Jumat, 24 Februari 2012

Mari Menghela Keprihatinan untuk Diri Sendiri (Sebuah Renungan Akhir Tahun)

“Jika dosa itu lebih ringan dari inipun aku tetap takut dengan akhir yang buruk. Mati dalam kondisi masih bermaksiat.”
(Sofyan Ats Tsauri ra)

Selesai sudah perguliran dua belas bulan. Nyaris tidak terasa perubahan dan pergerakannya. Sejak bulan sabit, lalu sedikit sedikit semakin membesar hingga menjadi purnama. Lalu perlahan menghilang dan bergantilah pada bulan berikutnya. Selama dua belas kali, sampai pergantian tahun pun menjadi sempurna. Bulan berputar. Hari bergulir. Tahun berganti. Kalimat-kalimat ini seharusnya berlanjut. Usia berkurang. Jabatan dan kedudukan berpindah. Kekuatan melemah. Aktifitas menyurut. Janji Allah semakin mendekat…

Saudaraku yang selalu berada dalam rahmat Allah,
Banyak manusia baru hadir di antara kita. Tapi banyak juga manusia-manusia yang justru  meninggalkan dunia. Sementara  kita banyak yang lalai. Terus menerus membangun dan menghias fasilitas kehidupan di dunia, sambil terus menerus menghancurkan kehidupan akhirat. 

Saudaraku,
Mari menghela keprihatinan untuk diri kita sendiri. Mengucapkan kalimat istighfar, berulangkali. Meminta ampun atas segala kelalaian. Berkali-kali. Astaghfirullah. Allahu Akbar, betapa cepatnya waktu berpindah. Banyak sekali kelalaian kita di sana sini. Sedikit sekali kita mengambil pelajaran dari masa yang sudah lewat. 

Saudaraku,
Tanyakanlah kepada orang yang sudah tua, bagaimana ia melewati masa hidupnya di saat masih kecil, lalu beranjak dewasa, hingga kini ia sudah menapaki usia senja. Jawabannya, pasti. Ia seperti melewati waktu begitu cepat, padahal masih banyak keinginannya yang belum tercapai. Jadi, orang tua akan menilai masa mudanya begitu cepat berlalu. Orang muda memandang masa kecilnya terlalu cepat terlewat. Tapi semua orang, pasti menyisakan banyak harapan, keinginan, cita-cita, yang belum bisa diperoleh. Itulah kehidupan. Itulah dunia. 

Saudaraku,
Sungguh yang paling penting bukan pada usia yang panjang. Tapi bagaimana kebaikan amal yang dilakukan. Dan bagaimana titik akhir kita menjemput kematian. Karena setelah itu, tak ada yang di bawa mati. Tak ada harta benda yang mengiringi sampai ke kubur. “Kelak orang akan dibangkitkan dari kuburan, sesuai tatkala kondisi ia mati” Begitu sabda Rasulullah saw dalam hadits riwayat Muslim.

Dahulu pernah ada seorang pemuda yang jatuh dari untanya dan meninggal, saat ia sedang menunaikan haji di Arafah. Lalu Rasulullah saw mengatakan, bahwa pemuda itu kelak dibangkitkan di hari kiamat dalam kondisi sedang mengucapkan talbiyah. Rasulullah saw juga pernah menyampaikan bahwa seorang yang mati syahid akan dibangkitkan di hari kiamat dengan luka-lukanya yang berdarah sesuai tatkala ia gugur syahid. Warnanya merah darah, tapi baunya bau kesturi.

Maka, kematian mendadak itu sebenarnya tidaklah menyedihkan. Kecuali jika kematian mendadak itu datang pada seseorang yang belum sempat bertaubat dari kemaksiatan. 

Saudaraku,
Para salafushalih sangat takut bila mereka meninggal dalam kondisi suu-ul khatimah, akhir yang buruk. Sofyan Ats Tsauri rahimahullah pernah banyak menangis hingga datang waktu pagi. Ia ditanya, “Apakah engkau menangis karena dosa-dosamu?” Sofyan hanya mengambil sedikit tanah lalu mengatakan, “Jika dosa itu lebih ringan dari inipun aku tetap takut dengan akhir yang buruk. Mati dalam kondisi masih bermaksiat.” (Al ‘Aqibah fi dzikr al maut wa al aakhirah, Asybaili 175). Atha Al Khafaf mengatakan, “Pernah aku melihat Sofyan terus menerus menangis.” Ia bertanya, “Kenapa engkau?” Ia menjawab, “Aku takut bila aku telah ditetapkan sebagai orang yang celaka.” 

Seperti itulah orang-orang shalih yang sangat mengkhawatirkan titik akhir hidupnya. “Orang-orang yang jujur akan takut dengan suu-ul khatimah setiap saat, setiap geraknya. Mereka adalah orang-orang yang disebutkan oleh Allah swt “wa quluubuhum wajilah” dan hati mereka gelisah.” Demikian perkataan Sahl At Tasatturi. 

Saudaraku,
Di jenak-jenak pergantian tahun dan di awal tahun seperti ini, cobalah merenungkan tentang kondisi akhir yang buruk. Sungguh banyak sebab-sebab yang mendahulukan seseorang memiliki akhir yang buruk. Salah satu sebab utamanya adalah, keyakinan yang keliru, meskipun secara lahir orang tersebut baik. Sebab lainnya adalah, akrab dengan dosa besar, berulang-ulang melakukan dosa kecil yang semakin merusak hati dan merasa tidak takut dengan suu-ul khatimah

Para ulama menyebutkan bahwa suu-ul khatimah itu terbagi dua tingkatan. Pertama yang paling berat adalah ketika seseorang merasakan ketakutan luar biasa ketika sakaratul maut, lalu ia dalam kondisi kebingungan. Ketika itulah, ruhnya dicabut sehingga ia dalam kondisi terhalang dari Allah swt selamanya. Tingkatan kedua, yang lebih ringan adalah ketika seseorang begitu terikat dengan kecintaannya pada masalah dunia. 

Kecintaannya itu yang menguasai hatinya sehingga tak ada lagi tempat selain dunia di dalam hatinya  (Ihya Ulumiddin, Al Ghazali). Meski dianggap lebih ringan dari yang pertama, tapi menurut Imam Al Ghazali, keadaan itu tetap saja sebagai akhir yang buruk karena sama sekali tidak menyisakan kebaikan di akhir hidupnya. 

Saudaraku,
 Mari kita pikirkan. Di manakah tempatnya kira-kira kita akan menghirup nafas kehidupan ini? Jam berapakah kita menyelesaikan hidup yang Allah berikan ini? Berapa banyak orang yang mengiringi jenazah kita nantinya? Apakah mereka bersaksi untuk kebaikan kita selama  hidup? Adakah di antara yang kita tinggalkan, menyimpan duka karena sikap-sikap kita? 

Saudaraku,
Takutkah kita akan suu-ul khatimah??
 
( M. Lili Nur Aulia ) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar