Oleh Cahyadi Takariawan
Kepemipinan Tingkat 5 adalah istilah lama yang dikemukakan dalam buku Good to Great
karya Jim Collins. Buku ini terbit tahun 2001, merupakan hasil
penelitian terhadap 1.400 perusahaan yang setelah diseleksi hanya
terpilih 28 untuk dilakukan penelitian.
Kepemimpinan tingkat 5 merupakan salah satu kunci lompatan perusahaan dari Good menjadi Great.
Kepemimpinan tingkat 5 dapat dimaknai sebagai suatu tingkatan dalam
memimpin yang tidak memerlukan jabatan serta tanpa harus berbuat banyak
untuk mempengaruhi orang lain. Para pemimpin di tingkat ini mampu
mewujudkan racikan paradoks antara kerendahan hati pribadi dan ambisi
profesional. Mereka ambisius, namun ambisi itu ditujukan untuk kemajuan
perusahaan, bukan untuk diri sendiri.
Pemimpin Tingkat 5 menjauhkan diri mereka dari kepentingan pribadi
dan mengalokasikan energi dan ambisinya untuk membangun perusahaan.
Bukan berarti Pemimpin Tingkat 5 tidak memiliki ambisi, justru terlihat
bahwa Pemimpin Tingkat 5 memiliki ambisi dan kemauan yang besar, untuk
memajukan dan mengembangkan organisasi. Dalam diri Pemimpin Tingkat 5,
terdapat kombinasi yang unik antara ambisi dengan kerendahan hati.
Kepemimpinan Tingkat 5 dalam Perspektif Dakwah
Organisasi dakwah memerlukan pola Kepemimpinan Tingkat 5, dimana
dalam diri sang pemimpin berpadu antara kerendahan hati dengan ambisi
profesional. Kerendahan hati merupakan syarat agar organisasi dakwah
bisa semakin diterima di masyarakat luas. Arogansi, kesombongan, sikap
yang congkak merupakan penghalang sampainya dakwah ke masyarakat, dan
berpotensi menjadi sikap antipati masyarakat terhadap pribadi dan
organisasi.
Masyarakat Indonesia secara umum sangat menghargai kesantunan sikap.
Masyarakat akan sangat senang jika diposisikan secara tepat dan
proporsional, tidak dilecehkan, direndahkan, dihina atau diejek. Upaya
memuliakan orang lain ini, memerlukan sikap kerendahan hati. Ini bukan
sikap minder atau rendah diri yang negatif, namun merupakan sikap yang
mulia dan elegan yang justru mengangkat pelakunya pada posisi yang
terhormat.
Pemimpin tidak akan terhina karena menampilkan sikap kerendahan hati,
kesederhanaan dan kesantunan. Pemimpin tidak akan hilang wibawanya
karena ia bersikap rendah hati, berbaur dengan masyarakat dan pihak yang
dipimpin. Justru pemimpin akan dijauhi oleh anggota dan juga dibenci
masyarakat luas, apabila menampakkan sikap-sikap arogan, anti kritik,
tertutup, tidak bisa menerima masukan dan selalu menempatkan diri pada
posisi menara gading yang tidak tersentuh oleh anggota organisasi.
Pada saat yang bersamaan, Pemimpin Tingkat 5 memiliki ambisi
profesional. Mereka memiliki semangat yang kuat, ambisi yang hebat untuk
memajukan organisasi dakwah. Berbagai cara dan upaya mereka tempuh agar
bisa membawa organisasi dakwah dari baik (good) menjadi hebat (great). Berbagai manajemen diterapkan untuk mengembangkan organisasi dakwah mencapai visi dan tujuan-tujuannya.
Ambisi ini barangkali dalam bahasa dakwahnya disebut sebagai tumuhat.
Bukan ambisi yang bersifat negatif, namun tumuhat dalam arti keinginan
untuk maju yang kuat demi kemaslahatan dakwah dan umat. Ambisi yang
negatif adalah apabila bersifat pribadi dan seluruh keinginan tersebut
sekedar untuk kepentingan dirinya sendiri. Dalam perspektif dakwah, ciri
ambisi ini bersifat pribadi atau ambisi untuk kebaikan organisasi,
dapat dilihat dari ketaatan terhadap mekanisme organisasi.
Ambisi bersifat pribadi apabila tidak mengindahkan aturan dan
mekanisme organisasi, Semua keinginan semata-mata merupakan refleksi
dari visi dan keinginan pribadi, bukan bagian dari upaya untuk memajukan
dan mengkonsolidasikan potensi organisasi dakwah.
Menyiapkan Diri Menuju Pemimpin Dakwah Tingkat 5
Apakah semua orang bisa menjadi Pemimpin Tingkat 5 ? Jawabannya
pasti: Bisa ! Dalam konteks dakwah, semua kader adalah pemimpin pada
level masing-masing. Pemimpin bagi diri, keluarga dan masyarakat.
Sebagian menempati amanah sebagai pemimpin di struktur organisasi
tingkat desa, kecamatan, kebupaten, provinsi dan pusat.
Banyak kalangan meyakini bahwa kemampuan memimpin adalah sesuatu yang
sifatnya “bawaan lahir”, namun sesungguhnya memimpin adalah sesuatu
yang bisa dipelajari. Kuncinya ada pada sikap keterbukaan terhadap
masukan dan kemauan untuk berubah. Tanpa dua hal tersebut, orang
cenderung tidak akan pernah membangun sesuatu yang lebih besar dan lebih
abadi. Orang-orang ini bekerja berdasarkan apa yang akan mereka
dapatkan seperti popularitas, keuntungan, pujian, kekuasaan, dan lain
sebagainya, bukan berdasarkan apa yang ingin mereka bangun, ciptakan,
dan kontribusikan untuk kebaikan organisasi.
Orang-orang yang terbuka terhadap masukan dan memiliki kemauan untuk
berubah, memiliki peluang untuk terus mengembangkan diri dan menjadi
Pemimpin Tingkat 5. Evaluasi diri pribadi, kesadaran akan pengembangan
diri, bimbingan para mentor, guru, orang-orang terdekat, juga pengalaman
hidup yang hebat, akan dapat mengakselerasi kita menjadi Pemimpin
Tingkat 5.
Pada era dakwah di era mu’assasi ini Kepemimpinan Tingkat 5 sangat
dirasakan kebutuhannya. Kita memerlukan sebanyak mungkin pemimpin yang
rendah hati namun memiliki ambisi yang sangat kuat untuk memajukan
organisasi dakwah. Semoga kita semua bisa mencapainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar