Senin, 24 Oktober 2011

Menanti Kejujuran Bangsa

Oleh : Cahyadi Takariawan


Akhir-akhir ini kita sering mendengar berita mengenai aduan “menyontek massal” yang dilakukan suatu sekolah saat Ujian Nasional berlangsung. Keberanian Alif dan Siami, ibu kandung Alif, melaporkan adanya menyontek massal tersebut justru berujung petaka. Siami dicerca dan diusir masyarakat dari rumahnya, hingga harus mengasingkan diri. Masyarakat dan pihak sekolah tidak terima atas adanya aduan tersebut karena bisa merusak nama baik sekolah dan sekaligus bisa membuat Ujian Nasional di sekolah tersebut harus diulang.


Pemerintah bertindak cepat dengan memeriksa dugaan tersebut, dan hasilnya dinyatakan tidak terbukti ada tindakan menyontek massal. Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh menegaskan tidak ada peristiwa mencontek massal di Sekolah Dasar Negeri Gadel II, Surabaya, Jawa Timur. M Nuh memiliki sejumlah bukti  tidak ada insiden atau mobilisasi pencontekan massal dalam Ujian Nasional yang digelar 10 – 12 Mei 2011.

Bukti yang paling menguatkan adalah tidak ada pola jawaban yang sama dari semua peserta ujian. “Bukti lain, hasil nilainya. Di sini, baik Matematika atau yang lain-lain itu tidak menampakkan adanya kesamaan. Artinya, tidak terjadi kecurangan atau contekan massal,” kata M. Nuh di Kantor Kementerian Pendidikan Nasional, Jakarta, Rabu 15 Juni 2011. Bukti itu diperoleh setelah adanya pemetaan jawaban dari 60 peserta ujian. Hasil pemetaan Kemendiknas, pola jawaban yang dicantumkan tidak sama.

Pemerintah menyesalkan adanya aduan tersebut yang berdampak meresahkan masyarakat. Padahal Siami sendiri saat diwawancara sebuah stasiun televisi swasta dengan lugu menyatakan tidak menyangka kalau dampak laporan tersebut menjadi sebesar ini. Maka dia meminta maaf atas laporan yang telah dibuatnya. Jelas saja, tekanan datang dari banyak pihak kepada Siami dan Alif.

Sudahlah kita tidak perlu berdebat terbukti atau tidak terbukti aduan Alif dan Siami tersebut. Itu sudah dinyatakan selesai oleh Pemerintah. Namun tetap saja persoalan itu menyisakan banyak sekali pertanyaan tanpa jawaban. Di antara pertanyaan yang lazim adalah, mengapa menyontek massal saat Ujian Nasional ? Ada apa dengan Ujian Nasional kita ? Bagaimana potret kualitas pendidikan kita sesungguhnya ? Mengapa masyarakat kita sedemikian ketakutan atas laporan Siami dan Alif ? Mengapa reaksi masyarakat sedemikian besar atas aduan Alif dan Siami ?

Sayang sekali kita lebih suka menjadi bangsa yang tidak jujur atas kondisi diri sendiri. Kita tidak mau jujur bahwa masih banyak persoalan terkait Ujian Nasional yang diseragamkan untuk seluruh sekolah di Indonesia, sementara kualitas pendidikan di setiap daerah berbeda-beda. Bagaimana menyamakan pendidikan di Jakarta dengan Papua ? Kita ingin semua kualitasnya sama, namun kita tidak memiliki kesungguhan untuk membuat semua sekolah di Indonesia setara kualitasnya. Jelas sekali, sangat kasat mata, perbedaan kualitas pendidikan di Jakarta dengan Papua, sebagai contoh yang sangat ekstrem.

Di antara masalah mendasar yang dihadapi di Papua adalah kurangnya tenaga pendidik. Kita ambil contoh Kabupaten Yahukimo. Di kabupaten yang luasnya mencapai 18.000 km2 ini (hampir sama dengan luas satu provinsi di Jawa),  hanya terdapat 66 Sekolah Dasar, dengan 117 orang guru. Itu berarti rata-rata satu sekolah hanya memiliki 1 atau 2 orang guru. Para guru ini lebih sering tidak berada di tempat tugas, karena kondisi medan yang sangat sulit, ditambah mereka harus mencari tambahan penghasilan.

Kendati para guru mendapatkan tambahan tunjangan di luar gaji pokok mereka, ini belum bisa menyelesaikan masalah kehidupan yang layak. Di daerah pegunungan, semua barang harganya sangat mahal, termasuk makanan dan minuman. Ini akibat satu-satunya pasokan barang ke tempat itu adalah melalui jalur udara, karena tidak ada alternatif jalur transportasi lainnya menuju daerah pegunungan. Sudah begitu, datangnya gaji sering terlambat dengan berbagai alasan.

Problem tidak efektifnya pendidikan di Papua bukan hanya berasal dari guru, namun sangat banyak faktor yang mempengaruhi. Kesadaran masyarakat untuk menyekolahkan dan mendidik anak juga masih sangat minim. Banyak sekali anak-anak usia sekolah yang tidak bersekolah. Acara-acara adat juga berpengaruh terhadap proses pendidikan, seperti ketika upacara kematian. Anak-anak tidak masuk sekolah bisa sampai tujuh hari ketika ada keluarga yang meninggal, karena mengikuti prosesi upacara adat.

Cobalah kita bandingkan dengan pendidikan di Jakarta. Tentu sangat jauh kondisinya. Kualitas guru, kualitas sarana dan prasarana, kualitas interaksi belajar mengajar, semuanya tentu sangat berbeda kondisinya. Anak-anak SD di Jakarta sudah sangat akrab dengan teknologi komunikasi dan informasi. Mereka bisa belajar dari internet dan berbagai sarana lainnya, di luar pembelajaran yang ada di sekolah. Untuk wilayah perkotaan di Papua, seperti Jayapura, Timika, Biak dan lain sebagainya, teknologi komunikasi dan informasi sudah memadai. Namun untuk wilayah yang berada jauh dari perkotaan, teknologi komunikasi dan informasi masih menjadi kendala besar.

Jadi bagaimana Ujian Nasional disamakan untuk semua sekolah di seluruh wilayah Indonesia, sementara kondisi setiap sekolah berbeda-beda ? Kita tidak jujur mengakui adanya disparitas kualitas pendidikan ini. Kita menganggap semua sekolah telah memiliki kualitas yang setara, kalaupun tidak sama. Kita tidak memiliki kebesaran hati untuk mengakui, bahwa kita masih belum bisa menyetarakan kualitas pendidikan di seluruh sekolah yang ada di Indonesia, dari Jakarta hingga Papua, dari Sabang sampai Merauke.

Karena Ujian Nasional yang diseragamkan itu, semua sekolah ingin anak didiknya lulus sehingga layak mendapat pendidikan lanjut yang diinginkan. Tidak ada sekolah yang mau menjadi korban Ujian Nasional, semua ingin meluluskan anak didiknya seratus persen sebagaimana dikehendaki oleh para orang tua murid.

Jika prosentase kelulusan di sekolah itu kecil, bisa dipastikan akan kehilangan murid baru. Masyarakat akan menolak masuk sekolah itu, dan memilihkan sekolah lain bagi anak-anaknya. Masyarakat memilih menyekolahkan anak di sekolah “favorit” yang mampu meluluskan Ujian Nasional seratus persen.
Saya tidak yakin kalau Pemerintah tidak mengetahui kekhawatiran sekolah dan masyarakat seperti ini. Mereka pasti tahu, betapa Ujian Nasional telah menjadi “nightmare” yang sangat menakutkan bagi banyak sekolah yang jauh dari ibu kota. Bagaimana anak didik mereka harus disetarakan dengan anak-anak sekolah di Jakarta yang serba lengkap fasilitasnya ? Bagaimana anak-anak didik mereka dipaksa mengikuti Ujian Nasional, sementara proses interaksi belajar mengajar tidak berjalan sebagaimana mestinya ? Kita tidak mau jujur atas realitas yang sebenarnya sudah sangat kita ketahui bersama.

Maka, mari kita berikan “Permaafan Massal” atas kejadian “Menyontek Massal” di banyak sekolah-sekolah kita. Karena kita sudah memaafkan atas perbedaan-perbedaan kondisi dan situasi daerah, yang berdampak kepada perbedaan kualitas pendidikan di setiap daerah. Sebuah perbedaan yang jelas sangat mencolok antara Jakarta Pusat dengan Papua Pegunungan, sudah kita terima dan kita maklumi adanya. Kita maklumi bahwa setiap Sekolah Dasar di Yahukimo hanya memiliki satu atau dua guru saja. Sementara di Jakarta mengenal guru mata pelajaran.

Saya sering mendapatkan kisah sedih guru yang mendapatkan tugas mengarahkan jawaban saat Ujian Nasional berlangsung. Mereka bertanya soal “hukum”, menurut ajaran agama bolehkah melakukan tugas seperti itu ? Hati nuraninya berontak, tidak mampu berbohong kepada diri sendiri bahwa ia melakukan sebuah tindakan pelanggaran dan kebohongan. Namun jika tidak dilakukan, hasil Ujian Nasional para siswa di sekolah itu dikhawatirkan akan hancur, sehingga berdampak kepada citra yang jelek bagi sekolahnya.

Pertanyaan itu sangat mudah jawabannya. “Tanyakan kepada nurani anda”, tanpa harus mencari dalil-dalil agama. Kita tidak berani jujur mengakui, bahwa sesungguhnya praktik kecurangan massal saat Ujian Nasional banyak terjadi di sekolah-sekolah kita. Tentu saja pihak SD Negeri Gadel II Surabaya tidak mau dituduh dan tidak mau disalahkan. Jika ingin diperiksa, hendaknya semua sekolah dilakukan tindakan yang sama. Jangan hanya sekolahnya saja yang menjadi bahan sorotan media, yang membuat semua media menyalahkan sekolahnya. Apakah sekolah yang tidak diberitakan itu lebih “jujur” kondisinya dalam pelaksanaan Ujian Nasional ? Bisa jadi yang tidak diberitakan media, kondisinya lebih hancur dan lebih sistematis kecurangannya dalam “meluluskan” semua anak didiknya saat Ujian Nasional.

Bangsa kita lebih memilih tidak jujur atas realitas-realitas yang ada. Bangsa yang sangat pemaaf atas segala kekurangan dan kelemahan yang ada di Indonesia. Bangsa yang mudah sekali melupakan berbagai peristiwa, karena saking banyaknya peristiwa menarik lainnya. Yakinlah sebentar saja kasus “menyontek massal” ini akan segera kita lupakan. Akan segera beralih ke berita lain yang tak kalah hebohnya.

Para tersangka koruptor beritanya hanya heboh sesaat di media, setelah itu lima tahun kemudian namanya muncul kembali menjadi caleg, dan masyarakatpun memilihnya kembali menjadi anggota DPR RI. Karena ia orang “baik”, suka menolong dan memberi bantuan langsung kepada masyarakat. Maka ia menang dalam Pilkada, ia menang dalam pemilu legislatif. Namanya bersih tanpa cela. Jujur, kita senang dimainkan media. Jujur, kita menikmati semua berita media dengan segala temanya. Suasana hati kita berubah-ubah setiap harinya sesuai irama pemberitaan media.

Sekali waktu kasus Bank Century marak di media, sekali waktu kasus Mafia Pajak mencuat, sekali waktu kasus NII dimunculkan, sekali waktu giliran Susno Duadji menjadi selebriti, sekali waktu kasus bom teroris diberitakan, sekali waktu kasus Nazarudin diramaikan, sekali waktu pertengkaran Julia Perez dan Dewi Persik disebarluaskan, sekali waktu operasi payudara Melinda Dee dihangatkan media, sekali waktu kasus Ahmadiyah diungkapkan, begitu seterusnya. Setiap hari kita sibuk berbincang dengan tema-tema yang berbeda, dengan melupakan tema sebelumnya.

Ah sudahlah, sangat banyak ketidakjujuran atas kondisi kita sendiri, dan selama ini kita nikmati saja semuanya. Tapi sampai kapankah suasana seperti ini terjadi ? Sampai kapan kita memaklumi berbagai ketimpangan negeri ini ? Sampai kapan kita selalu memaafkan berbagai kecurangan yang terjadi depan mata kita ? Sampai kapan kita selalu melupakan berbagai kejadian tanpa pernah mengambil pelajaran penting darinya ? Ternyata kita tengah Menanti Kejujuran dari bangsa yang sangat besar, bernama Indonesia tercinta.

Lari dan lepas segala impian
Akan indahnya hari depan
Nikmatnya kedamaian yang kudambakan
Masih tetap impian
Kini kuberpijak di persimpangan
Tanpa arah pasti kujelang
Tak pernah ku mengerti
Arti kedamaian
Yang pernah kau janjikan

* Menanti kejujuran
Harapkan kepastian
Hanya itu yang sanggup aku lakukan
Menanti kejujuran
Harapkan kepastian
Smoga damai jadi kenyataan

* Bila janji-janji yang pernah kau beri
Akan kunikmati dalam hidup ini
(Gong 2000)
Sumber : http://cahyadi-takariawan.web.id
nDalem Mertosanan, Yogyakarta, 17 Juni 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar