Senin, 26 September 2011

Menyambut Palestina Merdeka

 
Al Muzzammil Yusuf
Koordinator Kaukus Parlemen Indonesia untuk Palestina

 Palestina merupakan satu bangsa yang masih terus berjuang meraih kemerdekaannya dari penjajahan Israel. Sejak perang tahun 1948, 1967, hingga yang paling akhir adalah invasi Israel ke Gaza pada Desember 2008, bangsa Palestina terus berjuang keras meraih kemerdekaannya. Solusi yang paling penting bagi permasalahan Palestina adalah kemerdekaan yang definitif dengan menjadikan Palestina sebagai negara yang merdeka dan berdaulat sejajar dengan negara-negara di dunia lainnya.

Untuk mewujudkan kemerdekaan Palestina ini dibutuhkan soliditas rakyat dan para pemimpin di negara ini serta dukungan pengakuan dari negara-negara dunia sebagai negara merdeka, termasuk di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Diplomasi internasional
Akhir 2010, Otoritas Palestina mengajukan strategi diplomasi baru dengan cara meminta kepada setiap negara di dunia untuk mengakui kemerdekaan Palestina berdasarkan perbatasan 1967. Pada 20 September 2011, Otoritas Palestina (OP) mengajukan proposal agar diakui sebagai negara yang merdeka dan menjadi anggota penuh PBB melalui Sidang Umum PBB yang diselenggarakan di New York, Amerika Serikat.

OP meminta pengakuan sebagai anggota penuh di PBB di mana saat ini posisinya hanya sebagai peninjau. Ini akan memberikan implikasi politik dan memberikan akses yang besar bagi Palestina untuk masuk dalam pengadilan internasional di mana mereka bisa mengajukan gugatan resmi terhadap penjajahan yang selama ini dilakukan oleh Israel.

Data terakhir menunjukkan sekitar 124 negara dari 193 negara anggota PBB secara resmi mendeklarasikan pengakuan mereka terhadap negara Palestina serta menyatakan mendukung langkah Palestina untuk mendapatkan pengakuan sebagai negara merdeka dan menjadi anggota penuh PBB (KNRP, 28/08/2011).

Sekjen PBB Ban Ki-moon juga menyatakan dukungan bagi Palestina yang telah lama tertunda agar mendapatkan pengakuan dari dunia internasional sebagai negara yang merdeka dan menjadi anggota PBB.
Gelombang pengakuan terhadap Palestina sebagai negara merdeka pun meningkat di Eropa. Mayoritas masyarakat di tiga negara terkuat di Eropa, yaitu Jerman, Prancis, dan Inggris menginginkan agar pemerintah mereka memilih dan mengakui negara merdeka Palestina. Hal itu terungkap dari hasil survei yang dilakukan oleh YouGov atas nama Avaaz, sebuah organisasi kampanye global (Republika, 13/9/2011).

Hasil survei itu menunjukkan bahwa 59 persen rakyat Inggris, 69 persen rakyat Prancis, dan 71 persen rakyat Jerman menginginkan agar pemerintah mereka mendukung pengesahan proposal pembentukan negara merdeka Palestina di Majelis Umum PBB. Dalam jajak pendapat itu, dukungan atas hak Palestina untuk memiliki negara sendiri tanpa mengacu pada suara di PBB bahkan lebih tinggi, yakni 71 persen di Inggris, 82 persen di Prancis, dan 86 persen di Jerman.

Pernyataan dukungan terhadap Palestina secara gamblang pernah disampaikan Presiden AS, Barack Husein Obama, dalam pidatonya ketika mengunjungi Mesir pada 4 Juni 2009. Pidato itu tidak hanya ditujukan kepada publik Mesir, tapi juga dunia Islam. Setahun kemudian (2010), Obama kembali menyampaikan kepeduliannya terhadap kemerdekaan Palestina di hadapan Sidang Umum PBB.

Namun, beberapa hari kemudian, Obama menarik ucapannya kembali setelah bertemu dengan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, di Gedung Putih. Soal perbatasan tahun 1967, Obama di depan forum lobi Yahudi di AS (AIPAC) mengklarifikasi bahwa pernyataan sebelumnya tentang perbatasan Palestina berdasarkan 1967 itu diputarbalikkan. Obama menegaskan berdirinya negara Palestina di atas tanah tahun 1967 itu harus memperhitungkan realitas demografi baru, yakni permukiman Yahudi.

Lagi-lagi standar ganda kebijakan AS terlihat jelas sehingga dipastikan akan mempersulit perjuangan rakyat Palestina untuk mendapatkan pengakuan kemerdekaan secara penuh dalam Sidang Umum PBB yang digelar saat ini.

Kita berharap Pemerintahan Obama tidak akan memveto pengakuan kemerdekaan dan keanggotaan penuh Palestina di PBB. Karena sesungguhnya daya tarik Obama ketika terpilih menjadi Presiden AS adalah saat kritik terhadap kebijakan Bush yang militeristik dan tidak ramah pada Dunia Islam. Jadi, masyarakat dan negara dunia berharap perbedaan karakter Obama dan Bush diperlihatkan dalam posisinya terhadap Palestina.

Internal Palestina
Dukungan dan pengakuan dari dunia internasional adalah salah satu faktor penting dalam mewujudkan kemerdekaan Palestina. Namun, Palestina harus menyelesaikan persoalan domestiknya. Pertama, permasalahan domestik utama saat ini terjadi di Palestina adalah belum adanya persatuan antara faksi-faksi di Palestina, terutama Fatah dan Hamas, yang saat ini memiliki masing-masing wilayah kekuasaan, Fatah di Tepi Barat, sedangkan Hamas di Jalur Gaza.

Kedua, yaitu legitimasi politik perdana menteri maupun presiden Palestina yang seharusnya dipilih oleh rakyat melalui pemilu. Masa jabatan PM dan presiden Palestina hasil pemilu Januari 2006 sampai Januari 2010. Secara konstitusional, baik PM dan Presiden Otoritas Palestina saat ini sebenarnya tidak memiliki legalitas untuk mewakili Palestina di dunia internasional.

Ketiga adalah kekuasaan Israel, baik di darat, laut, maupun udara masih menghunjam di daerah Palestina, terutama di Tepi Barat. Di mana 60 persen wilayah dikuasai Yahudi dan ada sekitar 600 cek poin yang tersebar di Tepi Barat dan dijaga ketat oleh tentara Israel. Saat ini, OP juga tidak mempunyai militer. Batas darat, laut, dan udara Palestina adalah batas wilayah yang dikuasai Israel. Tanpa menyelesaikan persoalan ini, Palestina tak ubahnya seperti negara bagian bagi Israel. Keluar-masuk negara dan menerima tamu asing berarti harus dengan izin Israel.

Dengan demikian, tak ada jalan lain, semua pihak di Palestina harus menyatukan diri untuk membuat langkah-langkah strategis komprehensif yang disepakati oleh semua elemen masyarakat Palestina.
Langkah-langkah itu berisikan mekanisme detail untuk bisa keluar dari krisis yang akan menghantam isu Palestina dan bangsanya. Juga, berisi tentang pandangan dan alternatif nasional yang bisa berinteraksi dengan fase-fase mendatang, jauh dari agenda dan intervensi pihak asing.

Bagi Indonesia, memperjuangkan kemerdekaan negara Palestina merupakan amanat konstitusi UUD 1945. Peran Indonesia dalam masalah domestik Palestina adalah dengan menjadi mediator dalam perundingan antara faksi Hamas dan faksi Fatah.

Indonesia perlu mendorong semua pihak di Palestina untuk mendukung dilakukannya pemilu yang jujur sebagai mekanisme seleksi kepemimpinan yang sehat di Palestina. Siapa pun yang akan memimpin Palestina harus mendapatkan mandatnya dari rakyat Palestina, bukan dari pihak luar Palestina.
(-)
Sumber : http://koran.republika.co.id/koran/24

Tidak ada komentar:

Posting Komentar