Senin, 19 November 2012

Memeluk Palestina dari Bumi Gora


Kita mungkin tak tau sebesar apa gelora cinta anak ini terhadap bocah seusianya digaza yg tak bisa bersekolah

Kita tak menyangka cinta akan kemanusiaan itu lahir dan mengalir dalam dirinya sejak dini.

Kita tak menduga ditengah terik mentari ia mencoba mengetuk nurani Bumi Gora dan Dunia.

Kita tentu kaget ia menggenggam erat bendera palestina simbol abadi perlawanan atas kejahatan kemanusiaan dewasa ini.

Kita mungkin heran kenapa airmata mereka tak menetes melihat nyawa dan tubuh anak seusia mereka dipalestina tercabik? ya karena sekarang bukan saatnya menangis cengeng om, saatnya berbuat untuk GAZA PALESTINA.

#perempatanBImataram19112012

Rabu, 14 November 2012

Sebelum Pemuda (Kembali) Memimpin


Prasyarat kepemimpinan dalam Islam, tidak pernah disangkutkan dengan usia. Bahkan dalam Sholat sekalipun, urutan prioritas menjadi imam bukanlah ditangan mereka yang paling tua, akan tetapi yang paling faham dan hafal dengan kitabullah. Kalaupun ada syarat yang lain, adalah yang lebih dahulu hijrah atau masuk Islam. Lagi-lagi hal ini juga tidak selalu identik dengan prasyarat usia. Bukti yang lebih jelas lagi adalah diangkatnya Usamah bin Zaid ra oleh Rasulullah SAW untuk memimpin pasukan besar menuju Balqo’ arah Palestina pada tahun 11 Hijriyah. Sebagai catatan tambahan, usia Usamah pada waktu itu baru 18 tahun, sementara didalam pasukannya ada nama-nama besar, para sahabat veteran berbagai kancah jihad seperti Abu Bakar ra dan Umar.

Setelah ini semua, berarti tidak ada halangan syar’I yang tegas dari sisi usia untuk menjadi pemimpin. Akan tetapi permasalahan tidak sesederhana tersebut. Ada pertanyaan lain yang harus di jawab ; pemuda seperti apa yang ‘layak’ menjadi pemimpin. Ada sebuah ayat yang patut direnungkan mengenai kepemimpinan pemuda, baik kelebihan ataupun kekurangannya. Sebelum Anda wahai pemuda, berniat memimpin, mari kita kaji ulang tentang kelayakan Anda untuk memimpin
Allah SWT berfirman : “ Dan Nabi mereka berkata kepada mereka “ Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu”. Mereka menjawab, “ Bagaimana Thalut memperoleh kerajaan atas kami, sedangkan kami lebih berhak atas kerajaan itu daripadanya, dan dia tidak diberi kekayaan yang banyak ? “. (Nabi) menjawab : “ Allah telah memilihnya (menjadi raja) kamu dan memberikan kelebihan ilmu dan fisik.Allah memberikan kerajaan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki dan Allah maha luas Maha Mengetahui “ ( QS al-Baqoroh 247 )

Dari ayat di atas, setidaknya diisyaratkan ada tiga kriteria inti dan satu kriteria tambahan untuk menjadi seorang pemimpin. Siapapun dia, pemuda atau orang tua. Nah, dari empat hal tadi, menurut penulis, para pemuda baru lulus satu kriteria dari empat yang ada. Itu artinya, silahkan mengejar tiga kriteria yang lainnya dan barulah Anda bisa dipertimbangkan untuk memimpin. Apa saja empat kriteria tersebut, berikut uraian singkatnya :

Pertama : Al-Isthifa’ ( Pilihan dari Allah )
Dalam ayat jelas disebutkan : :” Allah telah memilihnya “. Artinya ada rekomendasi langsung dari Allah SWT. Ini memang sebuah hal yang mutlak menjadi preogatif Allah SWT untuk memilih diantara makhluknya yang dianggap pantas untuk memimpin. Sekilas ini sama sekali tidakbisa diperjuangkan, akan tetapi ternyata kata ‘pilihan Allah’ itu nyaris identik dengan dicintai oleh Allah SWT. Ini pulalah yang terjadi ketika Usamah ditunjuk menjadi panglima pasukan, dan banyak sahabat yang meragukannya. Maka Rasulullah SAW pun menegaskan bahwa Usamah adalah pilihan karena ia dicintai oleh Allah dan Rasulnya. Rasulullah saw bersabda kepada mereka yang meragukan kepemimpinan Usamah : “ kalian menghina kepemimpinan Usamah, sebagaimana kalian dulu juga menghina kepemimpinan bapaknya ( Zaid bin Haritsah) , Demi Allah sesungguhnya ia berhak atas kepemimpinan itu, dan dia termasuk seorang yang paling aku cintai, dan ini (Usamah) adalah orang yang paling aku cintai setelahnya “ ( HR Bukhori ).

Penegasan Rasulullah SAW tentang status Usamah sebagai pilihan dan yang berhak memimpin karena dicintai Rasulullah SAW (dan dicintai Allah juga) membuat para sahabat hanya bisa diam seribu bahasa.Sami’na wa atho’na. Ada juga hadits lain yang menegaskan ulang bahwa kriteria pemimpin pilihan adalah yang dicintai Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda : “Barang siapa yang mengangkat pemimpin suatu jamaah padahal di antara mereka ada orang lain yang lebih disenangi oleh Allah, berarti ia telah berkhianat kepada Allah, Rasul dan orang-orang yang beriman.” (Riwayat Hakim dari Ibnu Abbas, dan Suyuti memberikan kode shahih terhadap hadits ini.)

Nah, menjadi semakin jelas bahwa sebelum menjadi pemimpin, haruslah dicintai Allah SWT terlebih dahulu. Pertanyaan yang harus dijawab selanjutnya adalah : Bagaimana cara paling tepat untuk dicintai oleh Allah SWT ? Jawaban sederhananya dapat kita lihat dalam ayat berikut. Allah SWT berfirman : “ Katakanlah (Muhammad) Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” ( QS Ali Imron 31)

Sehingga, syarat dicintai Allah –sebagaimana termaktub dalam ayat – adalah ittiba’ rasulullah saw. Inilah pekerjaan rumah yang panjang bagi para pemuda sebelum kembali memimpin. Arti sederhananya, bagaimana seorang pemuda harus mempunyai kualitas ibadah, aqidah dan akhlak yang kokoh terlebih dahulu, baru kemudian ia bisa dipertimbangkan untuk menjadi pemimpin.

Kedua : Ilmu dan Pemahaman
Kriteria yang ini mutlak tidak bisa tidak harus ada pada diri seorang pemimpin. Untuk urusan imam sholat sekalipun, yang diminta adalah yang paling banyak ilmunya tentang kitabullah. Lantas, bagaimana dengan ilmu dan pemahaman seorang pemuda. Tanpa bermaksud menggeneralisir, sebuah hal yang wajar bagi semua orang bahwa menuntut ilmu dan menambah pemahaman adalah aktifitas yang membutuhkan waktu, proses, dan tahapan-tahapan. Imam Syafi’I pun berseru lantang : ilmu tidak akan didapat kecuali seseorang menempuh masa tholabul ilmi yang panjang. Tinta sejarah Islam menyebutkan bahwa para ilmuwan muslim rata-rata berguru kepada syeikhnya dalam kurun waktu puluhan tahun. Bahkan contoh di jaman milenium ini, seorang mahasiswa doktoral pun diminta menyelesaikan disertasinya minimal selama 2,5 tahun. Itu artinya, sekalipun ia telah merampungkan disertasinya di tahun pertama, karyanya tersebut belum bisa disidangkan.

Pemuda dengan ‘jam terbang’ keilmuan yang terbatas akan sangat riskan jika harus maju menjadi pemimpin. Akibatnya bisa berarti kerusakan dan kehancuran. Tentang hal ini, Rasulullah SAW telah memberikan peringatan dalam sabdanya : “ Jika sebuah urusan diserahkan pada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya “ (HR Bukhori ).

Inilah yang seharusnya direnungkan oleh setiap pemuda yang merasa sudah saatnya memimpin. Pengalaman rapat, diskusi berjam-jam, hingga demonstrasi yang berdarah-darah sekalipun tidak lantas membuahkan sebuah pemahaman yang utuh akan manhaj Islam dan dakwah. Pemuda kita masih harus mengkhususkan sebagian waktunya untuk menambah ilmu dan pemahaman yang lebih signifikan. Ada baiknya kita renungkan pesan dua pahlawan Islam sebagai berikut :
Umar bin Khotob ra berkata : Tafaqqohuu qobla an tusawwaddu ( Tingkatkanlah pemahaman sebelum kamu diangkat jadi pemimpin ). Sementara itu, Ibnu Hajar dalam Fathul Bary mengutip ucapan Imam Syafi’I ra : Idza tashoddaro al-hadts faatahu ‘ilmun katsiir ( Apabila anak muda diangkat menjadi pemimpin maka ia kehilangan banyak Ilmu )

Ketiga : Kekuatan Fisik ( jasad)
Diisyaratkan dalam ayat tentang kekuatan fisik menjadi salah satu kriteria untuk menjadi pemimpin. Barangkali ini kriteria yang sepenuhnya dimiliki oleh para pemuda secara umum. Tidak ada yang meragukan kekuatan fisik para pemuda. Karena fase pemuda memang puncak kekuatan dalam fase hidup manusia. AlQuran sendiri melegitimasi kekuatan fisik sang pemuda dalam ayatnya : “ Allahlah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian dia menjadikan (kamu) setelah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah kuat itu lemah (kembali) dan beruban “ (QS Ar-Ruum 54)

Berkaitan dengan kepemimpinan, kita meyakini bahwa pemimpin adalah pelayan. Untuk itu, diperlukan sebuah stamina yang kokoh dan kemampuan mobilitas yang tinggi bagi seorang pemimpin. Jadi, kriteria fisik bukan sekedar untuk gagah-gagahan apalagi tebar pesona. Kriteria fisik murni untuk kontribusi bagi umat.

Ada dua hadits yang menyebutkan orang yang paling dicintai oleh Allah SWT. Pertama, Rasulullah SAW bersabda : “ Orang mukmin kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah dari pada mukmin yang lemah “ ( HR Muslim). Mengapa orang mukmin yang kuat lebih dicintai oleh Allah SWT ? Jawaban sederhananya ada dalam hadits selanjutnya. Rasulullah SAW bersabda : ” Orang yang lebih dicintai Allah adalah yang lebih banyak manfaatnya bagi orang lain “ (HR Thobroni). Dengan demikian, kekuatan fisik yang dimiliki oleh pemuda bukanlah hal yang istimewa disisi Allah kecuali jika telah digunakan untuk kepentingan orang banyak.

Keempat : Penerimaan publik
Ini bukan kriteria utama, akan tetapi tetap saja mempunyai efek yang signifikan. Dalam sholat sekalipun, tidak diperkenankan menjadi imam bagi mereka yang tidak disukai jamaahnya. Contoh sejarah telah banyak membuktikan bahwa kelancaran kinerja sebuah jamaah, organisasi, ataupun pasukan biasanya ditentukan faktor ketaatan pada pimpinan. Pada kondisi tertentu, ketaatan ini sangat berhubungan dengan penerimaan publik atau orang-orang yang dipimpinnya. Jika sejak awal ada ketidakpercayaan pada sosok pimpinan, maka ini akan sangat mengganggu kerja-kerja berikutnya.

Anehnya, inilah tipe masyarakat kita secara umumnya. Mereka mengharuskan pemimpin adalah seorang yang mereka cintai, terima, dan terpercaya. Dalam bahasa sederhana kita adalah kredibilitas dan penerimaan publik. Ini sebenarnya bukan fenomena baru. Rujuk kembali ayat diatas ( Al-Baqoroh 247), ketika Allah menggambarkan ketidakpuasan bani Israil dengan kepemimpinan Tholut: Mereka menjawab, “ Bagaimana Thalut memperoleh kerajaan atas kami, sedangkan kami lebih berhak atas kerajaan itu daripadanya, dan dia tidak diberi kekayaan yang banyak ? “. Thalut adalah seorang raja pilihan yang kurang dikehendaki oleh Bani Israil, karena bagi mereka seorang raja haruslah dari kalangan hartawan atau terpandang. Pandangan seperti ini pulalah yang menjadikan ada beberapa sahabat juga meragukan kepemimpinan Usamah sebagai panglima perang. Usamah ra kurang diterima secara publik selain karena masih muda, mungkin juga karena garis keturunan Usamah bukan keturunan bangsawan Arab, bahkan dari golongan budak.

Barangkali pemuda kita akan mengalami hal yang sama dalam kasus Usamah. Usia yang muda akan menjadi hambatan dalam penerimaan publik. Apalagi masyarakat kita masih memiliki nuansa feodal yang kental. Jangankan untuk urusan pemerintahan, untuk menjadi imam sholat pun para pemuda masih dipandang sebelah mata. Lihat saja masjid-masjid di desa atau sudut-sudut kota, para imamnya kebanyakan adalah bapak-bapak tua dengan kondisi fisik yang payah plus bacaan qur’an yang terengah-engah. Anak muda nyaris tidak pernah diijinkan melewati shof pertama untuk menjadi imam.
Dengan demikian, kepada Anda atau kita para pemuda yang mungkin merasa telah datang masanya mengambil tongkat estafet kepemimpinan, lihatlah sejenak diri kita dari semua sisinya. Apakah sekedar semangat reformasi yang menyala-nyala ditambah konsep-konsep idealisme tentang manajemen pemerintahan yang bersih, atau apakah memang kita sudah mengantongi kriteria-kriteria unggulan di atas. Masing-masing kita mempunyai jawabannya, hingga ketika nanti datang momentum yang tepat dimana pemuda kita sudah layak (kembali) memimpin, bolehlah Anda menyanyi dengan lantang :

“ PAK TUA SUDAHLAH…ENGKAU SUDAH TERLIHAT LELAH
PAK TUA SUDAHLAH..KAMI MAMPU UNTUK BEKERJA..“.

Wallahu a’lam bisshowab.

http://www.indonesiaoptimis.com/2008/12/artikel-sebelum-pemuda-kembali-memimpin.html

Selaksa Ibrah Peristiwa Hijrah


Oleh; Ahmad Arif Ginting

SESAAT lagi umat islam di seluruh dunia akan sampai pada akhir dari tahun 1433 H dan kemudian memasuki tahun baru 1434 H. Tidak terasa begitu cepat masa satu tahun itu berlalu. Masalah demi masalah masih terus menghantui umat islam di berbagai belahan dunia. Umat islam selalu saja dijadikan objek dari sandiwara di atas panggung demokrasi.  Umat islam –khususnya di Indonesia- memang mayoritas secara statistik, namun minoritas di gelanggang politik.

Tulisan berikut ini berupaya menghadirkan selaksa ibrah dari peristiwa paling momumental di awal terbitnya fajar al islam untuk direnungkan kembali, lalu mengaktualisasikannya dalam praksis kehidupan sehari hari dimulai dari diri sendiri, keluarga inti, sanak family dan masyarakat sekitar tempat berdomisili.

Sejarah Perayaan Hijrah

Dalam bukunya “Islam Idealitas Islam Realitas”, Prof. Dr. H. Mohammad Baharun mencatat, pada tahun 1976 dilaksanakan sidang ketujuh Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang diikuti oleh para Menteri Luar Negeri negara anggota -organisasi itu- di kota Istanbul. OKI saat itu memiliki anggota empat puluh lima negara, 22 di antaranya adalah negara Arab dan selebihnya negara-negara Asia dan Afrika.

Atas usulan Komisi Sosial dan Budaya OKI, konferensi Istanbul itu menghimbau agar negara anggotanya merayakan 1 Muharram dengan kegiatan festival yang meriah. Sebelum itu, Sekretariat Jendral Islam untuk perayaan hari-hari besar islam yang bermarkas di London telah lebih dahulu mengumumkan dunia islam agar dalam menyambut tahun baru hijriah segenap umat islam seantero dunia memeriahkannya dengan perayaan yang bermanfaat.

Tentu saja perayaan itu dimaksudkan untuk mengilhami para pemikir dan cendikiawan muslim untuk mengingatkan penelitian mereka dikaitkan dengan peranan tahun hijriah tersebut. Paling tidak supaya mereka sadar bahwa peranan islam dalam kemajuan bidang-bidang sains, ekonomi dan social sepanjang sejarah tidaklah kecil.

Namun demikian, sudah pasti memperingati 1 Muharram dalam abad 15 Hijriah ini umat jangan sampai Cuma ‘berkutat’ pada masalah penanggalan kalender saja. Yang penting tentu, bagaimana mengisi event itu dengan segala macam kegiatan yang bermanfaat buat masyarakat luas.

Pembuktian Iman

Tak ada suatu kata yang menyiratkan makna demikian kuat seperti kata hijrah yang merupakan salah satu dari tiga amal islami seperti ditegaskan dalam Al Quran (QS; al-anfal [8]: 74) berikut;
وَالَّذِينَ آمَنُواْ وَهَاجَرُواْ وَجَاهَدُواْ فِي سَبِيلِ اللّهِ وَالَّذِينَ آوَواْ وَّنَصَرُواْ أُولَـئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقّاً لَّهُم مَّغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِي
“Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah dan orang-orang yang meberi tempat kediaman dan meberi pertolongan (kepada kaum muhajirin), mereka itulah orang-orang yang beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezki yang mulia.”

Tak ada perjuangan seberat hijrah dan tak ada pengorbanan setulus hijrah. Bertolak dari iman, seorang hamba memutuskan pilihan sulit; diam di tempat dengan kehinaan, iman yang tidak produktif dan masa depan yang sangat gelap; atau ‘berangkat’. Pilihan iman saja sudah menuntut keberanian.

Berani berbeda dari seluruh bangsa yang masih terbelenggu, menuntut pengorbanan, dari ‘bubar jalan’ karena kelemahan mereka yang kerap kagum dengan konsep islam tetapi terbelenggu oleh rasa takut atau gengsi, sampai makar pemenjaraan, pengusiran atau pembunuhan (QS. 8;30);
وَإِذْ يَمْكُرُ بِكَ الَّذِينَ كَفَرُواْ لِيُثْبِتُوكَ أَوْ يَقْتُلُوكَ أَوْ يُخْرِجُوكَ وَيَمْكُرُونَ وَيَمْكُرُ اللّهُ وَاللّهُ خَيْرُ الْمَاكِرِينَ
“Dan (ingatlah) ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.” [QS: al-Anfal [8]: 30]

Menggetarkan Status Quo

Hijrah bukanlah (seperti) anggapan naik, ‘sebuah keterpaksaan mengamankan diri’. Ia sebuah aksioma abjadiyat pembangunan Islam yang harus sampai ke dzirwatu sanamih (puncak bangunannya) yaitu jihad.

Pada detik-detik awal tibanya rombongan hijrah Rasulullah, mengapa ada pembangunan base-camp dan masjid sebagai pusatnya? Mengapa pula kaum Quraisy masih tetap memburu mereka –hingga- di Madinah?

Mengapa ada muakh (mempersaudarakan) antara Muhajirin dan Anshar? Mengapa ada pembangunan pasar Muslimin dan sekian lagi institusi?
Jawabnya adalah karena dua kalimah syahadat sendiri -dengan tegas- menyuratkan dan menyiratkan kekuatan pesan pembebasan, menggetarkan pendukung status quo jahiliyah.

قُلْ إِنَّمَا أَدْعُو رَبِّي وَلَا أُشْرِكُ بِهِ أَحَداً
“Katakanlah, “Sesungguhnya aku hanya menyembah Tuhanku dan aku tidak mempersekutukan sesuatu pun dengan-Nya.” (QS: Jin [72]: 20)

Tiga “Kelas”

Hijrah melahirkan kelas, bukan berbasis fatalisme konflik protelar vis a vis borjuis dan kapitalis. Tetapi pada iltizam (komitmen), wala (loyalitas) dan tadhhiyah (pengorbanan) yang terekam dengan jelas pada tiga hal berikut ini.

Pertama, Muhajirin yang meninggalkan Makkah, merelakan begitu banyak yang sepatutnya disedihkan; tanah air, keluarga, kekayaan, harapan dan masa depan. Mereka menuju Madinah yang dalam parameter materialism penuh masalah; masa depan yang tidak jelas, iri dan benci Yahudi, munafiqin dan nashara (Kristen) Rum, perasaan menjadi beban orang lain dan seterusnya.
Dalam “Al Hijrah fi al-Qur’an”,  Dr. Ahzami Samiun Jazuli, MA menukilkan riwayat dari Tarmidzi dan Ibnu Majah.
“Di Jazurah, di pasar Makkah Rasulullah berhenti sejenak melantunkan perasaan paling dalam: “Demi Allah, engkaulah bumi Allah terbaik dan paling dicintai-Nya, kalaulah aku tidak dipisahkan darimu niscaya takkan daku keluar meninggalkanmu,” demikian tulis dalam buku itu.

Kedua, kaum Anshar menerima saudara Muhajirin mereka dengan penuh kecintaan yang dibuki nyatakan dengan menyediakan modal usaha untuk Muhajirin, menyiapkan hunian untuk mereka berteduh. Bahkan , diri mereka sendiri menjadi benteng dan perisai bagi muhajirin.

Ketiga, tabi’in (generasi pelanjut) yang arif, serius dan tulus.

Hijrah tidak menyisakan bagi pengecut, pemalas, penghasud dan semua yang berfikiran sempit. Ruang hijrah hanya bagi tiga kaum; Muhajirin dan semua pengambil inisiatif; Anshar dan semua pembela dengan jiwa, raga dan harta; para tabi’in dan pendukung sesudah mereka. Selebihnya, bila masih ada itulah ruang keterasingan bagi iman dan ruang kegelapan bagi kejujuran.

Seleksi “Alami”
Hijrah bukan hanya perpindahan dari wilayah ancaman ke wilayah aman, tulis almarhum KH Rahmat Abdullah (2008; 125-127). Ia adalah seleksi “alami” yang akan membuktikan kekuatan seseorang atau sekelompok hamba Allah untuk menjadi pemimpin. Siapa yang diam, dia takkan menjadi besar. Siapa yang menghalangi gerak, mereka akan terlindas.

“Al harakah fiha barakah”, dalam gerak ada berkah. Para Muhajirin telah memulainya dengan benar; suatu perpindahan yang beranjak dari kesadaran dan bukan dari kemarahan. Sadar bahwa iman itu punya nilai tinggi yang hanya dapat dibuktikan dengan pengorbanan.  Jiwa dan semangat hijrah dengan dinamika, tantangan dan kepedihannya yang beragam mempunyai satu mata air dari telaga yang sama, “Inni Muhajirun Ila Rabbi” (aku berangkat menuju Rabbku).

Bukan kebetulan bila susunan bulan dalam perhitungan tahun hijriah diakhiri dengan bulan haji dan dimulai dengan bulan muharram sebagai pembuka tarikh hijri. Haji yang bagi sebagian kita berarti tamatnya islam, justru menjadi puncak pagi pendakian berikutnya. Hijrah menjadi milestone (batu loncatan), menjadi munthalaq (titik tolak) keagungan syariah yang abadi.

Inilah mozaik kejujuran, keikhlasan, kesabaran, pengorbanan, harapan dan kekuatan. Hijrah ialah keutuhan harga diri. Sekeping tanah bersama kemerdekaan di rantau, lebih berharga dari pada tinggal di negeri sendiri dengan kehinaan, tak dapat mengekspresikan iman. Inilah terjemahan hakiki sifat islam yang ‘alamiyah (semestawi) tak tersekat oleh batas-batas sempit kesukuan dan kebangsaan. Kecuali perjuangan kebangsaan bertujuan menyelamatkan dzawil qurba (keluarga, sanak kerabat). Wallahu a’lam.*

Penulis adalah pendiri pustaka RUMAN (Rumoh Baca Aneuk Nanggroe) Banda Aceh
Sumber : http://hidayatullah.com/read/25837/13/11/2012/selaksa–ibrah-peristiwa-hijrah.html

Sabar, Sabar dan Sabar ! Beginilah jalan dakwah...


Oleh Cahyadi Takariawan

Sabar, sabar, sabar… Beginilah jalan dakwah telah kita lalui. Berkomunitas bersama orang-orang salih bukannya tanpa masalah, maka Allah memerintahkan agar kita selalu bersabar bersama mereka :
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas”.
Bisa jadi ada salah paham di antara para aktivis. Bisa jadi ada ketidaknyamanan perasaan di antara para pelaku dakwah. Bisa jadi ada data yang kurang valid, namun digunakan untuk pengambilan keputusan. Bisa jadi ada stigma yang menganga, dan tidak pernah ada pengadilan yang memberikan klarifikasi. Bisa jadi ada persepsi yang keliru. Bisa jadi ada ketidaktepatan dalam menerapkan teori.
Capek, lelah mendera jiwa dan raga. Namun ini adalah pilihan, yang tidak ada sedikitpun paksaan kita bersamanya. Bisa jadi ada ketidakpahaman, ada ketidakmengertian, dan kita tidak pernah menemukan jawaban. Bisa jadi Khalid bin Walid tidak pernah mengerti mengapa dirinya diganti dari posisi panglima perang yang demikian dihormati. Namun toh kehormatan dirinya tidak runtuh karena posisi itu tidak lagi dia miliki.
Kehormatan diri kita adanya pada konsistensi. Konsisten menapaki kebenaran. Konsisten menapaki jalan kebaikan. Komitmen pada peraturan. Teguh memegang keputusan. Mendengar dan taat, itulah karakter kader teladan. Bukankah ini ujian, karena yang kita dengar dan kita taati bisa jadi berbeda dengan suara hati nurani. “Qum Ya Hudzaifah !” Menggelegar suara perintah. Dan Hudzaifah segera bangkit berdiri.
Kehormatan diri bukan terletak pada posisi kita sebagai apa. Tidak menjadi apa-apa, tetap bisa dihormati. Kita terhormat karena karakter yang kuat, kita terhormat karena karya yang tiada pernah berhenti, kita terhormat karena kerja yang terus menerus, kita terhormat karena keteladanan, kita terhormat karena kesabaran dan kesetiaan.
Ya. sabar, sabar, dan teruslah sabar… Karena memang beginilah jalan dakwah telah kita lalui. Berkomunitas bersama orang-orang salih bukannya tanpa masalah, dan Allah telah memerintahkan agar kita selalu bersabar bersama mereka :
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas”.

*http://cahyadi-takariawan.web.id/?p=2948

Hijriah 1434: Harapan & Kesempatan | Kultwit @syaikhu_ahmad




Ahmad Syaikhu
@syaikhu_ahmad 

Aleg PKS DPRD Prov. Jawa Barat | Calon Wakil Walikota Bekasi


  1. Alhamdulillah, Qt dipertemukan lg dgn datangnya thn baru hijriah. #hijriah1434

  2. Perayaan tanpa riuh terompet dan kembang api. Tapi penuh keheningan dan khidmat. #hijriah1434

  3. Thn baru hijriah memberikan Qt HARAPAN & KESEMPATAN. #hijriah1434

  4. Harapan bahwa hari esok pasti akan lebih baik. Harapan utk berbuat yag terbaik. #hijriah1434

  5. Hijriah juga bermakna kesempatan untk berubah menjadi lbh baik. #hijriah1434

  6. Kesempatan untuk menggunakan waktu yg ada kepada kebaikan. #hijriah1434

  7. Thn baru Hijriah menjadi momentum utk evaluasi dan konsolidasi diri utk bangkit. #hijriah1434

  8. Hijriah bermakna berubah, dari yg tak baik menjadi lebih baik. #hijriah1434

  9. Hijriah membawa pesan dinamis. Kita dituntut dimanis dlm hidup ini. #hijriah1434

  10. Hijriah, menjadikan kemaren pijakan utk meloncat ke masa depan. #hijriah1434

  11. Selamat thn baru hijriah 1434;Kesempatan & Harapan. #hijriah1434

Tahun Baru Hijriyah, Saatnya Hijrah

Beberapa jam lagi tahun 1433 H akan meninggalkan kita. Dan tahun 1434 H datang menyapa. Datangnya tahun yang baru, sesungguhnya adalah momentum berharga bagi kita. Bukan sekedar mengingatkan bahwa kita telah melewati rentang masa tertentu yang juga mengurangi kuota usia kita, tetapi juga membawa kesempatan untuk melakukan perubahan.

Bergantinya tahun hijriyah mengingatkan kita pada sejarah penentuan awal tahun Islam. Umar sebagai khalifah di waktu itu tidak memilih tahun kelahiran Rasulullah sebagai tahun pertama kalender Islam. Umar juga tidak memilih tahun turunnya wahyu pertama sebagai tahun pertama kalender Islam. Tetapi Umar memilih hijrah sebagai awal kalender Islam. Sebab, lahirnya Rasulullah adalah kehendak Allah semata. Diangkatnya Muhammad sebagai Nabi juga anugerah dan pilihan dari Allah yang tidak mungkin diduplikasi manusia setelahnya. Namun hijrah, ia adalah upaya manusiawi menempuh keridhaan Ilahi. Ia penuh dengan pengorbanan, baik harta maupun jiwa. Ia adalah bukti perjuangan. Sekaligus menandai komunitas baru yang merefleksikan Islam dalam entitas negara; peradaban Islam bermula!

Maka pergantian tahun baru hijriyah sesungguhnya mengingatkan kita akan sejarah perjuangan dan pengorbanan, sekaligus memberikan spirit baru bagi kita untuk berhijrah. Untuk menjadi lebih baik. Untuk menciptakan sejarah!

Hijrah, dalam arti berpindah tempat untuk menyelamatkan agama dan membentuk komunitas Islami, bukanlah kewajiban yang dibebankan kepada kita saat ini. Bahkan “La hijrata ba’dal fathi”; tak ada lagi hijrah (ke Makkah) sesudah futuhnya. Namun hijrah secara hakikat harus terus dilakukan, harus terus diperbaharui.

الْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ
Muhajir adalah orang yang meninggalkan segala larangan Allah (HR. Bukhari)

Demikianlah hakikat hijrah, dan demikianlah idealnya kita di setiap pergantian tahun hijriyah. Meninggalkan larangan Allah, berhijrah menjadi lebih baik dari sebelumnya. Dengan kata lain, kita melakukan muhasabah terhadap capaian kita di tahun 1433 H dan membuat resolusi tahun 1434 H.

Resolusi 1434 H yang kita susun, idealnya mencakup semua peran kita. Baik sebagai individu, peran dalam keluarga, peran dalam pekerjaan/bisnis, peran dalam organisasi/jamaah, dan sebagainya.

Dalam tataran individu, kita perlu melakukan muhasabah dan resolusi dalam 10 aspek kepribadian Islam (syakhsiyah Islamiyah):
1. Salimul Aqidah: di mana kelemahan aqidah kita selama tahun 1433 H, dan bagaimana kita mengokohkannya sepanjang tahun 1434 H
2. Shahihul Ibadah: kita evaluasi intensitas dan kualitas ibadah kita selama tahun 1433 H, dan bagaimana kita meningkatkannya dalam tahun 1434 H
3. Matinul Khuluq: kita evaluasi akhlak kita mana yang kurang baik selama tahun 1433 H dan bagaimana kita memperbaikinya pada tahun 1434 H
4. Mutsaqaful Fikri: kita evaluasi kekurangan wawasan dan keilmuan kita selama tahun 1433 H dan bagaimana kita memperluas/memperdalamnya pada tahun 1434 H
5. Qadirun alal Kasbi: kita evaluasi bagaimana kesehatan finansial selama 1433 H dan bagaimana kita memperbaikinya dalam tahun 1434 H serta terus menjaganya agar selalu halal
6. Qawiyul Jismi: kita evaluasi kesehatan, kebugaran dan kekuatan fisik kita selama 1433 H dan bagaimana perbaikan kita untuk tahun 1434 H
7. Mujahidun Li Nafsihi: kita evaluasi kesungguhan kita dalam menjauhi larangan Allah selama 1433 H dan meningkatkan komitmen pada tahun 1434
8. Munazham fi su’unihi: kita evaluasi apakah selama 1433 H urusan kita sudah tertata rapi dengan manajemen yang bagus dan bagaimana kita memperbaikinya pada tahun 1434 H
9. Haritsun ala Waqtihi: kita evaluasi apa yang kurang dari manajemen waktu kita pada 1433 H dan bagaimana perbaikannya pada 1434 H
10. Nafi’un li Ghairihi: kita evaluasi kemanfaatan diri kita dalam berbagai peran. Untuk yang satu ini, ia terkait dengan peran kita berikutnya, baik sebagai ayah/ibu bagi anak-anak kita, suami bagi istri kita, peran dalam lingkup masyarakat, pekerjaan/bisnis kita, dan juga amanah dalam organisasi/jamaah dan amanah publik.

So, mari kita songsong dengan penuh optimisme tahun baru 1434 hijriyah dengan hijrah. Dengan perubahan, dengan perbaikan. Salam resolusi. [Muchlisin]
 
Sumber :http://www.bersamadakwah.com