Lelaki
kaya raya itu menangis tersedu-sedu, selama berhari-hari, menjelang
kematiannya. Bukan karena ia takut mati. Atau sedih karena harus
meninggalkan kekayaanya yang melimpah ruah. Ia justru sedih karena tak
mengerti bagaimana menafsirkan kekayaan dan kemakmurannya
Begini ia bertanya pada dirinya sendiri: ”Ada sahabat Rasulullah SAW
yang jauh lebih baik dariku, yaitu Mus’ab bin Umair, yang ketika wafat
tidak meninggalkan harta sedikitpun juga. Ia bahkan tidak punya cukup
kain kafan untuk menutupi jasadnya, hingga jika kepalanya ditutup maka
kakinya terbuka, jika kakinya ditutup maka kepalanya terbuka. Lalu apa
artinya bahwa mendapatkan kekayaan yang melimpah ruah ini sementara
mereka tidak?? Tidakkah kekayaan ini malah akan mengantarkan aku ke
neraka??”
Lelaki kaya itu, Abdurrahman bin Auf, mengulang-ulang pertanyaan
itu, sembari menangis, sampai ia menghembuskan nafasnya yang terakhir
Kebanyakan kita belajar makna zuhud dari cerita itu.
Tapi begitu
kita menarik konteks di mana Abdurrahman bin Auf hidup dan bekerja,
segera saja kita temukan nama beliau di deretan para sahabat Nabi yang
ikut berjihad di semua medan tempur sepanjang hidupnya, ahli ibadah
yang tidak kenal lelah, penderma yang tidak pernah berhenti berderma,
yang pertama kali mengundurkan diri dari pencalonannya sebagai khalifah
setelah Umar bin Khattab terbunuh. Semua makna zuhud ada di situ,
persis di jantung kepribadiannya. Ia seharusnya tidak perlu menangis
seperti itu jika semua makna zuhud itu kita nisbatkan kepada dirinya
Tapi begitulah mereka. Mereka mewariskan pelajaran lain yang belum
kita pahami. Abdurrahman bin Auf, satu diantara sekian nama besar
pengusaha dari kalangan sahabat Rasulullah SAW, yang bekerja keras
menciptakan kemakmuran dan kekayaan di tengah masyarakat Muslim yang
baru berkembang menjadi pemimpin peradaban baru. Pembebasan-pembebasan
yang terjadi sejak masa Abu Bakar hingga tujuh tahun pertama masa
pemerintahan Usman bin Affan telah memberikan kemelimpahan bagi kaum
Muslimin. Mereka mendapatkan wilayah-wilayah baru dengan segala isinya,
yang salah satu artinya adalah pertambahan dan penggandaan pada
pendapatan pemerintah, baik pada sumber yang sebelumnya sudah ada
seperti zakat dan ghanimah, atau dari sumber yang baru seperti jizyah,
kharaj dan usyur
Itu menjelaskan tafsir utama atas kemakmuran di era itu: bahwa pada
mulanya kemakmuran itu diciptakan oleh pembebasan-pembebasan besar.
Kelak sejarah mencatat kebenaran fakta ini: bahwa bangsa-bangsa yang
makmur selalu mencatat sejarah kemakmurannya dari kemenangan-kemenangan
besar dalam perang-perang besar. Kemakmuran Eropa dan Amerika,
misalnya, adalah hasil kemenangan dalam perang dunia pertama dan kedua
serta perang dingin.
Tapi itu bukan tafsir tunggal atas kemakmuran. Pembebasan-pembebasan
besar memberikan kemelimpahan pada sumber daya untuk menciptakan
kemakmuran. Tapi hanya bangsa yang memiliki pengusaha-pengusaha besar
yang bisa memanfaatkan dan mengkapitalisasi sumber daya baru itu
menjadi kekayaan yang melimpah. Begitulah kemakmuran terjadi di era
itu: pembebasan-pembebasan besar memberi tambahan sumber daya, tapi di
tangan dingin para pengusaha tangguh, seperti Abdurrahman bin Auf dan
Usman bin Affan, sumber daya itu menjadi kekayaan yang melimpah.
Lihatlah misalnya, bagaimana Usman bin Affan menghilangkan dominasi
pengusaha Yahudi di Madinah. Mereka tidaklah lebih besar dari para
pengusaha lain. Tapi mereka adalah pengusaha pembelajar. Dan diantara
yang mereka pelajari adalah bagaimana mengimbangi ketangguhan para
mujahidin yang terus-menerus membebaskan wilayah-wilayah baru sembari
mengimbangi pengusaha-pengusaha setempat yang sebelumnya mendominasi
wilayah itu. Amerika mungkin punya jenderal Mc Arthur yang menaklukkan
kawasan pasifik dalam perang dunia kedua, tapi juga punya Bill Gate
yang mengisi komputer-komputer kita dengan softwarenya atau Warren
Buffet yang mengisi lantai bursa kita dengan investasi-investasinya.
Begitu juga era itu: ada pembebas sekaliber Khalid bin Walid, tapi juga
ada pengusaha tangguh seperti Abdurrahman bin Auf dan Usman bin Affan
Jadi tangis Abdurrahman bin Auf itu adalah pertanyaan yang rendah
hati: bisakah perannya sebagai pengusaha mengimbangi peran para
mujahidin di mata Allah??
[Anis Matta, sumber : Serial Pembelajaran,
Majalah Tarbawi edisi 212 hal.78-79]
Jumat, 14 Juni 2013
Jumat, 07 Juni 2013
PESONA
Banyak karunia dari Sang Pencipta yang melekat pada kita. Kadang ia
berupa sesuatu yang kita sukai atau tak pantas
rasanya menyandang hal itu. Setiap pesona yang di titipkan kadang dapat
kita tempatkan pada posisinya namun tak sedikit yang diselewengkan hanya untuk
kepuasan personal dan jauh dari tuntunan. Potensi dan Pesona yang teranugerah
sebaiknya membuat kita lebih bernilai
Indah dihadapan-Nya dan membawa rasa suka jika sesama menatapnya dalam
kacamata taqwa. (IWAN Wahyudi)
MENENUN AMAL
Pernahkah kita melihat kain yang kita pakai dengan nyaman dan elok dengan aneka rupa warna dan corak? Ditenun dari ratusan bahkan ribuan helai benang dalam waktu tak sejenak. Begitulah keindahan amal jangan hanya kita melihat outpunya saja namun kita juga harus tekun tahap demi tahap sekecil apapun menitinya dengan banyak godaan silih berganti dan jatuh bangun untuk istiqomah didalam beramal dan berkarya untuk sesama. Setiap lelah dan peluh dalam jalan amal tentu akan bernilai kebaikan dan pahala entah seperti apa hasil akhir yang akan ditakdirkan oleh-Nya. Mari menenun amal dengan anekan corak dan warna yang indah. (IWAN Wahyudi)
PERJALANAN
Hidup
adalah sebuah perjalanan. Kandang kita melalui jalan yang mulus, adakalanya
berkelok dengan tikungan turunan dan tanjankan tajam, bisa jadi melalui
lubang-lubang yang sangat menggganggu kenyamanan perjalanan. Jalan yang mulus
tidak juga menjamin keselamatan penggunanya dan tak sedikit jalan berlubang
dengan kelokan-kelokan yang mengagetkan membuat mahir dan dewasa penggunanya.
Ya dalam setiap perjalanan kehidupan
apapun kondisinya kita harus mematuhi dan konsisten mengikuti
rambu-rambu Sang Pencipta untuk keselamatan diri kita. (IWAN Wahyudi)
KEMATIAN
Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan
kematian. Ia adalah akhir perjalan kehidupan didunia seorang anak manusia
menuju perjalanan selanjutnya. Ketika ia telah tiba waktunya tak seorangpun dan
kekuatan apapun yang bisa memajukan atau mengundurnya walau sedetikpun. Ia
adalah nasehat bagi kita agar selalu berada dalam kebaikan agar ketika nafas
terakhir yang kita hirup adalah udara saat meneguk indahnya beramal sholeh.
(IWAN Wahyudi)
Langganan:
Postingan (Atom)