Jumat, 14 Juni 2013

Para Pencipta Kemakmuran


Lelaki kaya raya itu menangis tersedu-sedu, selama berhari-hari, menjelang kematiannya. Bukan karena ia takut mati. Atau sedih karena harus meninggalkan kekayaanya yang melimpah ruah. Ia justru sedih karena tak mengerti bagaimana menafsirkan kekayaan dan kemakmurannya

Begini ia bertanya pada dirinya sendiri: ”Ada sahabat Rasulullah SAW yang jauh lebih baik dariku, yaitu Mus’ab bin Umair, yang ketika wafat tidak meninggalkan harta sedikitpun juga. Ia bahkan tidak punya cukup kain kafan untuk menutupi jasadnya, hingga jika kepalanya ditutup maka kakinya terbuka, jika kakinya ditutup maka kepalanya terbuka. Lalu apa artinya bahwa mendapatkan kekayaan yang melimpah ruah ini sementara mereka tidak?? Tidakkah kekayaan ini malah akan mengantarkan aku ke neraka??”
Lelaki kaya itu, Abdurrahman bin Auf, mengulang-ulang pertanyaan itu, sembari menangis, sampai ia menghembuskan nafasnya yang terakhir
Kebanyakan kita belajar makna zuhud dari cerita itu.

Tapi begitu kita menarik konteks di mana Abdurrahman bin Auf hidup dan bekerja, segera saja kita temukan nama beliau di deretan para sahabat Nabi yang ikut berjihad di semua medan tempur sepanjang hidupnya, ahli ibadah yang tidak kenal lelah, penderma yang tidak pernah berhenti berderma, yang pertama kali mengundurkan diri dari pencalonannya sebagai khalifah setelah Umar bin Khattab terbunuh. Semua makna zuhud ada di situ, persis di jantung kepribadiannya. Ia seharusnya tidak perlu menangis seperti itu jika semua makna zuhud itu kita nisbatkan kepada dirinya

Tapi begitulah mereka. Mereka mewariskan pelajaran lain yang belum kita pahami. Abdurrahman bin Auf, satu diantara sekian nama besar pengusaha dari kalangan sahabat Rasulullah SAW, yang bekerja keras menciptakan kemakmuran dan kekayaan di tengah masyarakat Muslim yang baru berkembang menjadi pemimpin peradaban baru. Pembebasan-pembebasan yang terjadi sejak masa Abu Bakar hingga tujuh tahun pertama masa pemerintahan Usman bin Affan telah memberikan kemelimpahan bagi kaum Muslimin. Mereka mendapatkan wilayah-wilayah baru dengan segala isinya, yang salah satu artinya adalah pertambahan dan penggandaan pada pendapatan pemerintah, baik pada sumber yang sebelumnya sudah ada seperti zakat dan ghanimah, atau dari sumber yang baru seperti jizyah, kharaj dan usyur

Itu menjelaskan tafsir utama atas kemakmuran di era itu: bahwa pada mulanya kemakmuran itu diciptakan oleh pembebasan-pembebasan besar. Kelak sejarah mencatat kebenaran fakta ini: bahwa bangsa-bangsa yang makmur selalu mencatat sejarah kemakmurannya dari kemenangan-kemenangan besar dalam perang-perang besar. Kemakmuran Eropa dan Amerika, misalnya, adalah hasil kemenangan dalam perang dunia pertama dan kedua serta perang dingin.

Tapi itu bukan tafsir tunggal atas kemakmuran. Pembebasan-pembebasan besar memberikan kemelimpahan pada sumber daya untuk menciptakan kemakmuran. Tapi hanya bangsa yang memiliki pengusaha-pengusaha besar yang bisa memanfaatkan dan mengkapitalisasi sumber daya baru itu menjadi kekayaan yang melimpah. Begitulah kemakmuran terjadi di era itu: pembebasan-pembebasan besar memberi tambahan sumber daya, tapi di tangan dingin para pengusaha tangguh, seperti Abdurrahman bin Auf dan Usman bin Affan, sumber daya itu menjadi kekayaan yang melimpah. Lihatlah misalnya, bagaimana Usman bin Affan menghilangkan dominasi pengusaha Yahudi di Madinah. Mereka tidaklah lebih besar dari para pengusaha lain. Tapi mereka adalah pengusaha pembelajar. Dan diantara yang mereka pelajari adalah bagaimana mengimbangi ketangguhan para mujahidin yang terus-menerus membebaskan wilayah-wilayah baru sembari mengimbangi pengusaha-pengusaha setempat yang sebelumnya mendominasi wilayah itu. Amerika mungkin punya jenderal Mc Arthur yang menaklukkan kawasan pasifik dalam perang dunia kedua, tapi juga punya Bill Gate yang mengisi komputer-komputer kita dengan softwarenya atau Warren Buffet yang mengisi lantai bursa kita dengan investasi-investasinya. Begitu juga era itu: ada pembebas sekaliber Khalid bin Walid, tapi juga ada pengusaha tangguh seperti Abdurrahman bin Auf dan Usman bin Affan

Jadi tangis Abdurrahman bin Auf itu adalah pertanyaan yang rendah hati: bisakah perannya sebagai pengusaha mengimbangi peran para mujahidin di mata Allah??

[Anis Matta, sumber : Serial Pembelajaran, Majalah Tarbawi edisi 212 hal.78-79]

Jumat, 07 Juni 2013

PESONA





Banyak karunia dari Sang Pencipta yang melekat pada kita. Kadang ia berupa sesuatu yang kita sukai atau tak pantas  rasanya menyandang hal itu. Setiap pesona yang di titipkan kadang dapat kita tempatkan pada posisinya namun tak sedikit yang diselewengkan hanya untuk kepuasan personal dan jauh dari tuntunan. Potensi dan Pesona yang teranugerah sebaiknya membuat kita lebih bernilai  Indah dihadapan-Nya dan membawa rasa suka jika sesama menatapnya dalam kacamata taqwa. (IWAN Wahyudi)

MENENUN AMAL





Pernahkah kita melihat kain yang kita pakai dengan nyaman dan elok  dengan aneka rupa warna dan corak? Ditenun dari ratusan bahkan ribuan helai benang dalam waktu tak sejenak. Begitulah keindahan amal jangan hanya kita melihat outpunya saja namun kita juga harus tekun tahap demi tahap sekecil apapun menitinya dengan banyak godaan silih berganti  dan jatuh bangun untuk istiqomah didalam beramal dan berkarya untuk  sesama. Setiap lelah dan peluh dalam jalan amal tentu akan bernilai kebaikan  dan pahala entah seperti apa hasil akhir yang akan ditakdirkan oleh-Nya. Mari menenun amal dengan anekan corak dan warna yang indah. (IWAN Wahyudi)

PERJALANAN




Hidup adalah sebuah perjalanan. Kandang kita melalui jalan yang mulus, adakalanya berkelok dengan tikungan turunan dan tanjankan tajam, bisa jadi melalui lubang-lubang yang sangat menggganggu kenyamanan perjalanan. Jalan yang mulus tidak juga menjamin keselamatan penggunanya dan tak sedikit jalan berlubang dengan kelokan-kelokan yang mengagetkan membuat mahir dan dewasa penggunanya. Ya dalam setiap perjalanan kehidupan  apapun kondisinya kita harus mematuhi dan konsisten mengikuti rambu-rambu Sang Pencipta untuk keselamatan diri kita. (IWAN Wahyudi)



KEMATIAN




Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan kematian. Ia adalah akhir perjalan kehidupan didunia seorang anak manusia menuju perjalanan selanjutnya. Ketika ia telah tiba waktunya tak seorangpun dan kekuatan apapun yang bisa memajukan atau mengundurnya walau sedetikpun. Ia adalah nasehat bagi kita agar selalu berada dalam kebaikan agar ketika nafas terakhir yang kita hirup adalah udara saat meneguk indahnya beramal sholeh. (IWAN Wahyudi)