Jumat, 07 Oktober 2011

Pintu-pintu Kebenaran

Apa bedanya menyembah patung dengan mencium batu seperti hajar aswad? Keduanya adalah benda mati yang disembah atau dicium sebagai bentuk ibadah. Mencium hajar aswad – dalam konteks ini – jelas tidak masuk akal. Tapi Umar bin Khattab yang sangat rasional akhirnya menciumnya juga. Telah hilangkah rasionalitasnya? Tidak! Akalnyalah yang telah mengantarnya kepada hakikat kebenaran yang lebih besar. Yaitu hakikat tentang Allah dan Muhammad. Ia menerima kebenaran itu. Ia meyakini kebenaran itu. Ia tunduk dan pasrah pada kebenaran itu. Maka mencium hajar aswad hanya penampakan kecil dari penerimaan, keyakinan, ketundukan dan kepasrahan kepada kedua hakikat besar itu.

Begitulah Umar bin Khattab menemukan hidayah dan jalan akalnya. Ia mendengarkan adik perempuannya membaca teks ini: “Thaha. Tiadalah Kami menurunkan Al-Qur’an ini kepadamu supaya kamu menderita.” Ayat itu menyentak akalnya. Lalu membuka hatinya. Maka ketika akhirnya ia harus mencium hajar aswad, ia hanya mengatakan: “Saya tahu wahai batu bahwa kamu tidak memberi manfaat tidak juga membawa bahaya. Kalau bukan karena melihat Muhammad menciummu niscaya aku tidak akan menciummu.”

Abu Bakar beda lagi. Ia menemukan kebenaran dari jalan lain. Ia menemukannya dari jalan hatinya. Sejak awal ia bersahabat dengan Muhammad. Sejak awal ia mengetahui kejujuran Muhammad. Maka sejak awal pula ia mempercayai Muhammad dan mencintainya sepenuh hati. Jadi ketika Muhammad datang kepadanya membawa berita dari langit, ia sama sekali tidak menemukan sedikitpun keraguan dalam dirinya. Ia segera mempercayainya dan menerima semua berita yang ia sampaikan. Bahkan dalam peristiwa Isra Mi’raj ia menunjukkan puncak kepercayaannya kepada Muhammad. Maka ia digelari Al-Shiddiq.

Jika kebenaran bisa menampakkan diri dalam banyak wajah, maka jalan menuju kebenaran dapat ditempuh dari pintu hati dan akal. Dari pintu hati ada cinta. Dari pintu akal ada logika. Cinta mengantar Abu Bakar kepada iman. Logika mengantar Umar kepada hidayah. Logika membuat Umar mencintai teks. Cinta memudahkan Abu Bakar memahami logika teks. Cinta membuka mata hati. Logika membuka mata akal. Logika menuntun cinta. Cinta mengayomi logika.

Jika kita datang kepada teks dari pintu-pintu itu, hampir dapat dipastikan bahwa kita akan bertemu dengan kebenaran dalam banyak ragam wajahnya. Sebab teks ini berbicara kepada manusia dengan menggunakan seluruh instrumen pembelajaran yang ada dalam diri manusia. Sekali waktu ia menyentuh akalnya. Lain waktu ia menggugah hatinya. Tapi ketika ia bercerita tentang panorama kehidupan beragam manusia di masa silam, lalu mengajak mereka membayangkan hari-hari yang akan datang, teks ini serta merta menggoda imajinasi kita. Maka kita mengembara dalam ruang waktu yang begitu luas, menyusun sebuah sketsa kehidupan baru, atau menemukan keyakinan-keyakinan baru. Pemahaman baru itu mencerahkan akal. Keyakinan baru itu menenangkan hati.

Di masa kecilnya Sayyid Quthub sering mendengarkan beberapa qori membaca Al-Qur’an di rumahnya. Lantunan suara sang qori menghadirkan teks dalam bunyi yang indah. Akalnya terhentak. Hatinya tergugah. Imajinasinya tergoda. Kelak pergumulan yang lama dengan teks itu ia narasikan kembali sebagai sebuah pengalaman batin tentang bagaimana ia hidup di bawah naungan Qur’an. “Itu karunia. Dan takkan ada yang tahu karunia itu kecuali mereka yang pernah merasakannya,” katanya. 
[Anis Matta, sumber : Serial Pembelajaran Majalah Tarbawi edisi 238]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar