Senin, 24 Oktober 2011

Menyelamatkan Indonesia Bersama Para Pemuda


Oleh : Cahyadi Takariawan

Sumpah Pemuda : Kecerdasan Sejarah Pemuda 1928
Sumpah Pemuda adalah contoh kecerdasan sejarah pemuda. Bagaimana tidak. Indonesia belum lahir, belum ada bentuknya pada waktu itu. Namun teks Sumpah Pemuda telah dengan tegas menyatakan keindonesiaan.

Tujuh belas tahun kemudian, baru ada Proklamasi Kemerdekaan RI. Jika dipahami Sumpah Pemuda merupakan simbol bangkitnya kesadaran keindonesiaan, maka hasilnya didapatkan 17 tahun kemudian.

Banyak `saksi  bisu` dijumpai di Museum Sumpah Pemuda Jalan Kramat Raya 106 Jakarta Pusat. Di dalam museum itu, bisa diketahui banyak hal tentang Sumpah Pemuda, termasuk koleksi biola asli milik WR Supratman pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya, serta foto-foto bersejarah peristiwa 28 Oktober 1928 yang menjadi tonggak sejarah pergerakan pemuda-pemudi Indonesia.



Pada Kongres Pemuda I yang digelar antara 27 April hingga 2 Mei 1926, para peserta sepakat perlunya sebuah ikrar pemuda, dan Kongres menugasi empat pemuda untuk merumuskannya. Tiga butir ikrar sudah dirancang M Yamin, satu di antara pemuda yang ditugaskan merampungkan ikrar pada kongres itu, bicara panjang lebar tentang bahasa dan kebudayaan Indonesia. Dua butir ikrar telah disepakati dan tinggal butir ketiga yang belum ada satu kata antara M Yamin, Jamaluddin Adinegoro, dan Tabrani. M Yamin dan Jamaluddin setuju dengan “Kami putra-putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Melayu”.

Sementara Tabrani, aktivis Jong Java dan pemimpin redaksi Hindia Baru, yang juga ketua panitia Kongres mengusulkan istilah bahasa Indonesia, seperti yang sudah ditulisnya pada bulan-bulan sebelumnya di korannya.

Kongres Pemuda II digelar tanggal 27-28 Oktober 1928, dipimpin Sugondo Joyopuspito dengan sekretaris M Yamin. Kongres sendiri lahir sebagai gagasan dari Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) yang beranggotakan pelajar dari seluruh Indonesia. Tampil sebagai pembicara, M Yamin, Purnomowulan, Sarmidi Mangunsarkoro, Ramelan, Theo Pangemanan dan Mr. Sunario yang membicarakan masalah peranan pendidikan kebangsaan dan kepanduan dalam menumbuhkan semangat kebangsaan.

Atas inisiatif PPPI, kongres dilaksanakan di tiga gedung berbeda dan dibagi dalam tiga kali rapat sehingga menghasilkan Sumpah Pemuda. Rapat pertama, Sabtu 27 Oktober 1928 di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond, Lapangan Banteng, Jakarta. Sugondo Joyopuspito dalam sambutannya, berharap kongres ini dapat memperkuat semangat persatuan dalam sanubari para pemuda. M Yamin dalam uraiannya menyorot arti dan hubungan persatuan dengan pemuda. Menurutnya, ada lima faktor yang memperkuat Persatuan Indonesia, yaitu sejarah, hukum adat, bahasa, pendidikan, dan kemauan.

Rapat kedua, Minggu 28 Oktober 1928 di Gedung Oost-Java Bioscoop, membahas masalah pendidikan. Dua pembicara, Purnomowulan dan Sarmidi Mangunsarkoro, sependapat bahwa anak harus mendapat pendidikan kebangsaan, harus pula ada keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah. Anak juga harus dididik secara demokratis. Rapat ketiga, di Gedung Indonesische Huis Kramat (Gedung Indonesische Clubgebouw), Jalan Kramat 106 Jakarta. Pada sesi ini, Sunario menjelaskan pentingnya nasionalisme dan demokrasi selain gerakan kepanduan. Sedangkan Ramelan mengutarakan gerakan kepanduan tidak bisa dipisahkan dari pergerakan nasional.

Kongres II ini dihadiri utusan Jong Islamieten Bond, Pemuda Indonesia, Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Celebes, Jong Ambon, Jong Bataks Bond, Pemuda Kaum Betawi, PPPI, Sekar Rukun, Minahasa Bond, Madura Bond, termasuk pengamat dari pemuda Tionghoa, seperti Kwee Thiam Hong, John Lauw Tjoan Hok, Oey kay Siang dan Tjio Djien Kwie. Kongres ini sebagai kelanjutan dari Kerapatan Besar Pemuda atau Kongres Pemuda Pertama pada tanggal 27 April-2 Mei 1926.  Sebelum kongres ditutup, diperdengarkan lagu Indonesia Raya karya WR Supratman, disambut dengan meriah peserta kongres.
Kongres ditutup dengan mengumumkan rumusan hasil kongres. Oleh para pemuda yang hadir, rumusan itu diucapkan sebagai Sumpah Setia yang sekarang dikenal dengan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.

Rumusan Sumpah Pemuda itu ditulis Yamin pada sebuah kertas ketika Mr Sunario, sebagai utusan kepanduan tengah berpidato pada sesi terakhir kongres. Sebagai sekretaris, Yamin yang duduk di sebelah kiri ketua menyodorkan secarik kertas kepada Soegondo, sembari berbisik, “Saya punya rumusan resolusi yang elegan.” Soegondo membaca rumusan resolusi itu, lalu memandang Yamin. Yamin membalas pandangan itu dengan senyuman. Spontan Soegondo membubuhkan paraf  ”Setuju”. Selanjutnya Soegondo meneruskan usul rumusan itu kepada Amir Sjarifuddin yang memandang Soegondo dengan mata bertanya-tanya. Soegondo mengangguk-angguk. Amir pun memberikan paraf “Setuju”. Begitu seterusnya sampai seluruh utusan organisasi pemuda menyatakan setuju.

Sumpah itu berbunyi: Kami putera dan puteri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Air Indonesia. Kami putera dan puteri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia. Kami putera dan puteri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.

Sumpah Pemuda 1928 akhirnya melahirkan Indonesia, tujuh belas tahun setelahnya.

Apa Kecerdasan Sejarah Anda, Wahai Pemuda 2010 ?
Dunia sudah semakin tua, di saat pemuda menginjakkan prestasinya di tahun 2010 ini. Pemuda kita saat ini berada dalam sebuah dunia yang dipenuhi oleh krisis. Bukan hanya terjadi di negara-negara maju, krisis juga terjadi di negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia. Tata kehidupan bermasyarakat, barbangsa dan bernegara sering berada dalam suasana ketidakpastian. Berbagai potologi sosial dengan sangat mudah kita jumpai dalam kehidupan keseharian.

Berita tentang pembunuhan, mutilasi, bunuh diri, penipuan, pencurian, perkelahian, perkosaan telah menghiasi halaman-halaman utama media massa. Berita tentang perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perceraian juga mudah didapatkan. Berita tentang korupsi, kolusi, mafia hukum, penggelapan uang negara saat ini juga tengah gencar-gencarnya diekspos media. Demikian pula dalam dunia politik dengan sangat mudah kita mendapatkan berita tentang kericuhan partai politik, perpecahan partai politik, atau perilaku menyimpang aktivis parpol yang berada di lembaga legislatif dan eksekutif. Kita juga kerap disuguhi berita adanya anggota legislatif ataupun pejabat publik yang dipenjara karena kasus dan penyelewengan yang dilakukannya.

Dalam dunia politik, banyak kita jumpai praktek-praktek politik praktis bahkan pragmatis: politik untuk mengeruk kekayaan dan keuntungan pribadi, politik untuk mencapai tampuk kekuasaan demi kejayaan pribadi; bukan politik untuk mensejahterakan rakyat. Maka dengan sangat mudah kita jumpai korupsi merajalela dimana-mana dan menjadi fenomena yang sangat sulit diberantas di Indonesia. Inilah krisis politik, dimana partai politik memiliki saham yang besar dalam kisaran krisis ini.

Fenomena krisis dunia disorot dengan sangat tajam oleh banyak ahli. Fritjof Capra (2007), misalnya, ia mengawali tulisannya dalam buku The Turning Point dengan analisis tentang krisis global saat ini. Menurutnya, krisis ini belum pernah terjadi sebelumnya dalam sepanjang sejarah umat manusia:

“Pada awal dua dasawarsa terakhir abad keduapuluh, kita menemukan diri kita berada dalam suatu krisis global yang serius, yaitu suatu krisis kompleks multidimensional yang sei-seginya menyentuh setiap aspek kehidupan, kesehatan dan mata pencaharian, kualitas lingkungan dan hubungan sosial, ekonomi, teknologi dan politik. Krisis ini terjadi dalam dimensi intelektual, moral dan spiritual; suatu krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam catatan sejarah umat manusia” (Fritjof Capra, 2007).

Anthony Giddens (1999), menggambarkan dunia pada pengujung abad kedua puluh dicirikan oleh manufactured uncertainty. Dengan istilah ini Giddens ingin mengungkapkan sebuah kenyataan yang khas pada saat sekarang, yaitu sebuah masa yang diliputi oleh ketidakpastian. Menariknya, situasi ketidakpastian ini, menurutnya, tidak ditimbulkan oleh alam tetapi oleh manusia sendiri berkat teknologi yang diciptakannya. Ia mengambil contoh gejala pemanasan bumi, perusakan lapisan ozon, polusi dan disertivikasi. Bahkan persenjataan nuklir yang merupakan hasil kemajuan teknologi manusia, telah menjadi ancaman tersendiri yang amat serius (Giddens, 1999).

Solzhenitsyn, seorang sastrawan Rusia, melihat peradaban modern sebagai kekuatan yang menghancurkan kriteria baik dan buruk. Dalam bukunya, The Gulag Archipelago, ia mempertanyakan hal yang amat mendasar, “Apabila kriteria baik dan buruk sudah tersingkir, adakah lagi yang masih tersisa pada diri manusia itu?” Solzhenitsyn menerawang ke depan, baginya iklim kemanusiaan semakin hari semakin meredup saja. Manusia kehilangan sesuatu yang amat berharga dalam dirinya, dan akhirnya merusakkan banyak sendi kehidupan.

Keseluruhan analisis tersebut semakin memperkuat pemahaman bahwa kehidupan manusia pada masa sekarang ini berada dalam sebuah krisis global (istilah Capra), atau kehampaan makna (istilah Joesoef)[1], atau ketidakpastian (istilah Giddens). Sebuah kondisi yang amat memprihatinkan dan harus dilakukan upaya serius untuk mencari jalan keluar agar kehidupan menuju ke arah yang lebih baik.

Akar permasalahannya bukan terjadi dari alam, sebagaimana diungkapkan Giddens (1999), namun terjadi dari manusia sendiri. Keterjebakan dalam pola hidup yang serba praktis bahkan pragmatis, pengabaian orientasi ukhrawi dan hanya berorientasi duniawi, telah semakin menyeret manusia ke dalam kubangan kerakusan, ketamakan, keserakahan, dan kesombongan. Akar-akar nilai dan keyakinan semakin tercerabut dari jiwa manusia, bahkan akhirnya manusia hidup semata-mata mengejar sesuatu yang bercorak pragmatis.

Tidak mengherankan, dalam kondisi kemanusiaan seperti ini, Daniel Bell meneriakkan dengan lantang “The End of Ideology” (1960). Daniel Bell ingin menekankan penolakannya terhadap kepercayaan umum selama ini, yang menerima konsepsi menyeluruh tentang problematika social budaya sebagaimana diobsesikan oleh berbagai ideologi yang merupakan cara bertindak bagi manusia. Ideologi semacam ini menurut Bell sudah sampai pada akhir kematiannya: Ideology, which once was a road to action, has come to be a dead end.

Namun Sidney Hook, seorang intelektual Amerika menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pandangan yang menganggap bahwa dengan perkembangan iptek yang makin maju, ideologi akan ‘habis’. Pandangan Hook itu disampaikan dalam dialognya bersama sejumlah ahli di Indonesia tahun 1975, sekalian menanggapi terbitnya buku “The End of Ideology” tulisan bekas muridnya yang juga seorang intelektual, Daniel Bell.

Bagi Hook, ideologi merupakan sebuah kekuatan yang hebat. Ia mencontohkan perbedaan media massa di Amerika Serikat dengan di Uni Soviet. Di Amerika Serikat, pers bisa menjatuhkan seorang Presiden, sementara di Uni Soviet pers bisa dibungkam oleh penguasa Negara yang kekuasaannya jauh di bawah presiden. Hal yang membedakan keduanya adalah pada ideologi pers yang mereka anut. Ini menandakan ideologi tidak mati, justru realitas pada zaman sekarang menunjukkan kebutuhan masyarakat dan Negara akan sebuah ideologi yang jelas dan kuat sebagai panduan menjawab tantangan zaman.

Dimana posisi anda sekarang, para pemuda ? Krisis kemanusiaan ini memerlukan sentuhan yang komprehensif dan secara tega harus melakukan pembersihan terhadap sumber-sumber kerusakan agar tidak semakin menyebar. Cara “konvensional” namun harus dilakukan adalah pembentukan generasi baru, karena tidak mungkin kita memberlakukan “potong generasi” secara ekstrem. Sesungguhnya bukan karena tidak mungkin, tetapi karena berhitung akan resiko banyaknya korban yang akan muncul apabila potong generasi dilakukan.

Cara ini konvensional, namun memerlukan konsistensi. Penumbuhan generasi baru, bertumpu kepada kekuatan pemuda hari ini. Memandang Indonesia 20 tahun ke depan, adalah pandangan tentang pemuda hari ini. Jika pemuda hari ini ikut terkontaminasi oleh krisis kemanusiaan yang melanda dunia, yang menyebabkan kehidupan mereka menjadi praktis, pragmatis dan hedonis, maka tak ada harapan bagi perbaikan Indonesia di masa depan. Namun jika kita berhasil menyelamatkan pemuda hari ini, ada sejumlah harapan yang bisa kita semai untuk masa depan bangsa.

Untuk menjamin sterilnya pemuda dari kerusakan dan proses dehumanisasi, diperlukan sebuah momentum yang berkelanjutan dan terjaga konsistensinya[2]. Momentum itu adalah Sumpah Pemuda 2010, yang kurang lebih berbunyi:

Kami pemuda dan pemudi Indonesia, bertekad membaja menyelamatkan Indonesia
Kami pemuda dan pemudi Indonesia, setia menjalankan agenda penyelamatan Indonesia
Kami pemuda dan pemudi Indonesia, siap berkorban untuk menyelamatkan Indonesia
Kami pemuda dan pemudi Indonesia, meyakini sepenuh hati Indonesia siap memimpin peradaban dunia.

Apakah yang harus diselamatkan dari Indonesia ? Astagatra adalah jawabannya. Ada tiga gatra statis (trigatra), yaitu demografi, geografi dan sumber kekayaan alam. Ditambah lima gatra dinamis (pancagatra), yaitu ideologi, politik, sosial budaya, ekonomi, dan pertahanan keamanan. Indonesia adalah satu kesatuan tanah air (geografi), penduduk (demografi), kekayaan alam, ideologi, sosial budaya, ekonomi, politik dan pertahanan keamanan. Keseluruhannya harus diselamatkan dari perusakan sistemik, baik perusakan dari dalam maupun dari luar, baik perusakan simetris maupun asimetris, baik perusakan oleh aktor negara (state actors) maupun aktor non-negara (nonstate actors).

Tanah air Indonesia dalam kerangka NKRI harus dijaga dan diselamatkan, tidak boleh dipecah-pecah, tidak boleh dicerai-beraikan keutuhannya. Penduduk Indonesia sebesar 237.556.363 jiwa, dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 119.507.580 jiwa dan jumlah penduduk perempuan sebanyak 118.048.783 jiwa, adalah aset pembangunan yang harus diselamatkan. Jumlah penduduk ini menjadikan Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk terbesar ke empat dunia, setelah Cina (sekitar 1,3 milyar jiwa), India (sekitar 1,1 milyar jiwa), dan Amerika Serikat (sekitar 310 juta jiwa). Jumlah penduduk seluruh dunia saat ini mencapai 6,6 milyar jiwa, dimana negara dengan penduduk paling sedikit adalah Montserrat, yang total penduduknya  5.118 jiwa saja.

Sumber kekayaan alam Indonesia harus diselamatkan, jangan sampai dikuasai pihak asing untuk kepentingan mereka. Indonesia dikenal memiliki kekayaan alam yang melimpah ruah, harus diselamatkan untuk kemakmuran dan kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Demikian pula segi ideologi, politik, sosial budaya, ekonomi dan pertahanan keamanan harus diselamatkan dari pengaruh asing yang tidak sejalan dengan kepribadian dan jati diri bangsa Indonesia. Hal ini untuk menjamin keseluruhan prosesi kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan agar tidak dibelokkan arahnya dan disimpangkan jalannya.

Sulit berharap dari orang tua, termasuk saya, untuk memperbaiki dan menyelamatkan Indonesia. Umur saya sudah 45 tahun saat menulis ini. Harapan Indonesia adalah kepada para pemuda yang tengah bersiap diri memimpin negeri ini 10 – 20 tahun ke depan. Sumpah Pemuda 2010 membuat para pemuda bersiap lebih dini, untuk memiliki karakter yang kuat, jiwa yang kokoh, semangat yang menyala, kerelaan berkorban demi kebaikan bangsa dan negara.
Semoga orang-orang yang masih suka korupsi segera dipensiunkan dini dan diadili, semoga para pejabat yang tidak bersih segera diganti, semoga para pemimpin yang merusak negara segera dipenjara, dan diganti dengan generasi Sumpah Pemuda 2010. Kami meyakini potensi dan kemampuan anda, para pemuda. Jaga stamina, untuk menjaga bangsa dan negara. Jalan masih panjang membentang.

Sumpah Pemuda 2010 akan menyelamatkan Indonesia, 20 tahun berikutnya.

Kampus Lemhannas RI, Jakarta, 14 Oktober 2010

Bacaan
1.      Ahmad Sadzali, Gerakan Pemuda dan Peradaban Indonesia, www.hidayatullah.com, 29 Mei 2010
2.      Anthony Giddens, The Third Way, Jalan Ketiga Pembaruan Demokrasi Sosial, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000
3.      Fritjof  Capra, The Turning Point: Titik Balik Peradaban, Jejak, Yogyakarta, 2007
4.      Parakitri T. Simbolon, Menjadi Indonesia, Kompas, Jakarta, 2007
5.      Secarik Kertas untuk Indonesia, dalam : www.majalah.tempointeraktif.com, 27 Oktober 2008

[1] Daoed Joesoef menyatakan, “Dengan semakin pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan ternyata disamping meningkatnya manfaat dan kebaikan, semakin banyak pula kerugian dan keburukan yang ditimbulkannya. Daftar dari cacat-cacat ilmu pengetahuan modern ini dapat dimulai dengan alat membunuh yang telah dikutuk oleh semua orang, yaitu bom nuklir, senjata kimia dan lain-lain, sampai artikel yang diperdebatkan aspek moralnya, seperti bayi tabung, rekayasa genetik-sintetik, obat bius, behavioral psichology, reductionist materialism, dan lain-lain”. Lebih lanjut Daoed Joesoef menegaskan, “Di samping semua kebutuhan tersebut, masih ada hal lain yang mengganggu pikiran, suatu kehampaan yang pantas dicemaskan, mengingat ia adalah produk langsung dari sikap ilmiah para ilmuwan itu sendiri dan berhubung dengan itu penanganannya bukan merupakan tugas politik. Kehampaan ini mencemaskan karena bekerjanya halus seperti racun, bukan membusukkan daging dan menghancurkan tulang, tetapi melumpuhkan jiwa manusia. Hal yang dicemaskan ini adalah kehampaan makna dari kegersangan psikis” (Daoed Joesoef, 1990). [2] Seorang pimpinan organisasi massa mengatakan, ”Sesungguhnya setiap umat yang ingin membina dan membangun dirinya, serta berjuang untuk mewujudkan cita-cita dan membela kemuliaannya, haruslah memiliki kekuatan jiwa yang dahsyat yang terekspresikan dalam (1) tekad membaja yang tak pernah melemah, (2) kesetiaan yang teguh dan tidak tersusupi oleh pengkhianatan, (3) pengorbanan yang tidak terhalangi oleh keserakahan dan kekikiran, (4) pengetahuan dan keyakinan serta penghormatan yang tinggi terhadap cita-cita yang diperjuangkan. Semua itu akan menghindarkannya dari kesalahan, penyimpangan, tawar-menawar, atau tertipu oleh tujuan lain. Generasi muda pejuang peradaban harus memiliki ke empat karakter tersebut, karena jika tidak maka cita-cita perdaban yang ingin diraihnya selamanya tidak akan terwujud dan hanya akan menjadi ilusi belaka. Pemuda hari ini harus memiliki sasaran dan cita-cita bersama tentang konsep peradabannya, langkahnya serta sarana-sarananya”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar