Kamis, 25 Agustus 2011

Pesan Tauhid di Balik Obat


Oleh: KH Abdullah Gymnastiar

Ketika seseorang biasa meminum multivitamin untuk menunjang kesehatan tubuhnya, lalu suatu hari dia lupa tidak memakannya, maka lihat, apakah ia merasakan dirinya gelisah atau biasa saja. Jika dirinya merasa berbeda menjadi gelisah, berarti dia sudah menggagungkan obat multivitamin itu. Bahkan jangan-jangan ia sudah menuhankannya.

Berobat yang lazim memang dilakukan secara medis. Ketika pasien datang kepada seorang dokter, lalu diberinya obat, ia pun dapat sembuh, akan tetapi ada pasien lain dengan penyakit yang sama dan obat yang sama ternyata tidak sembuh penyakitnya.  Ada yang sembuh ada yang tidak dapat sembuh, atau mengalami kematian.  Berarti, yang menyembuhkan itu Allah, bukan dokter bukan pula obat.  Dan semua penyakit pasti ada obatnya, kecuali maut.

Memang sunnatullah pula penyakit dapat diobati melalui berbagai cara, seperti cara pengobatan terapi minum air bening. Dr masaru Emoto, peneliti dari Jepang, telah melakukan penelitian yang menyatakan bahwa perkataan yang baik terhadap air, akan menjadikan air itu struktur molekulnya menjadi lebih indah. Lalu apa salahnya kita membacakan surat Al Fatihah, yang jelas-jelas merupakan firman Allah. Sebagaimana diriwayatkan dalam hadis Al-Bukhari (2156), Muslim (2201) bahwa pada jaman nabi saw pernah dicontohkan bagaimana sahabat saw yang bisa mengobati orang yang sakit dengan perantaraan bacaan Al Fatihah terhadap air. Disebabkan haqqul yakin sahabat nabi ini bahwa yang menyembuhkan adalah Allah SWT. Kita juga boleh saja membaca, namun hati ketauhidannya juga harus seperti sahabat nabi saw tersebut.
Obat, dokter, air yang didoakan adalah syariat (alat/perantara) yang membuat kita sembuh. Apabila keberadaannya membuat tentram dan tidak adanya membuat takut, bisa jadi terjerumus ke dalam dosa musyrik. Bukan tidak boleh memakan obat. Obat hanyalah sebagai salah satu media Allah, untuk kesembuhan.  Kuman juga ciptaan Allah, apakah kuman bisa mematikan kita? Memang ada kematian karena kuman penyakit, namun kuman itu sebagai salah satu jalan untuk tercabutnya nyawa manusia.

Dengan demikian jika kita sakit tetap mesti berobat dengan berbagai cara. Sebagai manusia yang berakal kita lakukan ikhtiar dengan sebenar-benarnya yang akan menjadi lahan beramal dan beribadah. Bahkan, jika kita tidak menjalankannya, bisa jadi kita berdosa. Dengan kesempurnaan lahiriah menjalankan fungsinya, dan hati menyadari hakikatnya, maka kita akan dapat bersyukur kepada Allah jika berhasil dalam berikhtiar, dan kita berlapang dada dan ridho jika belum berhasil, serta tidak berputus asa. Jadi, musyrik tidak harus dengan menyembah patung, atau menyuguhkan sesajian, dll.

Yakinlah bahwa Allah tidak menimpakan suatu penyakit pada kita bila tidak ada hikmahnya. Berintospeksi pada diri  mungkin saja sakit yang kita derita karena hak tubuh tidak terpenuhi akibat dari kelalaian.
“Allah-lah yang telah menciptakan aku, dan Dialah yang memberi hidayah kepadaku, dan Dialah zat yang memberi makanan untukku dan memberi minuman kepadaku, dan apabila aku sakit maka Dia juga yang menyembuhkan sakitku, dan  Allah-lah zat yang  mematikan aku, dan juga zat yang menghidupkan aku (kembali), dan Dia pulalah zat yang aku berharap akan mengampuni dosa-dosaku pada hari pembalasan.” (QS. Asy-Syu’ara [26] : 78-80)

Keyakinan ini penting kita miliki, karena jika kita masih merasa takut pada apa yang terjadi di dunia ini, berupa takut terhadap sesuatu yang tidak bisa diraih, seperti takut kehilangan jabatan, takut ditolak lamaran, takut tidak sembuh, dan sebagainya, jika hati masih bergantung pada dunia ini bisa jadi terjerumus musyrik. Semestinya kita benar-benar bergantung saja kepada Allah, jalani saja bila tidak berhasil meraih/melakukan sesuatu. Tauhid kita mesti mantap. Jangan sampai yang ada di hadapan kita bisa mencuri hati kita yang semestinya diberikan untuk mengabdi kepada Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar