiti; karena dia mencuri milik saya, maka saya juga berhak mencuri milik dia; karena orang-orang eksekutif ada yang  korupsi mengapa saya sebagai wakil rakyat tidak boleh korupsi? Karena suami selingkuh, maka isteripun juga bisa selingkuh, dan lain sebagainya. Pola berpikir moral seperti ini tentu bisa dilakukan secara kolektif yang kemudian mencerminkan suatu moralitas bangsa.




Pada tingkatan conventional, perspektif sosial yang ditonjolkan pada tingkatan moralitas ini ialah pentingnya seseorang menjadi anggota masyarakat yang baik. Oleh karena itu perilaku orang yang berada pada tingkatan ini akan memiliki alasan-alasan, misalnya apakah masyarakat mengijinkan; pentingnya bagi seseorang untuk memiliki loyalitas pada orang, kelompok, dan otoritas pemegang kekuasaan; dan pentingnya memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain dan masyarakat secara luas. Oleh karena itu kalkulasi moral pada tingkatan ini dapat dijelaskan kurang lebih sebagai berikut: orang tidak baik melakukan korupsi karena perbuatan itu melawan hukum,  merugikan masyarakat, dan juga merugikan orang lain. Orang tidak boleh mencuri di toko karena memiliki alasan moral: mencuri itu melawan hukum, merugikan penjaga dan pemilik toko, kalau semua orang mencuri tata aturan masyarakat akan kacau balau.


Akhirnya, pada tingkatan post conventional (tingkat penalaran moral yang paling tinggi, yang hanya bisa dicapai ketika seseorang telah mencapai paling tidak usia 24 tahun), lebih mementingkan nilai-nilai moral yang bersifat universal. Dalam tingkatan ini orang mulai mempertanyakan mengapa sesuatu dianggap benar atau salah atas dasar prinsip nilai moral yang universal yang kadang-kadang juga bisa bertentangan dengan kepentingan masyarakat secara umum. Jika seseorang merasa dengan suatu peraturan tidak sejahtera, maka orang-orang yang ada pada tingkatan ini mulai bertanya mengapa peraturan itu tidak diubah saja (lihat: Deni al Asy’ari, Pendidikan dan Problema Moralitas Publik, dalam : http://www.imm.or.id, 5 Mei 2008).

Pada hakikatnya peraturan adalah untuk kesejahteraan manusia, ketika dengan peraturan itu manusia tidak sejahtera, maka sebaiknya peraturan itu yang seharusnya diubah. Dalam tahapan ini alasan moral yang universal paling dominan. Orang tidak melakukan korupsi bukan karena takut dengan hukum, dengan jaksa, polisi, dan lain sebagainya, tetapi dia tidak melakukannya karena korupsi itu memang tidak pantas dilakukan oleh siapapun karena melanggar prinsip moral seperti kejujuran, mencederai kepercayaan orang lain, tidak sesuai dengan nurani, harkat, dan martabat kemanusiaan.

(Catatan-catatan Berserakan di Laptop,
Dikumpulkan di Makassar, 20 Mei 2011)

Sumber  : http://cahyadi-takariawan.web.id

Menanti Kejujuran Bangsa

Oleh : Cahyadi Takariawan


Akhir-akhir ini kita sering mendengar berita mengenai aduan “menyontek massal” yang dilakukan suatu sekolah saat Ujian Nasional berlangsung. Keberanian Alif dan Siami, ibu kandung Alif, melaporkan adanya menyontek massal tersebut justru berujung petaka. Siami dicerca dan diusir masyarakat dari rumahnya, hingga harus mengasingkan diri. Masyarakat dan pihak sekolah tidak terima atas adanya aduan tersebut karena bisa merusak nama baik sekolah dan sekaligus bisa membuat Ujian Nasional di sekolah tersebut harus diulang.


Pemerintah bertindak cepat dengan memeriksa dugaan tersebut, dan hasilnya dinyatakan tidak terbukti ada tindakan menyontek massal. Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh menegaskan tidak ada peristiwa mencontek massal di Sekolah Dasar Negeri Gadel II, Surabaya, Jawa Timur. M Nuh memiliki sejumlah bukti  tidak ada insiden atau mobilisasi pencontekan massal dalam Ujian Nasional yang digelar 10 – 12 Mei 2011.

Bukti yang paling menguatkan adalah tidak ada pola jawaban yang sama dari semua peserta ujian. “Bukti lain, hasil nilainya. Di sini, baik Matematika atau yang lain-lain itu tidak menampakkan adanya kesamaan. Artinya, tidak terjadi kecurangan atau contekan massal,” kata M. Nuh di Kantor Kementerian Pendidikan Nasional, Jakarta, Rabu 15 Juni 2011. Bukti itu diperoleh setelah adanya pemetaan jawaban dari 60 peserta ujian. Hasil pemetaan Kemendiknas, pola jawaban yang dicantumkan tidak sama.

Pemerintah menyesalkan adanya aduan tersebut yang berdampak meresahkan masyarakat. Padahal Siami sendiri saat diwawancara sebuah stasiun televisi swasta dengan lugu menyatakan tidak menyangka kalau dampak laporan tersebut menjadi sebesar ini. Maka dia meminta maaf atas laporan yang telah dibuatnya. Jelas saja, tekanan datang dari banyak pihak kepada Siami dan Alif.

Sudahlah kita tidak perlu berdebat terbukti atau tidak terbukti aduan Alif dan Siami tersebut. Itu sudah dinyatakan selesai oleh Pemerintah. Namun tetap saja persoalan itu menyisakan banyak sekali pertanyaan tanpa jawaban. Di antara pertanyaan yang lazim adalah, mengapa menyontek massal saat Ujian Nasional ? Ada apa dengan Ujian Nasional kita ? Bagaimana potret kualitas pendidikan kita sesungguhnya ? Mengapa masyarakat kita sedemikian ketakutan atas laporan Siami dan Alif ? Mengapa reaksi masyarakat sedemikian besar atas aduan Alif dan Siami ?

Sayang sekali kita lebih suka menjadi bangsa yang tidak jujur atas kondisi diri sendiri. Kita tidak mau jujur bahwa masih banyak persoalan terkait Ujian Nasional yang diseragamkan untuk seluruh sekolah di Indonesia, sementara kualitas pendidikan di setiap daerah berbeda-beda. Bagaimana menyamakan pendidikan di Jakarta dengan Papua ? Kita ingin semua kualitasnya sama, namun kita tidak memiliki kesungguhan untuk membuat semua sekolah di Indonesia setara kualitasnya. Jelas sekali, sangat kasat mata, perbedaan kualitas pendidikan di Jakarta dengan Papua, sebagai contoh yang sangat ekstrem.

Di antara masalah mendasar yang dihadapi di Papua adalah kurangnya tenaga pendidik. Kita ambil contoh Kabupaten Yahukimo. Di kabupaten yang luasnya mencapai 18.000 km2 ini (hampir sama dengan luas satu provinsi di Jawa),  hanya terdapat 66 Sekolah Dasar, dengan 117 orang guru. Itu berarti rata-rata satu sekolah hanya memiliki 1 atau 2 orang guru. Para guru ini lebih sering tidak berada di tempat tugas, karena kondisi medan yang sangat sulit, ditambah mereka harus mencari tambahan penghasilan.

Kendati para guru mendapatkan tambahan tunjangan di luar gaji pokok mereka, ini belum bisa menyelesaikan masalah kehidupan yang layak. Di daerah pegunungan, semua barang harganya sangat mahal, termasuk makanan dan minuman. Ini akibat satu-satunya pasokan barang ke tempat itu adalah melalui jalur udara, karena tidak ada alternatif jalur transportasi lainnya menuju daerah pegunungan. Sudah begitu, datangnya gaji sering terlambat dengan berbagai alasan.

Problem tidak efektifnya pendidikan di Papua bukan hanya berasal dari guru, namun sangat banyak faktor yang mempengaruhi. Kesadaran masyarakat untuk menyekolahkan dan mendidik anak juga masih sangat minim. Banyak sekali anak-anak usia sekolah yang tidak bersekolah. Acara-acara adat juga berpengaruh terhadap proses pendidikan, seperti ketika upacara kematian. Anak-anak tidak masuk sekolah bisa sampai tujuh hari ketika ada keluarga yang meninggal, karena mengikuti prosesi upacara adat.

Cobalah kita bandingkan dengan pendidikan di Jakarta. Tentu sangat jauh kondisinya. Kualitas guru, kualitas sarana dan prasarana, kualitas interaksi belajar mengajar, semuanya tentu sangat berbeda kondisinya. Anak-anak SD di Jakarta sudah sangat akrab dengan teknologi komunikasi dan informasi. Mereka bisa belajar dari internet dan berbagai sarana lainnya, di luar pembelajaran yang ada di sekolah. Untuk wilayah perkotaan di Papua, seperti Jayapura, Timika, Biak dan lain sebagainya, teknologi komunikasi dan informasi sudah memadai. Namun untuk wilayah yang berada jauh dari perkotaan, teknologi komunikasi dan informasi masih menjadi kendala besar.

Jadi bagaimana Ujian Nasional disamakan untuk semua sekolah di seluruh wilayah Indonesia, sementara kondisi setiap sekolah berbeda-beda ? Kita tidak jujur mengakui adanya disparitas kualitas pendidikan ini. Kita menganggap semua sekolah telah memiliki kualitas yang setara, kalaupun tidak sama. Kita tidak memiliki kebesaran hati untuk mengakui, bahwa kita masih belum bisa menyetarakan kualitas pendidikan di seluruh sekolah yang ada di Indonesia, dari Jakarta hingga Papua, dari Sabang sampai Merauke.

Karena Ujian Nasional yang diseragamkan itu, semua sekolah ingin anak didiknya lulus sehingga layak mendapat pendidikan lanjut yang diinginkan. Tidak ada sekolah yang mau menjadi korban Ujian Nasional, semua ingin meluluskan anak didiknya seratus persen sebagaimana dikehendaki oleh para orang tua murid.

Jika prosentase kelulusan di sekolah itu kecil, bisa dipastikan akan kehilangan murid baru. Masyarakat akan menolak masuk sekolah itu, dan memilihkan sekolah lain bagi anak-anaknya. Masyarakat memilih menyekolahkan anak di sekolah “favorit” yang mampu meluluskan Ujian Nasional seratus persen.
Saya tidak yakin kalau Pemerintah tidak mengetahui kekhawatiran sekolah dan masyarakat seperti ini. Mereka pasti tahu, betapa Ujian Nasional telah menjadi “nightmare” yang sangat menakutkan bagi banyak sekolah yang jauh dari ibu kota. Bagaimana anak didik mereka harus disetarakan dengan anak-anak sekolah di Jakarta yang serba lengkap fasilitasnya ? Bagaimana anak-anak didik mereka dipaksa mengikuti Ujian Nasional, sementara proses interaksi belajar mengajar tidak berjalan sebagaimana mestinya ? Kita tidak mau jujur atas realitas yang sebenarnya sudah sangat kita ketahui bersama.

Maka, mari kita berikan “Permaafan Massal” atas kejadian “Menyontek Massal” di banyak sekolah-sekolah kita. Karena kita sudah memaafkan atas perbedaan-perbedaan kondisi dan situasi daerah, yang berdampak kepada perbedaan kualitas pendidikan di setiap daerah. Sebuah perbedaan yang jelas sangat mencolok antara Jakarta Pusat dengan Papua Pegunungan, sudah kita terima dan kita maklumi adanya. Kita maklumi bahwa setiap Sekolah Dasar di Yahukimo hanya memiliki satu atau dua guru saja. Sementara di Jakarta mengenal guru mata pelajaran.

Saya sering mendapatkan kisah sedih guru yang mendapatkan tugas mengarahkan jawaban saat Ujian Nasional berlangsung. Mereka bertanya soal “hukum”, menurut ajaran agama bolehkah melakukan tugas seperti itu ? Hati nuraninya berontak, tidak mampu berbohong kepada diri sendiri bahwa ia melakukan sebuah tindakan pelanggaran dan kebohongan. Namun jika tidak dilakukan, hasil Ujian Nasional para siswa di sekolah itu dikhawatirkan akan hancur, sehingga berdampak kepada citra yang jelek bagi sekolahnya.

Pertanyaan itu sangat mudah jawabannya. “Tanyakan kepada nurani anda”, tanpa harus mencari dalil-dalil agama. Kita tidak berani jujur mengakui, bahwa sesungguhnya praktik kecurangan massal saat Ujian Nasional banyak terjadi di sekolah-sekolah kita. Tentu saja pihak SD Negeri Gadel II Surabaya tidak mau dituduh dan tidak mau disalahkan. Jika ingin diperiksa, hendaknya semua sekolah dilakukan tindakan yang sama. Jangan hanya sekolahnya saja yang menjadi bahan sorotan media, yang membuat semua media menyalahkan sekolahnya. Apakah sekolah yang tidak diberitakan itu lebih “jujur” kondisinya dalam pelaksanaan Ujian Nasional ? Bisa jadi yang tidak diberitakan media, kondisinya lebih hancur dan lebih sistematis kecurangannya dalam “meluluskan” semua anak didiknya saat Ujian Nasional.

Bangsa kita lebih memilih tidak jujur atas realitas-realitas yang ada. Bangsa yang sangat pemaaf atas segala kekurangan dan kelemahan yang ada di Indonesia. Bangsa yang mudah sekali melupakan berbagai peristiwa, karena saking banyaknya peristiwa menarik lainnya. Yakinlah sebentar saja kasus “menyontek massal” ini akan segera kita lupakan. Akan segera beralih ke berita lain yang tak kalah hebohnya.

Para tersangka koruptor beritanya hanya heboh sesaat di media, setelah itu lima tahun kemudian namanya muncul kembali menjadi caleg, dan masyarakatpun memilihnya kembali menjadi anggota DPR RI. Karena ia orang “baik”, suka menolong dan memberi bantuan langsung kepada masyarakat. Maka ia menang dalam Pilkada, ia menang dalam pemilu legislatif. Namanya bersih tanpa cela. Jujur, kita senang dimainkan media. Jujur, kita menikmati semua berita media dengan segala temanya. Suasana hati kita berubah-ubah setiap harinya sesuai irama pemberitaan media.

Sekali waktu kasus Bank Century marak di media, sekali waktu kasus Mafia Pajak mencuat, sekali waktu kasus NII dimunculkan, sekali waktu giliran Susno Duadji menjadi selebriti, sekali waktu kasus bom teroris diberitakan, sekali waktu kasus Nazarudin diramaikan, sekali waktu pertengkaran Julia Perez dan Dewi Persik disebarluaskan, sekali waktu operasi payudara Melinda Dee dihangatkan media, sekali waktu kasus Ahmadiyah diungkapkan, begitu seterusnya. Setiap hari kita sibuk berbincang dengan tema-tema yang berbeda, dengan melupakan tema sebelumnya.

Ah sudahlah, sangat banyak ketidakjujuran atas kondisi kita sendiri, dan selama ini kita nikmati saja semuanya. Tapi sampai kapankah suasana seperti ini terjadi ? Sampai kapan kita memaklumi berbagai ketimpangan negeri ini ? Sampai kapan kita selalu memaafkan berbagai kecurangan yang terjadi depan mata kita ? Sampai kapan kita selalu melupakan berbagai kejadian tanpa pernah mengambil pelajaran penting darinya ? Ternyata kita tengah Menanti Kejujuran dari bangsa yang sangat besar, bernama Indonesia tercinta.

Lari dan lepas segala impian
Akan indahnya hari depan
Nikmatnya kedamaian yang kudambakan
Masih tetap impian
Kini kuberpijak di persimpangan
Tanpa arah pasti kujelang
Tak pernah ku mengerti
Arti kedamaian
Yang pernah kau janjikan

* Menanti kejujuran
Harapkan kepastian
Hanya itu yang sanggup aku lakukan
Menanti kejujuran
Harapkan kepastian
Smoga damai jadi kenyataan

* Bila janji-janji yang pernah kau beri
Akan kunikmati dalam hidup ini
(Gong 2000)
Sumber : http://cahyadi-takariawan.web.id
nDalem Mertosanan, Yogyakarta, 17 Juni 2011

Menyelamatkan Indonesia Bersama Para Pemuda


Oleh : Cahyadi Takariawan

Sumpah Pemuda : Kecerdasan Sejarah Pemuda 1928
Sumpah Pemuda adalah contoh kecerdasan sejarah pemuda. Bagaimana tidak. Indonesia belum lahir, belum ada bentuknya pada waktu itu. Namun teks Sumpah Pemuda telah dengan tegas menyatakan keindonesiaan.

Tujuh belas tahun kemudian, baru ada Proklamasi Kemerdekaan RI. Jika dipahami Sumpah Pemuda merupakan simbol bangkitnya kesadaran keindonesiaan, maka hasilnya didapatkan 17 tahun kemudian.

Banyak `saksi  bisu` dijumpai di Museum Sumpah Pemuda Jalan Kramat Raya 106 Jakarta Pusat. Di dalam museum itu, bisa diketahui banyak hal tentang Sumpah Pemuda, termasuk koleksi biola asli milik WR Supratman pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya, serta foto-foto bersejarah peristiwa 28 Oktober 1928 yang menjadi tonggak sejarah pergerakan pemuda-pemudi Indonesia.



Pada Kongres Pemuda I yang digelar antara 27 April hingga 2 Mei 1926, para peserta sepakat perlunya sebuah ikrar pemuda, dan Kongres menugasi empat pemuda untuk merumuskannya. Tiga butir ikrar sudah dirancang M Yamin, satu di antara pemuda yang ditugaskan merampungkan ikrar pada kongres itu, bicara panjang lebar tentang bahasa dan kebudayaan Indonesia. Dua butir ikrar telah disepakati dan tinggal butir ketiga yang belum ada satu kata antara M Yamin, Jamaluddin Adinegoro, dan Tabrani. M Yamin dan Jamaluddin setuju dengan “Kami putra-putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Melayu”.

Sementara Tabrani, aktivis Jong Java dan pemimpin redaksi Hindia Baru, yang juga ketua panitia Kongres mengusulkan istilah bahasa Indonesia, seperti yang sudah ditulisnya pada bulan-bulan sebelumnya di korannya.

Kongres Pemuda II digelar tanggal 27-28 Oktober 1928, dipimpin Sugondo Joyopuspito dengan sekretaris M Yamin. Kongres sendiri lahir sebagai gagasan dari Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) yang beranggotakan pelajar dari seluruh Indonesia. Tampil sebagai pembicara, M Yamin, Purnomowulan, Sarmidi Mangunsarkoro, Ramelan, Theo Pangemanan dan Mr. Sunario yang membicarakan masalah peranan pendidikan kebangsaan dan kepanduan dalam menumbuhkan semangat kebangsaan.

Atas inisiatif PPPI, kongres dilaksanakan di tiga gedung berbeda dan dibagi dalam tiga kali rapat sehingga menghasilkan Sumpah Pemuda. Rapat pertama, Sabtu 27 Oktober 1928 di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond, Lapangan Banteng, Jakarta. Sugondo Joyopuspito dalam sambutannya, berharap kongres ini dapat memperkuat semangat persatuan dalam sanubari para pemuda. M Yamin dalam uraiannya menyorot arti dan hubungan persatuan dengan pemuda. Menurutnya, ada lima faktor yang memperkuat Persatuan Indonesia, yaitu sejarah, hukum adat, bahasa, pendidikan, dan kemauan.

Rapat kedua, Minggu 28 Oktober 1928 di Gedung Oost-Java Bioscoop, membahas masalah pendidikan. Dua pembicara, Purnomowulan dan Sarmidi Mangunsarkoro, sependapat bahwa anak harus mendapat pendidikan kebangsaan, harus pula ada keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah. Anak juga harus dididik secara demokratis. Rapat ketiga, di Gedung Indonesische Huis Kramat (Gedung Indonesische Clubgebouw), Jalan Kramat 106 Jakarta. Pada sesi ini, Sunario menjelaskan pentingnya nasionalisme dan demokrasi selain gerakan kepanduan. Sedangkan Ramelan mengutarakan gerakan kepanduan tidak bisa dipisahkan dari pergerakan nasional.

Kongres II ini dihadiri utusan Jong Islamieten Bond, Pemuda Indonesia, Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Celebes, Jong Ambon, Jong Bataks Bond, Pemuda Kaum Betawi, PPPI, Sekar Rukun, Minahasa Bond, Madura Bond, termasuk pengamat dari pemuda Tionghoa, seperti Kwee Thiam Hong, John Lauw Tjoan Hok, Oey kay Siang dan Tjio Djien Kwie. Kongres ini sebagai kelanjutan dari Kerapatan Besar Pemuda atau Kongres Pemuda Pertama pada tanggal 27 April-2 Mei 1926.  Sebelum kongres ditutup, diperdengarkan lagu Indonesia Raya karya WR Supratman, disambut dengan meriah peserta kongres.
Kongres ditutup dengan mengumumkan rumusan hasil kongres. Oleh para pemuda yang hadir, rumusan itu diucapkan sebagai Sumpah Setia yang sekarang dikenal dengan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.

Rumusan Sumpah Pemuda itu ditulis Yamin pada sebuah kertas ketika Mr Sunario, sebagai utusan kepanduan tengah berpidato pada sesi terakhir kongres. Sebagai sekretaris, Yamin yang duduk di sebelah kiri ketua menyodorkan secarik kertas kepada Soegondo, sembari berbisik, “Saya punya rumusan resolusi yang elegan.” Soegondo membaca rumusan resolusi itu, lalu memandang Yamin. Yamin membalas pandangan itu dengan senyuman. Spontan Soegondo membubuhkan paraf  ”Setuju”. Selanjutnya Soegondo meneruskan usul rumusan itu kepada Amir Sjarifuddin yang memandang Soegondo dengan mata bertanya-tanya. Soegondo mengangguk-angguk. Amir pun memberikan paraf “Setuju”. Begitu seterusnya sampai seluruh utusan organisasi pemuda menyatakan setuju.

Sumpah itu berbunyi: Kami putera dan puteri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Air Indonesia. Kami putera dan puteri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia. Kami putera dan puteri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.

Sumpah Pemuda 1928 akhirnya melahirkan Indonesia, tujuh belas tahun setelahnya.

Apa Kecerdasan Sejarah Anda, Wahai Pemuda 2010 ?
Dunia sudah semakin tua, di saat pemuda menginjakkan prestasinya di tahun 2010 ini. Pemuda kita saat ini berada dalam sebuah dunia yang dipenuhi oleh krisis. Bukan hanya terjadi di negara-negara maju, krisis juga terjadi di negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia. Tata kehidupan bermasyarakat, barbangsa dan bernegara sering berada dalam suasana ketidakpastian. Berbagai potologi sosial dengan sangat mudah kita jumpai dalam kehidupan keseharian.

Berita tentang pembunuhan, mutilasi, bunuh diri, penipuan, pencurian, perkelahian, perkosaan telah menghiasi halaman-halaman utama media massa. Berita tentang perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perceraian juga mudah didapatkan. Berita tentang korupsi, kolusi, mafia hukum, penggelapan uang negara saat ini juga tengah gencar-gencarnya diekspos media. Demikian pula dalam dunia politik dengan sangat mudah kita mendapatkan berita tentang kericuhan partai politik, perpecahan partai politik, atau perilaku menyimpang aktivis parpol yang berada di lembaga legislatif dan eksekutif. Kita juga kerap disuguhi berita adanya anggota legislatif ataupun pejabat publik yang dipenjara karena kasus dan penyelewengan yang dilakukannya.

Dalam dunia politik, banyak kita jumpai praktek-praktek politik praktis bahkan pragmatis: politik untuk mengeruk kekayaan dan keuntungan pribadi, politik untuk mencapai tampuk kekuasaan demi kejayaan pribadi; bukan politik untuk mensejahterakan rakyat. Maka dengan sangat mudah kita jumpai korupsi merajalela dimana-mana dan menjadi fenomena yang sangat sulit diberantas di Indonesia. Inilah krisis politik, dimana partai politik memiliki saham yang besar dalam kisaran krisis ini.

Fenomena krisis dunia disorot dengan sangat tajam oleh banyak ahli. Fritjof Capra (2007), misalnya, ia mengawali tulisannya dalam buku The Turning Point dengan analisis tentang krisis global saat ini. Menurutnya, krisis ini belum pernah terjadi sebelumnya dalam sepanjang sejarah umat manusia:

“Pada awal dua dasawarsa terakhir abad keduapuluh, kita menemukan diri kita berada dalam suatu krisis global yang serius, yaitu suatu krisis kompleks multidimensional yang sei-seginya menyentuh setiap aspek kehidupan, kesehatan dan mata pencaharian, kualitas lingkungan dan hubungan sosial, ekonomi, teknologi dan politik. Krisis ini terjadi dalam dimensi intelektual, moral dan spiritual; suatu krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam catatan sejarah umat manusia” (Fritjof Capra, 2007).

Anthony Giddens (1999), menggambarkan dunia pada pengujung abad kedua puluh dicirikan oleh manufactured uncertainty. Dengan istilah ini Giddens ingin mengungkapkan sebuah kenyataan yang khas pada saat sekarang, yaitu sebuah masa yang diliputi oleh ketidakpastian. Menariknya, situasi ketidakpastian ini, menurutnya, tidak ditimbulkan oleh alam tetapi oleh manusia sendiri berkat teknologi yang diciptakannya. Ia mengambil contoh gejala pemanasan bumi, perusakan lapisan ozon, polusi dan disertivikasi. Bahkan persenjataan nuklir yang merupakan hasil kemajuan teknologi manusia, telah menjadi ancaman tersendiri yang amat serius (Giddens, 1999).

Solzhenitsyn, seorang sastrawan Rusia, melihat peradaban modern sebagai kekuatan yang menghancurkan kriteria baik dan buruk. Dalam bukunya, The Gulag Archipelago, ia mempertanyakan hal yang amat mendasar, “Apabila kriteria baik dan buruk sudah tersingkir, adakah lagi yang masih tersisa pada diri manusia itu?” Solzhenitsyn menerawang ke depan, baginya iklim kemanusiaan semakin hari semakin meredup saja. Manusia kehilangan sesuatu yang amat berharga dalam dirinya, dan akhirnya merusakkan banyak sendi kehidupan.

Keseluruhan analisis tersebut semakin memperkuat pemahaman bahwa kehidupan manusia pada masa sekarang ini berada dalam sebuah krisis global (istilah Capra), atau kehampaan makna (istilah Joesoef)[1], atau ketidakpastian (istilah Giddens). Sebuah kondisi yang amat memprihatinkan dan harus dilakukan upaya serius untuk mencari jalan keluar agar kehidupan menuju ke arah yang lebih baik.

Akar permasalahannya bukan terjadi dari alam, sebagaimana diungkapkan Giddens (1999), namun terjadi dari manusia sendiri. Keterjebakan dalam pola hidup yang serba praktis bahkan pragmatis, pengabaian orientasi ukhrawi dan hanya berorientasi duniawi, telah semakin menyeret manusia ke dalam kubangan kerakusan, ketamakan, keserakahan, dan kesombongan. Akar-akar nilai dan keyakinan semakin tercerabut dari jiwa manusia, bahkan akhirnya manusia hidup semata-mata mengejar sesuatu yang bercorak pragmatis.

Tidak mengherankan, dalam kondisi kemanusiaan seperti ini, Daniel Bell meneriakkan dengan lantang “The End of Ideology” (1960). Daniel Bell ingin menekankan penolakannya terhadap kepercayaan umum selama ini, yang menerima konsepsi menyeluruh tentang problematika social budaya sebagaimana diobsesikan oleh berbagai ideologi yang merupakan cara bertindak bagi manusia. Ideologi semacam ini menurut Bell sudah sampai pada akhir kematiannya: Ideology, which once was a road to action, has come to be a dead end.

Namun Sidney Hook, seorang intelektual Amerika menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pandangan yang menganggap bahwa dengan perkembangan iptek yang makin maju, ideologi akan ‘habis’. Pandangan Hook itu disampaikan dalam dialognya bersama sejumlah ahli di Indonesia tahun 1975, sekalian menanggapi terbitnya buku “The End of Ideology” tulisan bekas muridnya yang juga seorang intelektual, Daniel Bell.

Bagi Hook, ideologi merupakan sebuah kekuatan yang hebat. Ia mencontohkan perbedaan media massa di Amerika Serikat dengan di Uni Soviet. Di Amerika Serikat, pers bisa menjatuhkan seorang Presiden, sementara di Uni Soviet pers bisa dibungkam oleh penguasa Negara yang kekuasaannya jauh di bawah presiden. Hal yang membedakan keduanya adalah pada ideologi pers yang mereka anut. Ini menandakan ideologi tidak mati, justru realitas pada zaman sekarang menunjukkan kebutuhan masyarakat dan Negara akan sebuah ideologi yang jelas dan kuat sebagai panduan menjawab tantangan zaman.

Dimana posisi anda sekarang, para pemuda ? Krisis kemanusiaan ini memerlukan sentuhan yang komprehensif dan secara tega harus melakukan pembersihan terhadap sumber-sumber kerusakan agar tidak semakin menyebar. Cara “konvensional” namun harus dilakukan adalah pembentukan generasi baru, karena tidak mungkin kita memberlakukan “potong generasi” secara ekstrem. Sesungguhnya bukan karena tidak mungkin, tetapi karena berhitung akan resiko banyaknya korban yang akan muncul apabila potong generasi dilakukan.

Cara ini konvensional, namun memerlukan konsistensi. Penumbuhan generasi baru, bertumpu kepada kekuatan pemuda hari ini. Memandang Indonesia 20 tahun ke depan, adalah pandangan tentang pemuda hari ini. Jika pemuda hari ini ikut terkontaminasi oleh krisis kemanusiaan yang melanda dunia, yang menyebabkan kehidupan mereka menjadi praktis, pragmatis dan hedonis, maka tak ada harapan bagi perbaikan Indonesia di masa depan. Namun jika kita berhasil menyelamatkan pemuda hari ini, ada sejumlah harapan yang bisa kita semai untuk masa depan bangsa.

Untuk menjamin sterilnya pemuda dari kerusakan dan proses dehumanisasi, diperlukan sebuah momentum yang berkelanjutan dan terjaga konsistensinya[2]. Momentum itu adalah Sumpah Pemuda 2010, yang kurang lebih berbunyi:

Kami pemuda dan pemudi Indonesia, bertekad membaja menyelamatkan Indonesia
Kami pemuda dan pemudi Indonesia, setia menjalankan agenda penyelamatan Indonesia
Kami pemuda dan pemudi Indonesia, siap berkorban untuk menyelamatkan Indonesia
Kami pemuda dan pemudi Indonesia, meyakini sepenuh hati Indonesia siap memimpin peradaban dunia.

Apakah yang harus diselamatkan dari Indonesia ? Astagatra adalah jawabannya. Ada tiga gatra statis (trigatra), yaitu demografi, geografi dan sumber kekayaan alam. Ditambah lima gatra dinamis (pancagatra), yaitu ideologi, politik, sosial budaya, ekonomi, dan pertahanan keamanan. Indonesia adalah satu kesatuan tanah air (geografi), penduduk (demografi), kekayaan alam, ideologi, sosial budaya, ekonomi, politik dan pertahanan keamanan. Keseluruhannya harus diselamatkan dari perusakan sistemik, baik perusakan dari dalam maupun dari luar, baik perusakan simetris maupun asimetris, baik perusakan oleh aktor negara (state actors) maupun aktor non-negara (nonstate actors).

Tanah air Indonesia dalam kerangka NKRI harus dijaga dan diselamatkan, tidak boleh dipecah-pecah, tidak boleh dicerai-beraikan keutuhannya. Penduduk Indonesia sebesar 237.556.363 jiwa, dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 119.507.580 jiwa dan jumlah penduduk perempuan sebanyak 118.048.783 jiwa, adalah aset pembangunan yang harus diselamatkan. Jumlah penduduk ini menjadikan Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk terbesar ke empat dunia, setelah Cina (sekitar 1,3 milyar jiwa), India (sekitar 1,1 milyar jiwa), dan Amerika Serikat (sekitar 310 juta jiwa). Jumlah penduduk seluruh dunia saat ini mencapai 6,6 milyar jiwa, dimana negara dengan penduduk paling sedikit adalah Montserrat, yang total penduduknya  5.118 jiwa saja.

Sumber kekayaan alam Indonesia harus diselamatkan, jangan sampai dikuasai pihak asing untuk kepentingan mereka. Indonesia dikenal memiliki kekayaan alam yang melimpah ruah, harus diselamatkan untuk kemakmuran dan kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Demikian pula segi ideologi, politik, sosial budaya, ekonomi dan pertahanan keamanan harus diselamatkan dari pengaruh asing yang tidak sejalan dengan kepribadian dan jati diri bangsa Indonesia. Hal ini untuk menjamin keseluruhan prosesi kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan agar tidak dibelokkan arahnya dan disimpangkan jalannya.

Sulit berharap dari orang tua, termasuk saya, untuk memperbaiki dan menyelamatkan Indonesia. Umur saya sudah 45 tahun saat menulis ini. Harapan Indonesia adalah kepada para pemuda yang tengah bersiap diri memimpin negeri ini 10 – 20 tahun ke depan. Sumpah Pemuda 2010 membuat para pemuda bersiap lebih dini, untuk memiliki karakter yang kuat, jiwa yang kokoh, semangat yang menyala, kerelaan berkorban demi kebaikan bangsa dan negara.
Semoga orang-orang yang masih suka korupsi segera dipensiunkan dini dan diadili, semoga para pejabat yang tidak bersih segera diganti, semoga para pemimpin yang merusak negara segera dipenjara, dan diganti dengan generasi Sumpah Pemuda 2010. Kami meyakini potensi dan kemampuan anda, para pemuda. Jaga stamina, untuk menjaga bangsa dan negara. Jalan masih panjang membentang.

Sumpah Pemuda 2010 akan menyelamatkan Indonesia, 20 tahun berikutnya.

Kampus Lemhannas RI, Jakarta, 14 Oktober 2010

Bacaan
1.      Ahmad Sadzali, Gerakan Pemuda dan Peradaban Indonesia, www.hidayatullah.com, 29 Mei 2010
2.      Anthony Giddens, The Third Way, Jalan Ketiga Pembaruan Demokrasi Sosial, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000
3.      Fritjof  Capra, The Turning Point: Titik Balik Peradaban, Jejak, Yogyakarta, 2007
4.      Parakitri T. Simbolon, Menjadi Indonesia, Kompas, Jakarta, 2007
5.      Secarik Kertas untuk Indonesia, dalam : www.majalah.tempointeraktif.com, 27 Oktober 2008

[1] Daoed Joesoef menyatakan, “Dengan semakin pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan ternyata disamping meningkatnya manfaat dan kebaikan, semakin banyak pula kerugian dan keburukan yang ditimbulkannya. Daftar dari cacat-cacat ilmu pengetahuan modern ini dapat dimulai dengan alat membunuh yang telah dikutuk oleh semua orang, yaitu bom nuklir, senjata kimia dan lain-lain, sampai artikel yang diperdebatkan aspek moralnya, seperti bayi tabung, rekayasa genetik-sintetik, obat bius, behavioral psichology, reductionist materialism, dan lain-lain”. Lebih lanjut Daoed Joesoef menegaskan, “Di samping semua kebutuhan tersebut, masih ada hal lain yang mengganggu pikiran, suatu kehampaan yang pantas dicemaskan, mengingat ia adalah produk langsung dari sikap ilmiah para ilmuwan itu sendiri dan berhubung dengan itu penanganannya bukan merupakan tugas politik. Kehampaan ini mencemaskan karena bekerjanya halus seperti racun, bukan membusukkan daging dan menghancurkan tulang, tetapi melumpuhkan jiwa manusia. Hal yang dicemaskan ini adalah kehampaan makna dari kegersangan psikis” (Daoed Joesoef, 1990). [2] Seorang pimpinan organisasi massa mengatakan, ”Sesungguhnya setiap umat yang ingin membina dan membangun dirinya, serta berjuang untuk mewujudkan cita-cita dan membela kemuliaannya, haruslah memiliki kekuatan jiwa yang dahsyat yang terekspresikan dalam (1) tekad membaja yang tak pernah melemah, (2) kesetiaan yang teguh dan tidak tersusupi oleh pengkhianatan, (3) pengorbanan yang tidak terhalangi oleh keserakahan dan kekikiran, (4) pengetahuan dan keyakinan serta penghormatan yang tinggi terhadap cita-cita yang diperjuangkan. Semua itu akan menghindarkannya dari kesalahan, penyimpangan, tawar-menawar, atau tertipu oleh tujuan lain. Generasi muda pejuang peradaban harus memiliki ke empat karakter tersebut, karena jika tidak maka cita-cita perdaban yang ingin diraihnya selamanya tidak akan terwujud dan hanya akan menjadi ilusi belaka. Pemuda hari ini harus memiliki sasaran dan cita-cita bersama tentang konsep peradabannya, langkahnya serta sarana-sarananya”.

Nikmati Jalan Dakwah Ini


Oleh : Cahyadi Takariawan

Terlalu sering saya sampaikan, agar kita tidak gagal dalam menikmati jalan dakwah. Dalam berbagai forum dan tulisan, saya selalu mengajak dan mengingatkan, agar kita selalu menjadikan jalan dakwah ini sebagai sesuatu yang kita nikmati. Segala renik yang ada di sepanjang jalannya: suka dan duka, tawa ria dan air mata, kemenangan dan kepedihan, tantangan dan kekuatan, sudahlah, semua itu adalah bagian yang harus bisa kita reguk kenikmatannya.

Di antara doa yang sering saya munajatkan adalah, “Ya Allah, wafatkan aku dalam kondisi mencintai jalan dakwah, dan jangan wafatkan aku dalam kondisi membenci jalan ini.” Tentu saja bersama doa-doa permohonan lainnya. Saya tidak ingin menjadi seseorang yang mengurai kembali ikatan yang telah direkatkan, mengungkit segala yang telah diberikan, dengan perasaan menyesal dan meratapi segala yang pernah terjadi di jalan ini.


Saya merasa bukan siapa-siapa, dan hanya seseorang yang mendapatkan banyak kemuliaan di jalan ini. Mendapatkan banyak saudara, mendapatkan banyak ilmu, memiliki banyak pengalaman, mengkristalkan banyak hikmah, menguatkan berbagai potensi diri, menajamkan mata hati dan mata jiwa. Luar biasa, sebuah jalan yang membawa berkah melimpah. Maka, merugilah mereka yang telah berada di jalan ini tetapi tidak mampu menikmati.

Maka mari kita nikmati jalan dakwah ini, “sebagai apapun” atau “tidak sebagai apapun” kita. Posisi-posisi dalam dakwah ini datang dan pergi. Bisa datang, bisa pergi, bisa kembali lagi, bisa pula tidak pernah kembali. Bisa “iya” bisa “tidak”. Iya menjadi pengurus, pejabat, pemimpin dan semacam itu; atau tidak menjadi pengurus, tidak menjadi pejabat, tidak menjadi pemimpin, tidak menjadi apapun yang bisa disebut.

Kamu siapa ?
“Saya pengurus partai dakwah”. Ini bisa disebut.
“Saya pejabat publik yang diusung oleh partai dakwah”. Ini juga bisa disebut.
“Saya pemimpin organisasi dakwah”. Ini sangat mudah disebut.
“Saya kepala daerah yang dicalonkan dari partai dakwah”. Ini cepat disebut.
Tapi, kamu siapa ?
“Saya orang yang selalu berdakwah. Pagi, siang, sore dan malam. Kelelahan adalah kenikmatan. Perjuangan adalah kemuliaan. Saya bahkan tidak tahu, apa nama diri saya. Karena saya lebih suka memberikan hal terbaik bagi dakwah, daripada mencari definisi saya sebagai apa di jalan ini”.

Ya. Nikmati saja jalan ini. Sebagai apapun, atau tidak sebagai apapun diri kita di jalan dakwah. Jangan gagal menikmati.
Selesai Rapat di Markaz Dakwah, Simatupang.

Agar Bisa Menikmati Indahnya Dakwah

 
Engkau hanya memerlukan kesadaran, bahwa yang engkau lakukan seluruhnya dalam dakwah ini adalah untuk Allah. Kerjamu untuk Allah. Keringatmu untuk Allah. Waktu yang engkau habiskan untuk Allah. Harta yang engkau alokasikan dalam dakwah adalah untuk Allah. Pikiran yang engkau curahkan untuk Allah. Tenaga yang engkau sumbangkan untuk Allah.



Berjalanmu dalam melakukan semua kegiatan, berangkat dan pulangnya, untuk Allah. Dudukmu dalam mengikuti rapat dan koordinasi, untuk Allah. Suaramu saat engkau menyampaikan pendapat dan pandangan, untuk Allah. Mengawali dan mengakhiri rapat dan semua pertemuanmu, untuk Allah. Program kerja yang engkau tunaikan, untuk Allah. Berlelah-lelahmu untuk Allah. Berpagi-pagimu untuk Allah. Bermalam-malammu untuk Allah.

Engkau hanya memerlukan kesetiaan, bahwa segala yang engkau pikirkan adalah untuk Allah. Segala yang engkau kerjakan adalah untuk Allah. Segala yang engkau rancang adalah untuk Allah. Segala yang engkau inginkan adalah ridha Allah.

Engkau tidak perlu memusingkan dirimu akan mendapatkan apa dalam jalan dakwah ini, karena itu urusan Allah. Engkau tidak perlu merisaukan posisimu seperti apa dalam organisasi dakwah karena telah diatur oleh Allah. Mungkin saja engkau mengetahui ada sebagian orang yang hasad kepadamu, kepada posisimu, kepada kedudukanmu, namun engkau telah menyerahkan semuanya kepada Allah. Engkau tidak perlu menyimpan rasa iri dengki atas posisi, kedudukan, jabatan, dan harta benda yang dimiliki saudaramu di jalan dakwah, karena engkau lebih menginginkan kedudukan mulia di sisi Allah.

Engkau tidak perlu resah memikirkan omongan dan sikap orang kepadamu, selama engkau selalu bersandar kepada Allah. Engkau tidak perlu menyibukkan diri untuk berharap-harap jabatan, posisi, kedudukan, kekuasaan tertentu dalam perjalanan dakwah, karena telah dikelola oleh Allah. Engkau tidak perlu menyibukkan diri untuk mencari-cari gemerlapnya pujian dalam mengemban amanah dakwah, karena segala puji hanyalah milik Allah.

Engkau hanya perlu menyibukkan diri untuk selalu membawa kesadaran Rabbaniyah dalam segala langkah. Engkau hanya perlu menyibukkan diri untuk selalu mengingat Allah dalam segala kegiatan. Engkau hanya perlu menyibukkan diri untuk memberikan kontribusi terbaik di jalan dakwah, dengan segala potensi dan kemampuan yang engkau miliki, karena Allah.

Engkau hanya perlu menyadari bahwa kemuliaan itu hanya milik Allah. Bukan pada jabatan, posisi, kedudukan, harta dan materi duniawi. Engkau hanya perlu memupuk dan menguatkan kecintaan kepada Allah, karena pada sisi Allah terdapat segala kekuatan dan kesempurnaan. Tidak ada orang terhina selama dia mendekat kepada Allah. Tidak ada orang mulia dalam menjauhi Allah.

Maka, resapilah setiap hari setiap saat, betapa nikmat berada di jalan dakwah ini. Karena proposalmu adalah kepada Allah, bukan kepada manusia. Proposalmu adalah kerja di jalanNya, bukan untuk posisi dunia.
Selamat menempuh jalan dakwah yang begitu nikmat, setiap waktu setiap saat.

Kartika Chandra, penutupan konsinyering, 23 Oktober 2011

Sumber : http://cahyadi-takariawan.web.id/

Keprihatinan Seorang Nabi

Oleh: Ust. Musyafa Ahmad Rahim, MA
Ketua Kaderisasi DPP PKS
---
Di suatu waktu, terdengarlah "desah" nabi Zakariya - 'alaihis-salam -: "Ya Allah Rabb-ku, sesungguhnya tulang belulangku sudah rapuh, kepalaku sudah menyala putih karena uban dan istriku mandul. Namun, ada satu hal yang membuat diriku khawatir, takut, cemas dan bersedih, yaitu, belum jelasnya seorang penggantiku, pelanjutku dan pewarisku, dan aku tidak pernah berputus asa untuk terus memohon dan memohon kepada-Mu, berikanlah kepadaku seorang pelanjut, seorang pengganti dan seorang pewaris, yang melanjutkan misi dan risalahku, misi keluarga besar nabi Ya'qub - 'alaihis-salam -, pewaris yang akan membimbing, membina dan mendidik Bani Israil, membimbing dan membina mereka kepada ajaran-Mu".

Bukan Soal Harta dan Kedudukan
Apa yang menjadi keprihatinan dan kepedihan nabiyullah Zakariya - 'alaihis-salam - bukanlah soal masa depan makanan dan logistik Bani Israil, sebab ia yakin betul bahwa rizki, makanan, dan logistik Bani Israil sudah dijamin dan ditanggung Allah SWT.

Bukan pula soal jabatan dan kedudukan duniawi mereka, sebab mereka pasti akan menentukan pilihan mereka sendiri seandainya tidak ada ketentuan dari Allah SWT, dan sepertinya peminat dalam hal ini sangatlah banyak.

Bukan pula soal perjodohan laki dan perempuan diantara sesama mereka, sebab fitrah dan naluri mereka telah cukup untuk menggerakkan mereka dalam hal ini.

Bukan pula soal perhiasan-perhiasan dunia lainnya, sebab semua manusia telah tercipta dengan membawa kecenderungan terhadapnya.

Namun, yang menggelisahkan, mengkhawatirkan dan memprihatinkannya adalah soal statusnya sebagai juru dakwah, sebagai murabbi, sebagai pembimbing dan sebagai pembawa masyarakat kepada jalan yang lurus, jalan para nabi dan rasul, jalan para shiddiqin, syuhada dan shalihin, jalan yang telah digariskan Allah SWT untuk dititi dan dirambah umat manusia.

Dan pada kenyataannya, peran dan fungsi seperti inilah yang sedikit sekali peminatnya, berbeda dengan peminat harta, tahta dan jabatan, sehingga, meskipun pintu pendaftaran telah dibuka seluas-luasnya, berbagai bentuk targhib (penggemaran dan iming-iming bagi yang mau melakukan) serta tarhib (pemaparan hal-hal yang menakutkan bagi yang tidak mau melakukan) sudah dikemukakan, reward and punishment sudah dipaparkan, pada kenyataannya, yang mendaftarkan diri secara sukarela tetap saja sedikit, minim dan tidak sebanding dengan para peminat dan pendaftar peran dan fungsi lainnya.

Kenyataan seperti inilah yang membuat prihatin nabiyullah Zakariya - 'alaihis-salam -

Untuk itulah, beliau sampaikan keprihatinan ini kepada Allah SWT, Dzat yang Maha Mendengar, Dzat yang Maha Mengabulkan, Dzat yang Maha Pengasih, Penyayang dan yang Maha Kuasa, Pencipta dan Pengatur seluruh alam.

Bukan Hanya Sekali Dua Kali

Penyampaian keprihatinan seperti ini bukan hanya sekali dua kali disampaikan nabi Zakariya - 'alaihis-salam - kepada Allah SWT, tetapi, berkali-kali, sering dan terus menerus. Dan meskipun tanda-tanda terkabulkannya tidak segera kunjung tampak, namun dia terus menerus sampaikan keprihatinan itu, tidak ada kata putus asa, tidak pernah pupus dan sirna harapannya "walam akun bidu'aika Rabbi syaqiyya".

Bukan hanya tidak berputus asa, tetapi, selalu memanfaatkan waktu, tempat dan moment-moment istijabah untuk mengulangi dan mengulangi lagi penyampaian keprihatinan dan permohonannya. Oleh karena itu, pada suatu hari, saat ia memasuki mihrab Maryam, dan dia dapati di sisi Maryam ada makanan dan minuman, dan setelah dia mendapatkan kepastian bahwa makanan dan minuman itu datang dari Allah SWT, yang berarti, kemungkinan besar, saat itu dan di tempat itu baru saja turun rahmat Allah SWT, dan sangat mungkin rahmat itu belum beranjak dari situ, maka seketika itulah sekali lagi ia panjantkan keprihatinan dan permohonannya kepada Allah SWT, agar Dia memberikan keturunan kepadanya, keturunan yang shalih, keturunan yang baik, yang akan mewarisi dan menjadi pelanjut dari misi dan tugasnya. "hunalika da'a Zakariyya Rabbahu ...".

Ia tidak peduli lagi dengan keadaan dirinya yang tua renta, tidak peduli lagi dengan kondisi istrinya yang mandul, yang secara teori tidak mungkin lagi memiliki keturunan, sebab ia yakin, rahmat dan kekuasaan Allah SWT jauh di atas semua teori tadi.

Berqudwah Kepada Nabi Zakariya

Al-Qur'an menceritakan kisah nabi Zakariya - 'alaihis-salam - bukan sekedar menjadi hiburan, namun, untuk dijadikan ibrah, dan diikuti nilai-nilai ke-qudwah-annya.

Pos-pos jabatan struktural, alhamdulillah telah terisi secara cukup dan bahkan memadai.

Pos-pos jabatan publik, alhamdulillah banyak sekali yang berminat.

Namun, berapa banyak yang bermimpi dan berminat menjadi juru dakwah? Berapa besar pula minat dan animo masyarakat untuk menjadi murabbi? Siapakah dan berapakah yang menyambut seruan banyak ikhwah di daerah, di kampus, sekolah dan lainnya: "mana juru dakwah? mana murabbi? silahkan datang ke sini!".

Tidakkah situasi ini mendorong kita untuk prihatin? bersedih? dan lalu mengadukannya kepada Allah SWT?

Tidakkah kenyataan ini mendorong kita untuk bekerja bersungguh-sungguh dalam menyiapkan dan memperbanyak jumlah juru dakwah dan murabbi? sambil terus menerus dan tidak henti-hentinya berdoa dan memohon kepada Allah SWT agar memberikan ketegaran dan keteguhan (tsabat) kepada kita dalam meniti jalan dakwah serta memudahkan segala urusan dakwah dan tarbiyah ini?

"wa inni khiftul mawaliya min wara-i... fahab li min ladunka waliyyan yaritsuni...".

Barakallahu li walakum fil Qur'anil azhim wanafa'ani waiyyakum bima fihi minal ayati wadz-dzikril hakim, amiiin.

Sabtu, 22 Oktober 2011

Dakwah adalah cinta, dan cinta akan meminta semuanya dari dirimu...

Oleh: Cahyadi Takariawan

“Memang seperti itu dakwah. Dakwah adalah cinta. Dan cinta akan meminta semuanya dari dirimu. Sampai pikiranmu. Sampai perhatianmu. Berjalan, duduk, dan tidurmu. Bahkan di tengah lelapmu, isi mimpimu pun tentang dakwah. Tentang umat yang kau cintai”. (KH Rahmat Abdullah)

Sangat banyak kader dakwah yang memiliki konsistensi melakukan khidmah melayani masyarakat dalam bidang-bidang yang spesifik. Salah satunya adalah Aryo Yudhoko, seorang kader dakwah yang konsisten menggeluti dunia buruh dengan segala permasalahannya. Aryo adalah salah satu “ikon buruh”, yang sejak awal keterlibatannya dalam dunia dakwah, ia telah meletakkan diri pada bidang ini.

Belum sempat kita semua berkenalan dengan kader yang satu ini, terlanjur Allah memanggilnya menghadap ke haribaan. Hari Kamis 15 Oktober 2011 tengah malam, Allah memanggil Aryo, di saat ia sangat lelah menyiapkan acara untuk para buruh, yaitu Jambore Buruh Nasional yang direncanakan akan dilaksanakan pada 28 Oktober 2011 mendatang. Kita semua sangat kehilangan dengan kader muda yang sangat energik untuk membina para buruh ini.

Aryo Yudhoko, Sang Pejuang Perburuhan

Aryo adalah alumnus FISIP Universitas Indonesia, sempat bekerja di Bank Muamalat dan mendirikan Serikat Pekerja di lembaga tersebut. Namun karena ingin konsentrasi melakukan advokasi terhadap hak-hak buruh, ia memilih keluar dari pekerjaan formalnya tersebut, dan totalitas terjun dalam advokasi perburuhan serta pembinaan para buruh.

Konsistensi Aryo menekuni bidang perburuhan sangat pantas mendapat acungan jempol. Ia ikut terlibat dalam kegiatan Advokasi Buruh Migran UNIMIG (Union Migrant) Indonesia, ia juga sempat menjadi Sekjen Asosiasi Pekerja (Aspek), ia juga aktif dan deklarator Serikat Pekerja Keadilan (SPK) bersama Edy Zannur dan Martri Agoeng, dan sejumlah orgnaisasi perburuhan lainnya.

Selama berkiprah dalam menangani perburuhan, ia mengembangkan komunikasi dan jaringan dengan berbagai asosiasi dan serikat buruh yang ada di Indonesia. Berbagai aktivitas bersama para buruh telah dia jalani dengan sepenuh ketekunan, walaupun kegiatan di sektor ini sering kali tidak memiliki “gebyar” sebagaimana di bidang lain. Bahkan mungkin tidak banyak mendapat perhatian publik.

Aryo Yudhoko juga aktif berkeliling Indonesia untuk menumbuhkan kepedulian para kader dakwah terhadap nasib perburuhan yang kerap dilupakan. Suatu saat Aryo menghadiri acara Temu Masyarakat Perkantoran di Aula Komplek DPR RI Kalibata Jakarta Selatan. Dalam acara tersebut Aryo menghimbau agar kader dakwah yang berprofesi sebagai pekerja di perusahaan milik negara maupun di perusahaan swasta harus peduli terhadap permasalahan buruh.

Untuk dapat mengetahui berbagai permasalahan yang di hadapi para buruh, Aryo menghimbau agar kader dakwah bergabung dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh para buruh. “Menebar kebaikan di kantor tidak hanya sebatas pengajian. Semua kegiatan yang memberikan kebaikan kepada semua orang adalah dakwah” jelas Aryo. Karenanya, ia meminta kader dakwah untuk terjun dalam aktivitas serikat pekerja, koperasi dan kegiatan keumatan.

Aryo Yudhoko juga mensosialisasikan berbagai program perburuhan, diantaranya pembinaan terhadap aktivis buruh, pemberian advokasi, pendirian cabang Perhimpunan Petani dan Nelayan Sejahtera Indonesia (PPNSI), pelatihan penguatan keorganisasian dan kongres organisasi buruh tani dan nelayan.

Aryo juga pernah berkunjung ke wilayah Jawa Timur selama enam hari berturut-turut. Aryo didampingi aktivis perburuhan melakukan silaturahim ke daerah Jatim yang menjadi kantong buruh, tani dan nelayan. Di antaranya adalah daerah Malang Raya, Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto, Jombang, Ngajuk, Lamongan, dan Gresik.

“Dakwah yang akan kita kembangkan adalah penyiapan dan pembekalan struktur, pembinaan dan pendampingan kaum buruh, tani, dan nelayan. Saya berpendapat bahwa mereka adalah kalangan potensial bagi Jatim yang wilayahnya notabene banyak desa dan laut,” kata Aryo saat temu kader dakwah di Surabaya.

Menurut Aryo, yang sudah digagas sampai saat ini adalah membuat jaringan buruh, tani, dan nelayan di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Yogyakarta. “Di daerah tersebut kita sudah kerap kali melakukan pembinaan dan pendampingan terhadap kalangan buruh, tani, dan nelayan,” katanya. Untuk wilayah DKI, relatif sudah lebih maju dalam penggarapan kalangan buruh dibanding wilayah lainnya.

Khusus untuk buruh tingkat nasional, salah satu bentuk advokasi yang pernah dilakukan Aryo adalah bersama-sama anggota legislatif melakukan penolakan revisi UU nomer 13 tahun 2003 yang mencapai klimaksnya pada 1 Mei 2006.


Ia Ingin Pulang

Luar biasa, kader dakwah yang satu ini seperti tidak mengenal lelah. Hari-hari dipenuhi dengan berbagai kegiatan bersama buruh tani dan nelayan. Sampai kadang beberapa hari tidak sempat pulang, karena maraton dari satu kegiatan ke kegiatan lainnya.

Kamis kemarin, 15 Oktober 2011, sampai dengan jam 21.00 Aryo Yudhoko masih melaksanakan rapat bersama para aktivis dakwah di Tangerang. Saat itulah Aryo mendapatkan perintah agar segera merapat ke Markaz Dakwah di Pasar Minggu, karena harus segera berkoordinasi dengan Panitia Jambore Buruh Nasional.

Begitulah Aryo Yudhoko, dari rapat di Tangerang, ia segera meluncur untuk rapat lagi di MD Building wilayah Pasar Minggu. Iapun segera datang dan melakukan rapat koordinasi untuk kegiatan Jambore Buruh Nasional. Rapat di MD Building berakhir sudah lewat dari jam 23.00 wib.

Seorang ikhwah bertanya kepada Aryo, “Antum tidak pulang malam ini?” Pertanyaan ini terlontar karena sudah beberapa malam Aryo menginap di MD Building. Aktivitas mengelola Jambore Buruh Nasional telah menguras energinya, sampai kadang kamalaman dan memutuskan untuk tidur di Markaz Dakwah.

“Saya akan pulang malam ini”, jawab Aryo.

Namun Aryo menyempatkan diri untuk datang ke ahli refleksi di Pasar Minggu terlebih dahulu untuk menyegarkan badannya. Mungkin saat itu ia merasa sudah sangat tidak enak badan. Maka sebelum pulang ingin refleksi supaya pulang dalam kondisi lebih segar.

Kurang lebih pukul 24.00 wib, Allah memanggilnya. Di saat kelelahan puncaknya. Di saat ia ingin sejenak istirahat. Di saat rasa jenuh dan penat akibat maraton berkegiatan, dari rapat ke rapat, dari koordinasi ke koordinasi, dari advokasi ke advokasi. Semua untuk umat, semua untuk masyarakat, semua untuk buruh tani dan nelayan yang sangat dicintainya.

Aryo Yudhoko wafat pada kondisi tengah menunaikan amanah-amanah dakwah. Berhari-hari tidak pulang, tidak sempat bertemu denga isteri tercinta dan lima buah hatinya. Malam ini ia ingin pulang, sebagaimana disampaikan kepada seorang ikhwah usai rapat di MD Building.

“Saya akan pulang malam ini”.

Tapi badannya sungguh lelah. Tubuhnya sungguh gerah. berhari-hari terlibat aktivitas yang sangat padat. Menguras semua tenaga dan pikirannya. Dan ternyata ia benar-benar pulang malam itu. Benar-benar pulang.

Allah Yang Maha Pengasih, telah memanggilnya malam itu. Pulang ke haribaan-Nya.

Memang Begitulah Dakwah

Mendengar kisah menjelang wafatnya Aryo Yudhoko, saya segera teringat tausiyah ustadzuna Rahmat Abdullah, Allah yarham. Aryo menghadap Allah pada kondisi tubuhnya yang lelah didera amanah dakwah. Pikiran yang dipenuhi berbagai keinginan untuk berbuat terbaik bagi masyarakat perburuhan. Hati yang dipenuhi kecintaan tiada batas kepada jalan dakwah yang menghantarkannya pulang.

Cobalah sekali lagi kita baca tausiyah ustadz Rahmat Abdullah ini. Beribu kali saya membaca kalimat ini, rasanya tidak pernah bosan mengulangnya. Mengiring kepergian kader dakwah perburuhan, Aryo Yudhoko, kita menjadi lebih mengerti makna pesan beliau ini:

“Memang seperti itu dakwah. Dakwah adalah cinta. Dan cinta akan meminta semuanya dari dirimu. Sampai pikiranmu. Sampai perhatianmu. Berjalan, duduk, dan tidurmu. Bahkan di tengah lelapmu, isi mimpimu pun tentang dakwah. Tentang umat yang kau cintai”.

“Lagi-lagi memang seperti itu. Dakwah. Menyedot saripati energimu. Sampai tulang belulangmu. Sampai daging terakhir yang menempel di tubuh rentamu. Tubuh yang luluh lantak diseret-seret. Tubuh yang hancur lebur dipaksa berlari”.

“Seperti itu pula kejadiannya pada rambut Rasulullah. Beliau memang akan tua juga. Tapi kepalanya beruban karena beban berat dari ayat yang diturunkan Allah”.

“Sebagaimana tubuh mulia Umar bin Abdul Aziz. Dia memimpin hanya sebentar. Tapi kaum muslimin sudah dibuat bingung. Tidak ada lagi orang miskin yang bisa diberi sedekah. Tubuh mulia itu terkoyak-koyak. Sulit membayangkan sekeras apa sang Khalifah bekerja. Tubuh yang segar bugar itu sampai rontok. Hanya dalam dua tahun ia sakit parah kemudian meninggal. Toh memang itu yang diharapkannya; mati sebagai jiwa yang tenang”.

“Dakwah bukannya tidak melelahkan. Bukannya tidak membosankan. Dakwah bukannya tidak menyakitkan. Bahkan juga para pejuang risalah bukannya sepi dari godaan kefuturan”.

“Tidak. Justru kelelahan. Justru rasa sakit itu selalu bersama mereka sepanjang hidupnya. Setiap hari. Satu kisah heroik, akan segera mereka sambung lagi dengan amalan yang jauh lebih tragis”.

Selamat jalan, Aryo Yudhoko. Kami semua bersaksi atas kebaikan diri dan kebaikan amalmu. Bahagialah engkau di sisi TuhanMu Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

__________

Nikmati Jalan Dakwah, Sebagai Apapun atau Tidak Sebagai Apapun Kita

Oleh : Cahyadi Takariawan*

Terlalu sering saya sampaikan, agar kita tidak gagal dalam menikmati jalan dakwah. Dalam berbagai forum dan tulisan, saya selalu mengajak dan mengingatkan, agar kita selalu menjadikan jalan dakwah ini sebagai sesuatu yang kita nikmati. Segala renik yang ada di sepanjang jalannya: suka dan duka, tawa ria dan air mata, kemenangan dan kepedihan, tantangan dan kekuatan, sudahlah, semua itu adalah bagian yang harus bisa kita reguk kenikmatannya.

Di antara doa yang sering saya munajatkan adalah, “Ya Allah, wafatkan aku dalam kondisi mencintai jalan dakwah, dan jangan wafatkan aku dalam kondisi membenci jalan ini.” Tentu saja bersama doa-doa permohonan lainnya. Saya tidak ingin menjadi seseorang yang mengurai kembali ikatan yang telah direkatkan, mengungkit segala yang telah diberikan, dengan perasaan menyesal dan meratapi segala yang pernah terjadi di jalan ini.

Saya merasa bukan siapa-siapa, dan hanya seseorang yang mendapatkan banyak kemuliaan di jalan ini. Mendapatkan banyak saudara, mendapatkan banyak ilmu, memiliki banyak pengalaman, mengkristalkan banyak hikmah, menguatkan berbagai potensi diri, menajamkan mata hati dan mata jiwa. Luar biasa, sebuah jalan yang membawa berkah melimpah. Maka, merugilah mereka yang telah berada di jalan ini tetapi tidak mampu menikmati.

Maka mari kita nikmati jalan dakwah ini, “sebagai apapun” atau “tidak sebagai apapun” kita. Posisi-posisi dalam dakwah ini datang dan pergi. Bisa datang, bisa pergi, bisa kembali lagi, bisa pula tidak pernah kembali. Bisa “iya” bisa “tidak”. Iya menjadi pengurus, pejabat, pemimpin dan semacam itu; atau tidak menjadi pengurus, tidak menjadi pejabat, tidak menjadi pemimpin, tidak menjadi apapun yang bisa disebut.

Kamu siapa ?

“Saya pengurus partai dakwah”. Ini bisa disebut.

“Saya pejabat publik yang diusung oleh partai dakwah”. Ini juga bisa disebut.

“Saya pemimpin organisasi dakwah”. Ini sangat mudah disebut.

“Saya kepala daerah yang dicalonkan dari partai dakwah”. Ini cepat disebut.

Tapi, kamu siapa ?

“Saya orang yang selalu berdakwah. Pagi, siang, sore dan malam. Kelelahan adalah kenikmatan. Perjuangan adalah kemuliaan. Saya bahkan tidak tahu, apa nama diri saya. Karena saya lebih suka memberikan hal terbaik bagi dakwah, daripada mencari definisi saya sebagai apa di jalan ini”.

Ya. Nikmati saja jalan ini. Sebagai apapun, atau tidak sebagai apapun diri kita di jalan dakwah. Jangan gagal menikmati.


12 Oktober 2011

Selesai Rapat di Markaz Dakwah, Simatupang.

Kamis, 20 Oktober 2011

Tugas dan Hak Murabbi

     


Aktivitas dalam halaqah adalah sebuah kegiatan yang dinamis. Forum ini adalah miniatur dari sebuah sistem kepemerintahan. Seorang murabbi adalah orang yang bertanggung jawab memimpin jalannya pertemuan pekanan. Syura-syura dalam musyawarah halaqah baru sah diputuskan oleh murabbi. Dia adalah orang yang menghidupkan suasana ruhiyyah-ta’abbudiyyah, fikriyyah-tsaqafiyyah, dan harakiyyah-da’awiyyah dalam halaqah.

Agar halaqah dinamis murabbi bertanggung jawab kinerja halaqah yang solid, sehat, dinamis, produktif dan penuh ukhuwwah. Karena itu seorang murabbi harus memahami dan menguasai kondisi peserta halaqah serta meningkatkan potensi mereka. Selain itu juga berhak untuk mengevaluasi dengan cara menasihati dan mengupayakan pemecahan masalah peserta halaqah. Sambil mempertimbangkan berbagai usulan dan kritik peserta halaqah.

Seorang murabbi bukan bekerja sendiri dia adalah perpanjangan tangan jamaah. Kehadirannya dalam rangka meneruskan dan mensosialisasi informasi dan kebijakan jamaah. Sekuat tenaga dia harus mengupayakan terealisasinya berbagai program halaqah dan program jamaah dalam lingkup halaqah. Tugas penting lainnya adalah mengawasi dan mengkordinasikan penghimpunan dan penyaluran infaq.

Ketaatan merupakan pondasi hukum Islam dan kaidah sistem politik. Seseorang tidak mungkin dapat membayangkan adanya sistem yang benar dan negara yang kuat tanpa adanya keadilan dari penguasa dan ketaatan dari rakyatnya. Oleh karena itu sangat tepat apa yang dikatakan khalifah kedua umat Islam Umar bin Khattab, ” Tidak ada Islam tanpa jamaah, tidak ada jamaah tanpa pemimpin dan tidak ada pemimpin tanpa ketaatan.” Islam bukanlah agama individu, tetapi agama masyarakat yang tidak mungkin terealisasi kecuali melalaui jamaah. Dan jamaah tidak akan berarti sama sekali jika anggotanya tidak diikat oleh suatu sistem dan dihimpun oleh pemimpin yang mengatur urusan mereka.

Sesungguhnya sikap mendengar dan taat merupakan dua pilar dari sistem hidup bermasyarakat. Dan keduanya merupakan tulang punggung dari manusia yang hidup dalam suatu bangsa dimana tidak mungkin bangsa tersebut menolak dan mengusir musuh, tentaranya akan menang jika tidak memiliki sikap mendengar dan taat yang merupakan satu kesatuan yang tidak dapat berpisah dari bangunan umat ini. Sehingga sikap mendengar dan taat adalah suatu yang mutlak harus dilakukan bagi bangsa yang ingin besar.

Maka seorang murabbi berhak untuk didengar dan ditaati. Dia adalah tempat mutarabbi (binaan) meminta pendapat atau istisyarah. Karena itu dia (murabbi) harus dihargai dan dihormati. Selain itu dia berhak mengajukan permintaan bantuan untuk melaksanakan tugas. Dialah yang mengeksekusi setiap kebijakan halaqah. Untuk membantu perannya dia juga berhak membentuk kepengurusan halaqah.

Ketika Islam mewajibkan umat Islam untuk mentaati para pemimpin, Islam juga memberi batasan tentang ketaatan tersebut dan tidak membiarkanya berlaku mutlak tanpa ada batasan. Karena ketaatan mutlak akan melahirkan tirani dan kediktatoran sehingga akan menghapus nilai-nilai Islan dalam hidup bermasyarakat. Oleh karenanya ketaatan terhadap pemimpin dibatasai oleh ruang lingkup tertentu dan syarat-syarat tertentu yang harus ditunaikan.

Pemimpin tersebut tidak menyuruh manusia berbuat maksiat. Maka jika pemimpin menyuruh rakyatnya berbuat maksiat seperti minum khamr, riba, buka aurat dan lainnya, maka tidak ada kewajiban taat. Rasulullah saw bersabda: Tidak ada ketaatan dalam bermaksiat kepada Khalik (Allah)” (HR Ahmad dan al-Hakim)

Ketaatan adalah unsur yang sangat prinsip yang sangat dibutuhkan dalam gerakan da’wah. Setiap gerakan da’wah tidak mungkin sampai pada tujuan kecuali jika unsur ketaatan sudah sampai pada derajat yang sempurna. Dan ketaatan dalam Islam berlandaskan pada prinsip akidah dan syariah.

Untuk mencapai derajat ini maka seorang murabbi harus Merasakan muraqabatullah. Tentu saja ikhlas dan komitmen dengan ibadah-ibadah sya’airiyyah (ibadah-ibadah ritual). Bersemangat untuk selalu meningkatkan kualitas dan kuantitas ilmunya. Tidak sungkan belajar dari siapa saja, termasuk dari yang lebih rendah derajatnya. Senatiasa berlatih untuk memberi yang terbaik.

Keunggulan murabbi (untuk sementara) adalah karena dia lebih dulu masuk jamaah dibanding binaannya. Dia diangkat menjadi murabbi karena lebih mengetahui gerak alur jamaah dibanding binaannya. Boleh jadi suatu saat nanti bisa saja keadaan menjadi terbalik. Itu tergantung dari kecepatan gerak masing-masing individu dan kebutuhan dakwah. (Eman Mulyatman).

Majalah SABILI No 26 TH XVIII, 29 September 2011.
Sumber : http://www.sabili.co.id/takwin/tugas-dan-hak-murabbi